Transkrip ceramah Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj (Ketua Umum
PBNU saat ini) dalam acara Madrasah Karbala dan Asyura di serambi Masjid
al-Mukhlishin Bojonegoro Jatim tahun 2002.
Acara ini berlangsung
selama sepuluh hari berturut-turut yang pada puncaknya yakni pada malam
kesepuluh (Asyura) diadakan di lapangan sepakbola Singonoyo Sukorejo
Bojonegoro. (Inilah Madrasah Karbala dan Asyura pertama di
Indonesia yang diselenggarakan oleh masyarakat NU dan Syiah secara
guyub, harmonis dan terbuka untuk umum. Kami hadirkan Transkrip ini
mudah-mudahan bermanfaat.)
Kita semua telah mengetahui bahwa cucu
Rasulullah Saw dari Sayyidah Fathimah az-Zahra yaitu Al Hasan dan Al
Husain, keduanya akan menjadi pemimpin pemuda surga, dua orang pemuda
yang sudah dipastikan masuk surga. Hendaknya umat Islam mencontoh dan
mengambil teladan dari kedua tokoh tersebut, dari kedua pemimpin kita
semua. Baik dilihat dari nash Al Quran dan Al Hadits maupun dilihat dari
sejarah, kita seharusnya menghayati apa arti Asyura, apa arti peristiwa
Karbala ini sebagai mas’alatil Islam wal muslimin, sebagai tragedi yang
menimpa umat Islam dan ajaran Islam itu sendiri.
Walaupun ada
beberapa pihak yang tidak senang dengan adanya acara ini, itu karena
mereka melihatnya dengan sepotong-sepotong, hanya melihat dari aspek
politik saja. Tetapi bagi kita yang masih memiliki hati nurani yang
ikhlas dan iman yang cukup ideal, kita mencintai hari ini, acara ini,
bukan karena kepentingan, politik, target, atau apapun yang bersifat
duniawi, tapi kita betul-betul melihat peristiwa Karbala sebagai
peristiwa adzim, salah satu peristiwa agama. Sama seperti peristiwa
lahirnya Nabi Muhammad, Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Yaumil Arafah,
demikian pula peristiwa Karbala merupakan peristiwa agama.
Syekh
Abdul Qadir Jailani, dalam kitabnya yang berjudul Al Ghunyah, mengatakan
bahwa Asyura itu termasuk 'Asyirul Karomah (hari berkeramat yang
ke-10). Peristiwa Asyura disejajarkan dengan peristiwa Nuzulul Quran,
Lailatul Qadr, Maulidil Rasul, Isra dan Mi'raj, Yaumil Arafah, Lailatul
'Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan termasuk yang ke-10 adalah hari
yang penuh keramat, penuh kemuliaan bagi umat Islam, yaitu hari Karbala.
Artinya, memperingati peristiwa Karbala bukan milik kelompok tertentu,
dalam hal ini Syiah, tetapi milik kita semua sebagai umat Islam,
terlebih lagi milik NU. NU seharusnya berada di depan, menjadi pelopor
dalam memperingati acara ini. Syiah merupakan kelompok minoritas di
negeri ini, sedangkan NU adalah kelompok terbesar, jadi seharusnya
merasa memiliki hari ini.
Kita seharusnya berkewajiban dan merasa
terpanggil untuk menghidupkan acara Madrasatil Karbala, karena
merupakan peristiwa besar dalam agama Islam. Cucu Rasulullah Saw, yang
ketika masih kecil selalu digendong dan diciumi oleh beliau, bersama
seluruh rombongannya, keluarganya, putra-putranya, laki-laki dan
perempuan, semuanya dibantai dan disembelih, dibunuh dengan sangat sadis
di padang Karbala. Yang selamat hanya dua orang, yaitu Sayyidah Zainab
dan Imam Ali Zainal Abidin. Itupun karena Imam Ali Zainal Abidin sedang
sakit dan ditunggui oleh Sayyidah Zainab, sehingga mereka tidak keluar
dari kemah. Seandainya beliau tidak sakit dan keluar dari kemah,
tentulah Ahlul Bait sudah habis.
Ini adalah suatu kekejaman yang
luar biasa, suatu peristiwa besar yang luar biasa, tidak kalah dengan
peristiwa agama Islam yang lain. Hendaknya kita sebagai masyarakat
Nahdatul Ulama, sebagai pengikut Ahlusunnah, yang arti sebenarnya adalah
yang selalu berjalan di atas garis Rasulullah, peduli dengan hari yang
sangat memilukan ini. Kita tidak perlu melihat dengan kaca mata politik,
karena dalam politik selalu ada dampak kepentingan yang nantinya akan
menimbulkan fanatisme kelompok, kemudian timbul fitnah, dan seterusnya.
