Search

Thursday, May 2, 2013

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Ziarah Kubur Dalam Pandangan Wahhabi (Bagian Pertama)


Berada di komplek makam Rasulullah Saw dan keluarganya yang suci adalah bentuk penghormatan umat Islam atas pengorbanan dan jasa agung mereka dalam membimbing umat manusia. Kehadiran dalam bentuk ziarah ini juga bisa dinilai sebagai wujud lain dari baiat dan ikrar setia kepada cita-cita suci mereka. Dalam arti, bahwa orang yang berziarah mengumumkan janji untuk mengikuti jejak yang telah dirintis oleh manusia-manusia suci itu.



Ziarah dalam budaya pemikiran Islam memiliki tempat yang khusus bahkan tergolong sebagai ibadah. Bagi kaum muslimin masalah syafaat, tawassul dan penghormatan kepada macam orang-orang saleh adalah kepercayaan yang sudah diakui kebenarannya. Ziarah sudah dikenal oleh umat Islam sejak dahulu kala. Bahkan para peziarah sudah menyatu dengan budaya mengambil berkah dari makam insan-insan suci. Sebagai contoh, sejak dahulu para peziarah ke tanah suci terbiasa mengambil tanak pekuburan Sayidina Hamzah dan syuhada Uhud untuk dijadikan tasbih.

Khaqani, pujangga besar abad keenam hijriyah dalah salah satu syairnya menyeru orang untuk berziarah ke makam Salman al-Farisi di Madain dan mengambil tanah pekuburannya untuk dijadikan butiran tasbih. Sebab menurutnya, tanah makam ini memiliki nilai maknawiyah yang tinggi. Tidak ada ulama yang memprotes kata-kata Khaqani ini. Mereka malah mengagungkannya dengan menuliskan syair tersebut dengan tinta emas.

Akan tetapi, Ibnu Taimiyyah, pencetus aliran salafi justeru menyebut ziarah ke makam Rasulullah Saw sebagai perbuatan haram. Dia bahkan mengharamkan perjalanan ke Madinah jika diniatkan untuk berziarah ke makam Nabi. Dalam kitab Minjah al-Sunnah, Ibnu Taimiyyah tanpa menyebutkan dalil apapun menyatakan, "Hadis-hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw tentang ziarah semua palsu dan dusta dengan sanadnya yang lemah." Ibnu Taimiyyah menambahkan, "Ziarah ke makam Nabi dan lainnya sama dengan menyeru kepada selain Allah dan pengakuan akan sekutu bagi Allah dalam pekerjaan-Nya, dan perbuatan ini dihukumi haram dan tergolong syirik." Kata-kata itu disampaikan Ibnu Taimiyyah tanpa memikirkan bahwa ziarah bukan pengakuan akan sekutu bagi Allah tapi penghormatan terhadap kedudukan manusia-manusia suci di sisi Allah.

Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan keras menyerang keyakinan kaum Syiah. Mereka menuduh bahwa Syiah meyakini kemuliaan ziarah ke makam para imam lebih dari haji ke Baitullah! Dalam kitab Kasyf Al-Syubuhat, Ibnu Abdil Wahhab menuduh kaum Syiah sebagai orang-orang musyrik karena menghormati makam Nabi dan para imam suci Ahlul Bait as. Hal ini sekaligus membuktikan kedangkalan pemikiran Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikut mereka dalam memahami ajaran agama Islam. Dengan pemahaman yang dangkal dan keliru mereka dengan mudah menuduh kelompok lain dengan tuduhan syirik lalu memaksakan pandangan mereka terhadap orang lain.

Jika menilik ayat-ayat suci al-Quran dan hadis-hadis Nabawi akan kita dapatkan bahwa apa yang mereka katakan tidak berdasar sama sekali. Diriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda, "Bersegeralah kalian untuk menziarahi kubur karena ia mengingatkanmu akan akhirat." Di hadis yang lain beliau Saw bersabda, "Ziarahilah kuburan karena di sana kalian akan memperoleh pelajaran."

Dengan berziarah orang akan menyadari kelemahan diri serta tidak kekalnya kekuatan dan kekuasaan materi yang ia miliki. Dengan melihat kubur, seorang Muslim yang cerdas akan cepat menyadari bahwa dia tidak semestinya menyia-nyiakan kehidupan dunia yang fana ini dengan kelalaian. Dia mesti membangun kehidupan akhirat dan mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan di alam baka nanti.

Jika demikian halnya, tentu berziarah ke makam Nabi dan orang-orang yang saleh akan mendatangkan faedah dan manfaat spiritual yang jauh lebih besar.  Diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis Ahlussunnah bahwa Nabi Saw pernah berziarah ke makam ibunda beliau Aminah binti Wahb. Abu Hurairah berkata, saat berziarah makam ibunya, Nabi Saw terlihat menangis sehingga membuat orang-orang lain ikut menangis. Beliau lalu bersabda, "Ziarahilah kubur, sebab berziarah akan mengingatkan kalian akan kematian." (Sahih Muslim juz: 3 hal: 65) Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda, "Berziarah ke kubur akan melunakkan hati, meneteskan airmata dan mengingatkan akhirat. Maka berziarahlah kalian." (Musnad Ahmad juz: 3 hal: 237)

Menurut salah satu penafsiran, al-Quran al-Karim di surah al-Takatsur menyinggung bahwa berziarah akan menyadarkan orang yang berbangga-bangga dengan kehidupan dunia. Qurthubi saat menafsirkan ayat 1 dan 2 surat ini mengatakan, "Ziarah kubur adalah obat penawar paling mujarab untuk hati yang beku. Sebab ziarah kubur mengingatkan akan kematian dan alam akhirat. Sementara mengingat kematian dan akhirat akan memperpendek angan-angan, melahirkan kezuhudan akan kehidupan dunia dan melemahkan keinginan untuk terus hidup di dunia."

