Search

Monday, December 17, 2012

Imam Khomeini ra: Memangnya Imam Mahdi af Salah Ngomong ke Saya?


Ayatullah Rohoullah Qarahi, Direktur madrasah Imam Mahdi yang terletak di Hakimiyeh Tehran dalam pelajaran akhlaknya dengan tema "Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan mengilhamkan kebaikan itu kepadanya", menceritakan sejumlah kisah berikut ini:

POSISI DAN PERAN IMAMAH; Studi historikal kesinambungan Imamah dalam percakapan Imam Husein as dan Imam Sajjad as


Imamah dan kepemimpinan merupakan prinsip dan pondasi penting agama Islam. Kedua masalah ini, di samping prinsip-prinsip lainnya, mewujudkan eksistensi Islam. Keuniversalan agama Islam membuatnya tidak bergantung pada lainnya. Kedua prinsip ini sebagai penjaga hukum, undang-undang dan nilai-nilai ilahi. Bahkan lebih dari itu, begitu pentingnya prinsip ini juga sebagai penjamin keberlangsungan hasil dari prinsip-prinsip yang lain. Keberadaan dan peran dari prinsip Imamah menjamin tauhid, keadilan ilahi, kenabian dan hari akhir menjadi lebih realistis; mulai dari sisi teoritis hingga praktis. Manusia dengan mudah dapat merasakan itu dan memanfaatkannya. 

Dalam sistem politik Islam, prinsip Imamah dan kepemimpinan keberadaan dan perannya tidak diragukan lagi. Prinsip Imamah dan kepemimpinan adalah langkah awal untuk mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang pada gilirannya menyiapkan kondisi dan fasilitas demi terlaksananya undang-undang politik, sosial, ekonomi, militer, moral, pendidikan, hukum dan peradilan di tengah-tengah masyarakat berdasarkan Islam.

Kewajiban, peran dan dampak penting dari prinsip Imamah dan kepemimpin dalam ajaran Islam menjadi tanggung jawab seorang Imam dan pemimpin.(1) Pada saat yang bersamaan, setiap orang diwajibkan untuk mengetahui Imam di zamannya.(2) Ketaatan terhadap seorang Imam identik dengan ketaatan terhadap Allah Swt.(3) Dan para Imam menjadi saksi atas perbuatan manusia.(4)

Dalam peristiwa Asyura, terjadi pertemuan dan bincang-bincang antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as. Sebuah percakapan bersejarah. Pembicaraan itu bila diteliti menunjukkan posisi dan pentingnya Imamah dan kepemimpinan.

Imam Sajjad as dalam peristiwa Asyura menderita sakit. Penderitaan yang membuatnya tidak dapat ikut serta dalam peperangan itu. Sakit membuatnya tidak dapat berjihad di samping ayahnya. Ketidakmampuannya untuk ikut dalam membela kebenaran yang diusung oleh Imam Husein as membuatnya sangat bersedih.

Pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura, Imam Husein as untuk terakhir kalinya menyambangi anaknya, Imam Sajjad as. Pertemuan untuk terakhir kalinya. Ketika Imam Husein as mendekat anaknya, ia ditanya, "Ayah! Hari ini apa yang engkau lakukan dengan orang-orang Munafik?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Setan telah mengalahkan mereka. Setan berhasil menyingkirkan keinginan mengingat Allah dari hati mereka. Perang akhirnya merupakan pilihan yang tidak dapat dielakkan. Mereka bak orang kehausan sampai berhasil melihat bumi menyerap semua darah kami."

Imam Sajjad kembali bertanya, "Pamanku Abbas di mana?"

Imam Husein as menjawab, "Wahai anakku! Pamanmu dibunuh. Jasadnya berada dekat sungai Furat. Tangannya terpotong."

Mendengar penjelasan ayahnya, Imam Sajjad menangis tersedu-sedu. Ia kemudian bertanya, "Bagaimana kabar Ali, saudaraku dan rombongan yang lain?"

Imam Husein as menjawab, "Anakku! Ketahuilah bahwa di perkemahan kita tidak ada lagi orang yang tersisa, selain kita berdua. Semua orang yang engkau Tanya telah tewas berkalang tanah."

Kembali Imam Sajjad as menangis tersedu-sedu. Ia kemudian memohon kepada Zainab, bibinya agar mengambilkan tongkat dan pedangnya.

Imam Husein as ganti bertanya, "Apa yang ingin engkau lakukan dengan tongkat dan pedang?"

Imam Sajjad as menjawab, "Dengan tongkat aku dapat menyanggah tubuhku. Dan dengan pedang aku akan membela keturunan Nabi Saw.

Imam Husein as memanggil Ummu Kultsum dan berkata, "Jaga dia! Tidak boleh terjadi bumi kosong dari Alu Muhammad (keluarga Muhammad)."(5)

Sekejap, Imam Husein as dapat merasakan mengapa anaknya mengucapkan hal itu. Ucapan dan sikap yang lahir dari rasa tanggung jawab yang tinggi, sekalipun dalam kondisi sakit dan lemah. Sebuah keputusan yang lahir dari semangat melawan musuh. Namun, Imam Husein as melarang anaknya untuk ikut berperang. Argumentasinya adalah Imam Sajjad as harus tetap hidup. Ia harus hidup untuk masa yang akan datang. Masa yang menuntut tanggung jawab yang besar dari prinsip Imamah dan kepemimpinan. Imam Sajjad as harus tetap hidup agar prinsip ini tetap langgeng, tidak terputus. Kematian Imam Sajjad as berarti terputusnya prinsip Imamah dan sama dengan kosongnya bumi dari seorang Imam dan pemimpin.

Tiba saatnya Imam Husein as harus mengucapkan salam perpisahan kepada anaknya.

Pertama, beliau menasihati keluarganya bahwa setelah ia terbunuh, mereka semua bakal ditawan. Kedua, beliau membeberkan rencana dan tugas yang harus diemban oleh mereka. Dan yang bertanggung jawab penuh dalam tugas ini adalah imam Sajjad as. Mereka harus menyampaikan dan menyingkap semua keteraniayaan Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya.

Nasihat Imam Husein as kepada anaknya:

"Kapan saja anggota keluarga berteriak akibat beratnya cobaan, maka engkau yang harus mendiamkan mereka!

Kapan saja mereka merasa ketakutan, maka engkau yang bertugas menenangkan mereka!

Pikiran mereka yang bercabang harus engkau satukan dengan ucapan yang dapat menenangkan!

Ini harus engkau lakukan karena orang yang menjadi tempat pengaduan mereka telah tiada selain engkau. Biarkan mereka dengan keadannya sehingga dapat merasakan kehadiranmu dan engkau dapat merasakan penderitaan mereka. Lakukan ini agar mereka menangisimu dan engkau menangisi mereka."

Setelah itu, Imam Husein as memegang dan mengangkat tangan Imam Sajjad as. Dengan nada tinggi beliau berkata kepada anak-anak dan wanita Ahlul Bait:

"Dengarkan ucapanku! 

Ketahuilah! Ini adalah anakku dan khalifahku untuk kalian. Ia adalah Imam yang wajib untuk ditaati."(6)

Percakapan antara Imam Husein as dengan Imam Sajjad as dan keluarganya pada detik-detik terakhir peristiwa Asyura sangat jelas dan kuat menekankan posisi, peran dan nilai "Imamah dan kepemimpinan". Pentingnya masalah ini dengan memperkenalkan Imam dan pemimpin setelahnya. Imam dan pemimpin bagi khilafah, wilayah dan pemerintahan atas masyarakat dan negara Islam.

Prinsip Imamah dan kepemimpinan hadir di tengah-tengah peristiwa Karbala. Hadir dan dapat dirasakan dalam semua tahapan-tahapan kejadian Karbala. Imamah dan kepemimpin mengawasi jalannya peristiwa bersejarah ini agar sahabat-sahabatnya tidak keluar dari garis itu. Dan yang terpenting pada detik-detik terakhir Asyura prinsip Imamah dan kepemimpinan ditetapkan, bahkan suksesi berjalan sempurna. Imamah dan kepemimpinan tidak berhenti, namun hadir dalam bentangan sejarah pada semua generasi dan di setiap zaman.

*) Artikel ini dimuat di harian Jomhouri Eslami, no 7979, tahun ke 28.

Catatan:
1. Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 29.
2. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, penerbit Masyhur, hal 92.
3.Ghurar al-Hikam, jilid 2, hal 208.
4. Ibid, hal 206.
5. Farhang Sukhanan Emam Hossein as, hal 539-540.
6. Ibid. Hal 541-542.

Kehilangan Bahasa Sama dengan Bencana


Hasil penelitian United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan, dalam satu tahun, separuh bahasa di dunia punah. Karena itu, UNESCO menyediakan program penyelamatan dan revitalisasi bahasa di dunia yang berada dalam kondisi bahaya hingga hampir punah. Namun, tidak sembarang lembaga bisa menjalankan program itu. Di Indonesia, hanya Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang diakui UNESCO.

"Kita menduduki posisi negara dengan bahasa terkaya di dunia nomor dua setelah Papua Nugini. Ini benar-benar bahasa, bukan dialek," ujar Pudentia MPSS, ahli tradisi lisan, kepada Media Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Berdasarkan data terakhir ATL pada 1999, ada 785 bahasa di Indonesia. Namun, ATL belum meneliti kembali karena terkendala biaya dan waktu.

Bahasa daerah

Pudentia mulai tertarik mempelajari tradisi lisan pada 1990. Pasalnya, banyak kebudayaan Indonesia yang luar biasa dan dituturkan dengan bahasa daerah.

"Saat menikmati wayang misalnya, bagi yang mengerti bahasa Jawa bisa tertarik karena tahu artinya bagus. Tapi yang enggak ngerti dan penasaran? Ketika diterjemahkan, maknanya jadi beda dan rasanya kurang. Jika suatu bahasa digunakan untuk satu tujuan, makna terindah dan pas hanya terdapat dalam bahasa yang dipakai," kata dia.

Sejak itu Pudentia senang mempelajari bahasa yang dituturkan dengan lisan. "Saya bukan linguis atau ahli bahasa, tapi mempelajari tradisi lisan yang memakai bahasa. Melihat fungsi bahasa dalam tradisi lisan," sambung dosen di Universitas Indonesia (UI) itu.

Mempelajari bahasa saja, menurut Pudentia, berat dan kering. Namun saat kita melihat bahasa sebagai ekspresi, mengenai perasaan, pikiran, dan simbol-simbol, bahasa menjadi sangat menarik.

Bahasa tak sekadar penyampai informasi. Banyak hal menarik dari bahasa selain mempelajari bunyi, fonem, dan jenis bahasa. "Karena bahasa bukan sekadar rentetan kalimat dan bunyi, dia adalah budaya dan peradaban," ujar Pudentia.

Diwariskan secara lisan

Dari ratusan bahasa daerah di Indonesia, hanya sembilan yang memiliki aksara, yakni Aceh, Batak, Lampung, Jawa, Bali, Bugis, Melayu, Sunda, dan Sasak. Adapun bahasa yang lain diturunkan dengan cara yang berbeda.

"Selama ini banyak bahasa yang diturunkan melalui percakapan sehari-hari, dengan ritual adat, bahkan melalui agama," kata Pudentia.

Selain itu, pewarisan bahasa bisa melalui nyanyian, tembang, cerita rakyat, dan pentas seni. Ada juga melalui doa seperti suku Batak. Bila tak mempunyai peninggalan tertulis, lanjut Pudentia, suatu bahasa akan kehilangan jejak dan tinggal cerita. Cerita mengenai keberadaannya bahkan akan terlupakan dalam beberapa generasi.

"Tradisi lisan kalau tidak ada di daerahnya, bahasanya sudah nyaris punah. Tapi kalau tradisi lisannya masih ada, bahasa masih hidup," kata Pudentia.

Ahli tradisi lisan

Dengan jumlah bahasa yang banyak, Indonesia membutuhkan banyak ahli tradisi lisan. Sayangnya di Indonesia jumlahnya masih kurang. Namun, pemerintah sudah mulai membenahi dengan mulai mencetak ahli tradisi lisan. Belum lama ini, Asosiasi Tradisi Lisan meluncurkan program Kajian Tradisi Lisan yang menjadi mitra Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti).

"Saya dan ATL sangat berterima kasih pemerintah mau mengajak kerja sama dan memberikan beasiswa kepada anak muda yang ingin menjadi ahli tradisi lisan. Ini adalah wujud kepedulian yang kami tunggu," ujar Pudentia.

Terhitung sejak pertama kali diluncurkan pada 2009, kini sudah hampir 150 mahasiswa menempuh pendidikan Kajian Tradisi Lisan di lima universitas negeri, yakni Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Sumatra Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada.

Beasiswa itu diberikan untuk jenjang pendidikan S-2 dan S-3. "Jenjang S-1 sedang kami persiapkan kurikulumnya, tahun ini kami juga bekerja sama dengan Universitas Leiden di Belanda untuk program double degree S-3, dua tahun di Indonesia dan dua tahun di Belanda," tuturnya.

Pudentia mengatakan sebagian besar mahasiswa yang mendaftar program itu berasal dari disiplin ilmu budaya. Setelah lulus, mereka diharapkan dapat menjadi dosen dan mengembangkan Asosiasi Tradisi Lisan di daerah masing-masing.

"Sampai saat ini para peneliti bisa menerbitkan hasil temuannya pada jurnal ATL yang terbit dua kali setiap tahunnya. Jurnal tersebut diedarkan ke ATL daerah dan ke berbagai perpustakaan," kata Pudentia.

Saat ini Pudentia sedang berada di Belanda untuk melakukan pendampingan dan monitoring mahasiswa ATL yang sedang menuntut ilmu di Universitas Leiden.