Marilah
kita berkumpul dalam Madrasatil Karbala ini dengan tulus ikhlas,
menghidupkan hari pengorbanan yang besar dari cucu Rasulullah Saw. Tanpa
ada pengorbanan, agama apapun, perjuangan apapun, idealisme apapun,
tidak akan terwujud. Pengorbanan itu baik dalam bentuk jiwa, tenaga,
maupun harta. Islam dibesarkan oleh Allah melalui wasilah, perantara,
darah-darah syuhada yang dikorbankan dengan sangat murah, antara lain
dalam perang Badar, Uhud, dan peperangan lain. Dan juga yang sangat
mengejutkan adalah darah Imam Husain yang dibantai di padang Karbala.
Hal ini harus menjadi catatan sejarah yang betul-betul masuk dalam
keimanan kita.
Oleh karena itu, di Timur Tengah, seperti di Mesir
yang mayoritasnya Ahlusunnah, apalagi di Iran dan Irak, sudah menjadi
budaya untuk memperingati hari ini secara besar-besaran. Pengorbanan
yang telah dicontohkan oleh Imam Husain, hendaknya menjadi contoh bagi
kita semua.
Agama Islam sebenarnya merupakan amanat yang
digantungkan pada leher kita semua. Apabila kita tidak merasa demikian,
maka kita tidak akan terpanggil, tidak akan peduli, tidak akan semangat,
tidak akan mempunyai motivasi dalam perjuangan agama. Tentunya bukan
berarti kita harus berperang, tetapi kita dalam memperjuangkan kebenaran
pasti ada tantangan. Jika ada tantangan pasti ada upaya, perjuangan,
rasa lelah, prinsip yang kuat, dan sikap yang tegar dalam menghadapinya.
Tanpa itu semua, jangan harap Islam bisa diperhitungkan. Yang ada
hanyalah Islam turunan, Islam KTP, Islam yang terbawa oleh
lingkungannya.
Hal ini berarti, bahwa setiap umat Islam harus
mempunyai visi ingin mengubah atau ingin melakukan sesuatu yang bisa
mengubah keadaan yang tidak baik atau tidak benar. Setiap kali kita
melihat kejelekan atau kerusakan, kerusakan masyarakat atau kerusakan
sosial, kita harus terpanggil ingin mengubah hal itu menjadi baik. Sudah
tentu tidak harus dengan kasar atau kekerasan, tapi kita mempunyai
tujuan ingin mengubah keadaan yang buruk ini.
Jika masyarakat
sudah rusak, terjadi bentrok antar masyarakat, antar kelompok, apalagi
sesama umat Islam, pejabat melakukan KKN, para kyai bertengkar, kaum
mudanya terbawa arus entah kemana, kemungkaran merajalela, kebohongan
dan fitnah mudah sekali timbul sesama Islam, maka kita harus mempunyai
niat untuk mengubahnya. Hal seperti ini jangan sampai berlanjut dan
harus kita ubah. Caranya jangan dengan kekerasan, tapi harus dengan
ketegasan. Itulah salah satu pelajaran yang diambil dari peristiwa
Karbala.
Imam Husain meninggalkan Madinah dan Mekah pada musin
haji yang ramai dengan orang yang melaksanakan ibadah haji. Betapapun
pentingnya ibadah haji, tetapi jika hanya dipandang sebagai rutinitas,
sebagai hal yang biasa, maka tidak ada artinya, tidak akan mengubah
sesuatu. Seseorang, asal memiliki uang, tiap tahun dapat melaksanakan
ibadah haji. Akan tetapi, adakah perubahan bagi diriya, bagi
lingkungannya, dan bagi masyarakatnya? Tidak ada sama sekali!
Sedangkan
Imam Husain meninggalkan umat Islam yang akan berhaji, dan berangkat
menuju Irak. Yang terlihat seolah-olah beliau meninggalkan kegiatan
ibadah haji, salah satu rukun Islam, bersama seluruh keluarga dan
pengikutnya Tetapi, bagi orang yang mengerti, tujuannya adalah ingin
mengubah, ingin melakukan perubahan, jika perlu dengan berkorban, dan
ternyata beliau betul-betul berkorban. Inilah orang yang betul-betul
memiliki spiritual quotient (kecerdasan spiritual).
Jika hanya IQ
(intelegent quation) saja yang dipedulikan, maka akibatnya seperti yang
sering terjadi di Jakarta, orang-orangnya ber-IQ tinggi, tetapi juga
pandai korupsi. Sedangkan di desa, orang-orangnya tidak pandai, IQ-nya
rendah, tapi akhlaknya lebih baik. Jika IQ-nya tinggi, cerdas, tapi
moralnya bejat, maka yang tejadi adalah kerusakan seperti situasi saat
ini. Yang bisa mengubah keadaan ini adalah orang yang memiliki SQ
(spiritual quotient) atau dzaka’irruh, dengan menggunakan salah satu sel
yang ada dalam saraf yang disebut God’s Spot (titik Tuhan), atau
istilah agamanya bil khusyu’ wal khudu’ wa tadhorru’. Bagaimana kita
mengupayakan titik Tuhan kita agar selalu “on”, selalu aktif, menyala,
dan mempunyai daya kekuatan yang tajam, sehingga kita mampu mengubah
keadaan ini. Hal ini dicontohkan oleh Imam Husain ra, yang ingin
mengubah keadaan yang sudah sangat parah dan tidak bisa ditolerir,
walaupun beliau harus meninggalkan acara seremonial besar yaitu ibadah
haji.
Perubahan yang dicita-citakan oleh Al Husain, bukan hanya
perubahan politik (siyasah), tetapi yang paling penting dan mendasar
adalah inovasi atau meningkatkan kualitas iman dan akhlaqul karimah.
Bukan hanya ingin menjatuhkan Yazid, kemudian beliau menjadi khalifah,
tetapi cita-cita yang beliau inginkan adalah bagaimana umat Islam
betul-betul menjalankan sunnah Rasul Saw. Jika kita ingin menganggap
diri kita Ahlusunnah wal jamaah, maka masing-masing diri kita harus
mempunyai visi demikian.
Oleh karena itu, yang perlu kita
tekankan dalam Madrasatil Karbala ini adalah, aktivitas budaya, gerakan
moral dan akhlak, gerakan tsaqafah tarbawiyyah, meningkatkan pendidikan,
wacana, dan intelektualitas kita. Selain itu juga gerakan moral,
spiritual, rohani, dan menunjukkan bahwa kita adalah kelompok yang
memiliki akhlaqul karimah, yang kepribadiannya tegar dan imannya besar,
tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh keadaan sekarang ini. Itulah
yang kita harapkan dari Madrasatil Karbala ini, dan sama sekali tidak
mempunyai target politik, atau acara-acara yang berbau politik.
Mari
kita tunjukkan kepada umat Islam yang lain, yang masih belum paham,
apalagi yang masih su’udzon kepada kita. Kita tunjukkan bahwa kita
benar-benar murni dan ikhlas, tidak memiliki target, bukan gerakan
politik, tapi kita ingin membangun kepribadian muslim sunni yang
betul-betul sunnaturrasul wa min haajihi. Itulah yang kita harapkan.
Dari
aspek budaya, sebenarnya pesantren NU adalah orang-orang yang paling
mencintai Ahlul Bait, bahkan boleh dibilang “sudah menjadi Ahlul Bait”,
hanya secara ilmiah kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi, tanpa terasa,
kita para santri sudah menjadi Ahlul Bait. Para sufi, para tarekat
tasawuf, semuanya sudah menjadi Ahlul Bait. Hal itu dilihat dari bacaan
tawasul yang setiap hari dibacakan dalam Al Fatihah, ila hadrati Nabi
Muhammad. Setelah itu barulah para guru sufi, yang silsilah tasawufnya
apa saja, kecuali Naqsyabandiyah, pasti melalui Sayyid Tho’ifah, Al Imam
Abul Qasim Muhammad al- Junaidi al-Baghdadi yang wafat tahun 297 H.
Imam Junaidi ini murid dari Sirri Assaqathi murid dari Ma’ruf Al Qarhi
yang wafat tahun 200 H, yang masuk Islam di tangan imam ke delapan Ahlul
Bait, Imam Ali al-Ridha bin Imam Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far
ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin
Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib.
Pertama kali laqab sufi
diberikan kepada Jabir bin Hayyan al-Azdi yang lahir tahun 100 H dan
wafat tahun 160 H. Beliau adalah murid Imam Ja’far as-Shadiq. Setiap
akan mengadakan eksperiman, Jabir bin Hayyan yang ahli kimia dan
metematika (beliau pencetus ilmu aljabar), pasti melakukan shalat malam
terlebih dahulu, kemudian pagi harinya isti’dzan (permisi) dahulu kepada
Imam Ja’far as-Shadiq. Jadi, hubungan antara tasawuf dan Ahlul Bait
kental sekali.
Belum lagi puji-pujian yang dibaca orang-orang NU
jika terjadi wabah seperti cacar atau penyakit menular lain, mereka
pasti bertawasul dengan ahli kisa. Sejarah ahli kisa ini yaitu ketika
Rasulullah mengadakan mubahalah (saling melaknat dan yang salah akan
binasa). Nabi menggelar sorbannya, dan di dalamnya berkumpul lima orang
yaitu Rasulullah, Sayyidina Ali, Sayyidah Fathimah, Al Hasan dan Al
Husain. Kaum Nasrani ternyata tidak berani melakukan mubahalah, seperti
terdapat dalam Al Quran surat Ali Imran. Kelima ahli kisa ini, menurut
para kyai, bisa menolak tho’un yaitu menolak penyakit yang merajalela.
Bunyinya :
li khamsatun utfi biha …Jika kita sudah
biasa bertawasul seperti itu, mana mungkin tidak mengenal Ahlul Bait,
maupun peristiwa Karbala. Itulah kelemahan kita, para Nahdiyin. Lain
halnya dengan pengikut ormas lain yang tidak pernah melakukan hal itu,
wajar saja jika tidak mengenal mereka. Jika sejak kecil tidak mengenal
pesantren, tidak mengenal wirid, dzikir, maulid diba’, dan barzanji,
bisa dimaklumi. Sedangkan kita yang sudah biasa melakukan hal itu, tidak
pantas jika tidak mengenal Ahlul Bait.
Salah satu tradisi yang
sering kita lakukan adalah membaca diba’ barzanji dalam acara tasyakuran
(selamatan), atau kegiatan lain yang bernafaskan Islam. Barzanji
merupakan karangan Abu Ja’far al Barzanji dari Turki, yang
mengirimkannya kepada raja Islam di Aceh, dan ditukar dengan sebuah
kapal bermuatan cengkeh. Di dalam maulid barzanji tersebut terdapat
kalimat yang menyebutkan bahwa Ahlul Bait adalah amanul ardhi, yang
memelihara dan menciptakan stabilitas di muka bumi (yang dalam bahasa
Jawa disebut Paku Buwono, Hamengku Buwono, Mangku Bumi, atau Paku Alam),
yang selalu kita baca dan kita muliakan, serta kita cari barakah dan
syafaatnya. Kita harus benar-benar peduli dan bertanggung jawab atas
perjuangan Ahlul Bait, jika kita benar-benar mencintai Rasulullah Saw.
Bacaannya sudah kita baca, tinggal penghayatan, aplikasi, dan
implementasinya belum mampu kita realisasikan.
Bagi NU, tidak ada
masalah dengan Madrasatil Karbala, justru sangat senang dan
menghormati, serta mendukung minimal dengan kata-kata. Acara ini sangat
bagus dan mulia, dan merupakan langkah pertama untuk membangkitkan
kembali semangat Islam yang sangat esensial, bukan hanya semangat Islam
yang dilakukan dengan kekerasan, tapi tujuan kita lebih dari itu, lebih
bernilai dan mulia. Kita ingin mencontoh dan mengambil hikmah, bahkan
mengikuti, apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina Husain bin Ali.
Kesimpulan
dari apa yang telah saya sampaikan adalah, pertama, bahwa Madrasatil
Karbala merupakan simbol perjuangan dan pengorbanan Ahlul Bait. Mari
kita menjadikannya sebagai hari yang mulia, seperi yang dikatakan Syekh
Abdul Qadir Jailani, ‘Asyirul Karamah (hari berkeramat yang ke-10),
sejajar dengan hari-hari mulia lainnya. Kegiatan ini hendaknya kita
lanjutkan, karena langkah ini sangat baik sekali.
Kedua,
hendaknya pertemuan kita dalam Madrasatil Karbala ini menghasilkan upaya
yang sinergi, perjuangan yang menyatu, menjadi sentra persatuan bagi
semua pihak. Apapun latar belakangnya, dari pesantren, sekolah, pegawai,
mandor, dan lain-lain, semuanya hendaknya hadir dalam Madrasatil
Karbala, tidak hanya kelompok elit atau kelompok orang yang sudah bisa
membaca Al Quran saja, tetapi menyeluruh bagi semua lapisan masyarakat.
Itulah
salah satu perjuangan para aulia’ terutama Ahlul Bait, sehingga
mencapai keberhasilan. Sebagaimana para Wali Songo, mereka termasuk
keturunan Ahlul Bait. Kunci-kunci perjuangan Islam di pulau Jawa ada di
tangan mereka, dengan pendekatan budaya dan tangan terbuka, dengan
pendekatan moral, bukan pendekatan politik.
Kerajaaan Majapahit
yang awalnya dipertahankan oleh masyarakat Jawa akhirnya mereka
tinggalkan. Sewaktu Majapahit diserang oleh orang Islam, mereka
bertahan, sehingga menyebabkan gugurnya lima orang kyai di pintu gerbang
Majapahit (Syekh Abdul Qadir Assini, Syekh Ibrahim as-Samarkandi, Syekh
Jumadil Qubra, Syekh Utsman al-Hamadani, Syekh Marzuki). Mereka ingin
menyerang Majapahit dengan kekerasan, tetapi gagal karena rakyat
mempertahankan Majapahit yang merupakan simbol kebesaran Jawa. Tetapi,
dengan pendekatan Ahlul Bait, dengan cara tsaqafah, pendidikan, moral,
pergaulan yang baik, akhlaqul karimah, bahkan melalui seni, akhirnya
lama-kelamaan tanpa paksaan masyarakat Majapahit berbondong-bondong
masuk Islam.
Sampai-sampai orang Jawa sendiri mengakui, “suro
diro joyoningrat lebur diningpangastuti”, keningratan orang Jawa hancur
lebur oleh kebersihannya orang santri. “Sirno ilang kertaning bumi”,
kebesaran Jawa hilang ditelan bumi. Kerajaan Majapahit, imperium yang
sangat besar bahkan sampai ke Kolombo dan Philipina Selatan, kini tidak
ada lagi, hanya sedikit sekali peninggalannya Seluruh Jawa akhirnya
masuk Islam. Sehingga Sunan Ampel mengizinkan muridnya yaitu Raden Fatah
mendirikan kerajaan Islam yang pertama di Demak. Itulah hasil
perjuangan dengan pendekatan moral, akhlak, dan pendidikan, yang
dilakukan oleh Ahlul Bait, dalam hal ini Wali Songo.
Coba
bandingkan dengan kerajaan Islam di Spanyol yang berkuasa selama 800
tahun dan sudah melahirkan ulama-ulama besar seperti Ibnu Malik seorang
pengarang Alfiyah, Ibnu Arabi seorang sufi besar, Syathibi ahli qiraat,
Ibnu Hazm, Ibnu Zaidun seorang sastrawan, dan lain-lain. Kerajaan ini
hilang dan tidak ada bekasnya sama sekali, bahkan masjid yang terbesar,
Cordoba, sudah kembali menjadi gereja. Makam khalifah dan istrinya sudah
digali dan tulang-tulangnya dibakar oleh pasukan Isabela. Padahal
kerajaan itu dahulu begitu besar dan kuat, melahirkan suatu peradaban
yang besar, bahkan menjadi pintu gerbang ke Eropa, dan banyak kata-kata
Arab yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Mengapa demikian? Setelah
dianalisa dan direnungkan, selama 800 tahun pemerintahan Bani Umayyah di
Spanyol, tidak pernah ada raja yang menghormati Ahlul Bait.
Sebaliknya,
di Indonesia, meskipun belum melahirkan ulama-ulama besar seperti di
Spanyol, tetapi Islamnya masih bertahan. Inilah bi barakati Ahlul Bait,
karena umat Islam di Indonesia masih menghormati Ahlul Bait. Tentu ini
hanyalah tinjauan spiritual. Analisa yang dilakukan bukan analisa
rasional, tetapi analisa metafisis. Islam saat ini sudah semakin mantap
dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Kita ketahui bahwa
Dinasti Bani Umayyah yang sudah begitu banyak merekayasa sejarah hanya
berkuasa selama 70 tahun, berakhir tahun 112 H dan diganti dengan
dinasti Bani Abbasiyah. Dalam masalah seperti ini, orang-orang yang
rasional terkadang tidak percaya bahwa ada barakah, ada faktor x yang
bersifat metafisis dan supranatural, yang tidak bisa dilihat dengan mata
kasat. Hal itu tidak bisa dilihat dengan bashar tapi harus dengan
bashirah, tidak bisa dipikirkan tapi harus ditafakuri, tidak bisa dengan
akal tapi dengan ta’aqqul, tidak bisa dengan mantiq tapi dengan dzauq,
tidak bisa dengan logika tapi dengan intuisi. Kita harus memahami itu
semua.
Mudah-mudahan, dengan berkumpulnya kita di tempat ini
dengan niat yang tulus ikhlas, bukan karena kepentingan apapun, kita
semua mendapatkan barakah dan syafaat dari Ahlul Bait