Search

Sunday, December 16, 2012

Adu Kuat Iran vs Amerika Serikat di Timur Tengah


Muhammad Dudi Hari Saputra
Munculnya Iran sebagai kekuatan baru di Timur Tengah membuat AS yang selama ini dianggap sebagai penguasa tunggal di kawasan kaya minyak ini mulai tersaingi. Pasalnya, Iran yang dianggap sebagai negara Pariah (kasta rendah) pada dekade 70-80-an ternyata tak disangka menjadi negara para messiah (penyelamat) pada abad 21.


Iran kini menunjukkan kegemilangan. Padahal negara ini menghadapi derasnya tekanan sanksi ekonomi yang ketat oleh AS dan sekutunya sejak kemenangan Revolusi Islam pada tahun 1979. Tidak hanya itu, Iran juga dilanda perang Teluk I dengan Irak (yang didukung AS dan sekutunya) selama 8 tahun, maupun sabotase terselubung oleh AS dengan berbagai macam modus operandinya.

Tampaknya, Iran menerapkan strategi smart power pada kebijakan luar negerinya di Timur Tengah. AS yang selama ini bertarung dengan hanya mengandalkan otot (hard power) seperti keunggulan pada kapabilitas militer dan kapasitas ekonomi mulai keteteran dengan langkah smart power, (perpaduan antara hard power dan soft power) Iran.

Sedari awal, Iran yang menyadari AS sebagai negara yang sangat kuat, tidak melakukan konfrontasi adu kekuatan otot (baca: militer) dalam melawan pesaingnya tersebut. Namun Tehran melancarkan adu otak (baca: kecerdasan). AS yang menyangka bahwa kekuatan militer dan uangnya mampu mengalahkan semua pesaingnya ternyata tidak berlaku untuk Iran. Dalam beberapa peristiwa kita bisa mengamati bagaimana AS beberapa kali dipermalukan ketika pesawat pengintai nir-awak silumannya bisa dengan mudah dikuasai oleh Iran.

Begitu pula sanksi ekonomi terutama embargo terhadap minyak Iran yang ternyata tidak mampu menghambat laju pertumbuhan ekonomi Iran. Tehran tahu betul minyak adalah komoditas penting yang akan tetap dibeli walau langka sekalipun. Untuk itulah Iran dengan tenang menerima sanksi ekonomi karena demand tidak akan berkurang, bahkan dengan sengaja menghentikan supply minyaknya ke Uni Eropa. Dengan berkurangnya supply minyak Iran sedangkan demand tetap maka yang terjadi adalah meningkatnya harga minyak, maka dengan mudah ditebak bahwa pendapatan dari sektor minyak Iran bukannya berkurang malah bertambah dan sebaliknya negara-negara Uni Eropa semakin keteteran karena imbas kenaikan harga minyak akan berdampak pada perekonomian nasionalnya. Kita tahu bahwa sekarang negara-negara Uni-Eropa satu persatu mulai menunjukkan gejala krisis ekonomi yang parah.

Iran dalam perdagangan internasional menerapkan strategi yang jitu, yaitu diversifikasi pasar dan produk ekspor. Negara Islam yang diembargo oleh AS dan Uni Eropa  itu kemudian mengalihkan tujuan ekspornya ke negara alternatif lain seperti Cina, India, Jepang, Korea Selatan dan Turki. Selain itu produk ekspor Iran juga mulai beralih dari keunggulan komparatif seperti minyak kepada produk yang memiliki keunggulan kompetitif, yaitu bergeser dari produk berbasis buruh murah dan kaya SDA menjadi berbasis tenaga kerja terampil, padat teknologi, dan dinamis mengikuti perkembangan pasar.

Iran mulai mengembangkan produksi minyak jadi dan turunannya (tidak lagi minyak mentah), bahkan mulai mengekspor mobil dan peralatan kesehatan ke beberapa megara, strategi ini menempatkan Iran pada urutan 17 negara dengan GNP terbesar, dan tentu ini adalah prestasi luar biasa bagi negara yang sedang berada dalam embargo Barat.

Namun titik puncak kemenangan Iran dalam adu kuatnya dengan AS, adalah ketika Iran beberapa kali terlibat proxy war dengan AS, sebagaimana ungkapan pakar Hubungan Internasional Realis yaitu Kenneth Waltz yang menyatakan bahwa sesama negara kuat yang berimbang cenderung untuk tidak berkonfrontasi secara terbuka melainkan membawa pertarungan mereka melalui pihak lain. Dalam konteks ini AS yang diwakili oleh Israel dan Iran yang diwakili oleh Hezbollah dan HAMAS telah berhasil mempecundangi AS dan Israel dalam dua konflik yaitu di Lebanon pada tahun 2006 dan di Palestina pada tahun 2012. Padahal bisa dibilang teknologi militer yang diberikan oleh Iran kepada HAMAS dan Hezbollah masih kalah jauh dibanding yang digunakan oleh Israel. Namun sekali lagi kecerdasan, keberanian dan ketangkasan the man behind the gun lebih berperan penting dalam pertempuran, dan yang tidak jauh pentingnya bahwa keterlibatan Iran dalam proxy war  ini menunjukkan bahwa AS dan Israel secara tidak langsung sudah menganggap Iran sebagai kekuatan besar di Timur Tengah dan enggan untuk terlibat konflik langsung dengan Tehran.

Keberadaan Iran yang sudah menjadi kekuatan penyeimbang (balance of power) AS di Timur Tengah, pada tataran konsep Hubungan Internasional sudah menunjukkan gugurnya hegemoni tunggal AS di kawasan ini. Namun tekanan AS dan sekutunya di Timur Tengah tetap tidak mengendor malah semakin menguat. Tantangan terbesar Iran berikutnya adalah terkait isu Suriah, siapa pemenang dari drama politik global ini pun masih sulit untuk diprediksi.