Dari pernyataan Ibnu Taimiyyah terkait ziarah ke makam Rasulullah Saw bisa diambil beberapa kesimpulan. Pertama dia mengatakan bahwa ziarah ke makam para nabi hukumnya haram, bidah dan perbuatan yang tidak benar. Kedua, bepergian dengan niat ziarah ke makam Nabi dan orang-orang saleh adalah safari yang haram. Padahal bepergian yang semestinya dihukumi haram adalah safari yang memang ditujukan untuk melakukan perbuatan haram, bukan untuk berdoa dan mengerjakan amal saleh sebagaimana yang layaknya dilakukan para peziarah.

Kata-kata Ibnu Taimiyyah ini bukan hanya tak beralasan tapi juga menunjukkan kekurangajarannya terhadap pembawa risalah Ilahi. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuturkan, "Sungguh heran jika ada orang yang berusaha membersihkan nama Ibnu Taimiyyah dan menyebutkan bahwa pernyataan seperti ini hanya tudingan semata yang dialamatkan kepadanya lalu berdalih bahwa ‘yang dikatakannya haram adalah bepergian dengan niat ziarah bukan berziarah itu sendiri. Sebab Ibnu Taimiyyah meyakini sunnahnya berziarah ke makam Nabi.' Bagaimana Ibnu Taimiyyah bisa meyakini sunnahnya berziarah ke makam Nabi sementara dia mengharamkan niat ziarah itu dan menyebut perjalanan dengan niat ziarah Nabi sebagai safari maksiat? Bukankah ini kata-kata yang kontradiksi? Bukankah pendapat Ibnu Taimiyyah yang menganggap lemah riwayat-riwayat tentang ziarah Nabi Saw adalah sebaik-baik bukti yang menunjukkan bahwa dia tidak meyakini sunnahnya ziarah ke makam Nabi Saw? Banyak sekali ulama Ahlussunnah yang memahami fatwa Ibnu Taimiyyah ini sebagai pendapatnya yang mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah Saw dan nabi-nabi yang lain."

Dari Ibnu Abbas diriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda, "Barang siapa yang berziarah kepadaku setelah kematianku maka dia sama dengan orang yang mengunjungiku saat aku hidup. Dan barang siapa berziarah ke kuburku maka aku akan akan bersaksi untuknya di Hari Kiamat." (Mizan al-I'tidal jus: 3 hal: 348). Dalam riwayat dari Ibnu Umar disebutkan bahwa Nabi bersabda, "Barang siapa yang beribadah haji lalu berziarah ke makamku maka dia seperti mengunjungiku saat aku hidup." (Sunan Kubra juz: 5 hal: 246). Dari Anas bin Malik diriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda, "Barang siapa dengan niat dan khusyuk datang ke Madinah untuk menziarahiku kelak aku akan memberinya syafaat dan bersaksi untuknya." (Syu'ab al-Iman juz: 3 hal: 489)

Dari riwayat-riwayat seperti ini para ulama Ahlussunnah menyatakan sunnah berziarah ke makam Nabi Saw. Diceritakan bahwa seorang sahabat Nabi bernama Bilal bin Rabbah yang bermukim di Syam pergi ke Madinah dengan niat berziarah ke makam Rasulullah Saw. Ibnu Asakir mengatakan, "Bilal pernah bermimpi bertemu Rasulullah Saw dan beliau bersabda kepadanya, "Begitu teganya engkau kepadaku? Belum tibakah saatnya untuk menziarahiku? Saat terjaga dari tidurnya Bilal dirundung kesedihan yang amat sangat. Dia amat ketakutan. Akhirnya dia memutuskan untuk menunggang kuda dan bertolak ke arah Madinah dan berziarah ke makam Nabi. Di sisi makam Nabi dia menangis sesenggukan sambil meletakkan wajah di makam itu. Mendadak datang Hasan dan Husein, dua cucu kesayangan Nabi. Bilal segera mendekap mereka berdua dan menciumi mereka. Hasan dan Husein lantas berkata kepadanya, ‘Wahai Bilal, kami ingin mendengar kembali suara azan seperti engkau azan di zaman Nabi hidup."

Dengan berbagai dalil yang sudah disebutkan dan masih banyak dalil lainnya serta pendapat para ulama besar dari kelompok Syiah dan Sunni masihkah orang mengikuti kata-kata Ibnu Taimiyyah yang menyebut ziarah ke makam Nabi sebagai perbuatan dosa dan syirik?  Bukankah pendapat yang menyimpang itu sama dengan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah?