Oleh: DR. Asqar Furuqi
Pendahuluan
Peristiwa Karbala, air dan kehausan merupakan hal yang paling menonjol.
Penekanan terhadap air dan rasa haus membuat banyak hal-hal yang
ditafsirkan dengan masalah ini. Percakapan yang terjadi antara kedua
pasukan yang berhadap-hadapan juga banyak membicarakan masalah air. Air
membentuk citra keteraniayaan Imam Husein as dan betapa kejamnya
musuhnya.
Pentingnya masalah air tidak hanya terbatas
pada kejadian sepuluh bulan Muharam. Masalah air dapat ditelusuri jauh
sebelum hari kesepuluh, hingga terjadi pembantaian itu. Bahkan bila
ingin ditarik lebih jauh lagi, Muslim bin Aqil, berdasarkan sebuah
riwayat, dalam perjalanannya dari Madinah ke Kufah, dua pengawalnya mati
karena kehausan setelah tersesat beberapa lama.(1) Muslim bin Aqil
telah sampai ke Kufah. Dalam kondisi terluka dan tertangkap. Di istana
Dar al-Hukumah ia menghembuskan nafas terakhirnya, sekalipun tempat air
telah diberikan kepadanya. Hal itu dikarenakan ia banyak mengeluarkan
darah dari mulutnya membuat ia tidak sempat lagi merasakan sejuknya air
untuk terakhir kalinya. Akhirnya ia dengan bibir kering menjemput
kesyahidannya.(2)
Menjemput syahadah dengan bibir kering memang membuat sedih dan trenyuh hati siapa yang mendengarnya.
Demikian juga dalam acara memperingati Asyura, banyak sair-sair yang
dibacakan mengenai peristiwa Karbala berkaitan dengan air dan kehausan.
Berdasarkan ini, saya berusaha dalam artikel pendek ini, dengan
berlandaskan sumber-sumber tepercaya, untuk mengkaji lebih lanjut
mengenai masalah air dan kehausan yang dialami oleh Imam Husein as dan
sahabat-sahabatnya. Sebelum masuk pada masalah, ada satu poin penting
yang perlu saya ingatkan bahwa dengan berlandaskan pada sumber-sumber
yang ada. Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya berusaha untuk mencari
air buat keluarganya di tengah kehausan yang hebat mendera. Mereka
berusaha untuk menenangkan para sahabat dan keluarganya untuk
meningkatkan semangat dalam menghadapi musuh.
Air sebagai senjata
Menakjubkan! Manusia sepanjang sejarah menganggap air sebagai benda
berharga yang berperan melestarikan kehidupan makhluk hidup. Air membuat
manusia gembira, damai dan tenang. Namun, air juga dipakai untuk
membunuh manusia dan menghancurkan sebuah komunitas. Air dipakai sebagai
senjata untuk membuat jutaan manusia menderita kehausan dan mati. Air
mengubah kehidupan menjadi kematian. Dengan ini, bukan hal yang aneh
bila air dipakai untuk memusnahkan Islam dan kaum muslimin.
Para pemberontak pada tahun 35 Hijriah mengepung rumah Khalifah Utsman
bin Affan. Mereka berusaha untuk mencegah Utsman untuk mendapatkan air.
Imam Ali as berusaha sekuat tenaga agar Utsman dapat meminum air. Untuk
itu diutuslah kedua anaknya; Hasan dan Husein untuk mengantarkan air
kepada Utsman.(3) Muawiyah yang masih memiliki permusuhan dengan Islam
sejak zaman Jahiliah pada perang Shiffin juga berusaha untuk menggunakan
air sebagai senjata untuk melawan pasukan Imam Ali as. Namun, ia
terlambat untuk menguasai sumber air. Imam Ali as dengan pasukannya
telah terlebih dahulu menguasainya. Imam Ali as tidak melarang pasukan
Muawiyah untuk memanfaatkan air yang berada dalam kekuasaannya.(4)
Imam Husein as sebagaimana kakek dan ayahnya tidak mempergunakan air
sebagai senjata. Lebih dari itu, oleh beliau, air dipakai sebagai alat
untuk menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya dan bagaimana hubungan
antar sesama Muslim. Ketika Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya
ditemui oleh pasukan yang dipimpin oleh Hurr bin Riyahi, beliau
memerintahkan pasukannya untuk memberikan air yang masih mereka miliki.
Hal itu dilakukannya setelah melihat bagaimana pasukan Hurr begitu
kehausan. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, Imam Husein as dengan
tangannya sendiri memberi mereka minum.(5)
Hal ini
berbeda seratus delapan puluh derajat ketika mereka diperintah untuk
menghabisi Imam Husein as beserta para sahabatnya. Musuh mempergunakan
air untuk menekan pasukan Imam Husein as. Ubaidillah bin Ziyad ketika
mengirimkan pesan kepada Hurr memerintahkan agar mereka menggiring Imam
Husein as dan rombongan ke padang pasir. Tempat di mana mereka tidak
dapat berteduh dan tidak terdapat sumber air.(6)
Sesaat ketika Imam Husein as dan rombongan tiba di tanah Karbala, Umar
bin Saad mendapat perintah dari Ubaidilah bin Ziyad untuk
menghalang-halangi Imam Husein as dan rombongan untuk mendapatkan air.
Sekaitan dengan ini, Abu Hanifah Dinwari menulis:
"Ibn
Ziyad menulis surat kepada Umar bin Saad yang isinya memerintahkannya
untuk menghalang-halangi Imam Husein as mendapatkan air. Bahkan lebih
dari itu, jangan sampai mereka dapat minum air barang seteguk pun. Hal
yang sama telah dilakukan terhadap Utsman bin Affan".(7)
Mendapat perintah itu, Umar bin Saad segera menempatkan Amr bin Hajjaj
Zubaidi untuk melakukan tugas ini disertai 500 pasukan berkuda. Pasukan
penjaga air ini mulai dari hari ketujuh hingga hari kesepuluh secara
serius menjaga pinggiran sungai Furat. Tujuannya adalah jangan sampai
Imam Husein as dan rombongan dapat memanfaatkan air.(8) Mereka tidak
hanya bertugas menghalang-halangi Imam Husein as dan rombongannya untuk
dapat sampai ke sumber air, tapi juga melancarkan perang urat syaraf.
Sebagai contoh, Abdullah bin Hashin al-Azdi dari kabilah Bujailah
berteriak: "Wahai Husein! Apakah engkau melihat air ini? Bentuknya bak
langit yang biru jernih. Engkau tidak akan merasakan seteguk pun dari
air ini sampai engkau mampus!"(9) Syimr juga termasuk salah satu dari
mereka yang mengolok-olok Imam Husein as dan rombongannya.(10)
Sebenarnya, Umar bin Saad tidak hanya menempatkan Amr bin Hajjaj
sebagai komandan pasukan penjaga air. Ia memang menugaskan seseorang
secara khusus untuk berteriak: "Wahai anak Fathimah dan Rasulullah!
Engkau tidak akan mencicipi air ini sebelum kepalamu lepas dari badan
atau menyerah dan ikut dengan perintah Ubaidillah bin Ziyad."(11)
Dengan melihat dialog-dialog dan kejadian di atas, dapat disimpulkan
beberapa poin penting sekaitan dengan tujuan musuh menghalangi Imam
Husein as untuk mendapatkan air barang seteguk:
1. Air
merupakan salah satu senjata yang dipakai, selain senjata yang sudah
dikenal selama ini. Harapannya, dengan menghalangi akses Imam Husein as
untuk mendapatkan air, tekanan terhadap mereka lebih kuat dan kekuatan
pasukan menjadi lemah. Dengan demikian perlawanan tidak banyak berarti.
2. Adanya anak-anak dan wanita dalam rombongan dapat melemahkan
kekuatan pasukan Imam Husein as. Dalam perhitungan mereka, wanita dan
anak-anak tidak mampu bertahan lama dari rasa haus. Dengan ini, pasukan
Imam Husein as bakal menyerah.
3. Dialog-dialog di
atas menunjukkan bahwa Bani Umayah masih belum puas dengan usaha mereka
sebelumnya. Mereka kembali mengulangi tragedi Utsman bin Affan yang
dikepung dan tidak diberi air. Mengungkapkan kembali kejadian itu ingin
menunjukkan bahwa Imam Husein as adalah penyebab terbunuhnya Utsman bin
Affan. Kehausan Utsman ketika menjelang ajalnya dijadikan alasan untuk
mencegah Imam Husein as dan rombongan untuk mendapatkan seteguk air.
Usaha Imam Husein as untuk mendapatkan air
Usaha musuh untuk menghalang-halangi Imam Husein as mendapatkan air
merupakan sebuah hakikat yang tidak saja diakui oleh sejarawan.
Kenyataan ini juga ditegaskan oleh Imam Mahdi af. Dalam doa ziarah
Nahiyah Muqaddasah dari beliau diriwayatkan, "Mereka menghalangimu dari
usaha untuk mendapatkan air demi menghilangkan dahagamu".
Satu hal yang disepakati oleh semua sejarawan, mulai dari hari ketujuh
bulan Muharam, musuh secara serius berusaha untuk menghalang-halangi
Imam Husein mendapatkan air. Dengan demikian, rasa haus yang mendera
Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya terutama wanita dan anak-anak
hanya berhubungan dengan tiga hari terakhir, hari ketujuh hingga hari
kesepuluh. Pada hari-hari itulah Imam Husein as berusaha untuk
mendapatkan air demi rombongannya, terutama anak-anak dan para wanita.
Berdasarkan riwayat Ibn ‘Atsam al-Kufi dan Ibn Syahr Asub disebutkan
bahwa Imam Husein as berusaha menggali sumur di depan kemah. Dari sumur
tersebut bersumber air yang jernih.(12) Ibn ‘Atsam menjelaskan lebih
lanjut:
"Karena rasa haus yang sudah tidak terkira
menguasai dirinya dan rombongannya, Imam Husein as mulai menggali sumur.
Sumur itu tepat di samping kemah para wanita. Dari samping kemah wanita
beliau sambil menghadap Ka'bah sekitar 19 langkah beliau menjauh. Di
situlah Imam Husein as menggali sumur. Dari sumur tersebut keluar air
yang jernih dan tawar. Beliau memerintahkan kepada sahabat-sahabatnya
untuk mengambil air dari sumur dan minum. Mereka memenuhi tempat-tempat
air yang dibawa. Setelah semua memenuhi tempat airnya dan minum sampai
hilang dahaganya, air kemudian tidak muncul lagi bak tertelan bumi.
Setelah itu sumur tersebut tidak lagi terlihat."(13)
Penggalian sumur yang dilakukan oleh Imam Husein as adalah hal yang
biasa. Apalagi bila hal itu dikaitkan dengan posisinya sebagai Imam.
Sumur yang memancarkan air bersih, jernih dan tawar. Ditambahkan lagi
dengan adanya riwayat yang menyebutkan bahwa pada masa itu, antara Imam
Husein as dan kejernihan air dan berkahnya memiliki hubungan yang sangat
erat dan bermakna. Berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Asakir, Imam Husein as
ketika berangkat dari Madinah menuju kota Makkah, di pertengahan jalan
mereka berpapasan dengan Abdullah bin Muthi'. Saat itu, Abdullah bin
Muthi' sedang menggali sumur. Kepada Imam Husein as, Ibn Muthi' berkata,
"Sumur yang saya gali ini dapat menyampaikan saya ke air. Saat ini kami
sangat membutuhkan air dan itu akan kami lakukan dengan timba. Sudikah
engkau berdoa agar Allah memberkahi sumur ini? Imam Husein as menjawab:
"Bawakan aku air dari sumur ini! Ibn Muthi' kemudian membawa dan
memberikannya kepada Imam Husein as. Beliau minum dan kemudian
berkumur-kumur dengannya. Air yang tersisa kemudian dituangkan ke dalam
sumur. Setelah itu, sumur menjadi penuh, tawar dan jernih."(14)
Masalah ini tidak hanya dilakukan oleh Imam Husein as, tapi juga pernah
dilakukan oleh Imam yang lain. Hal itu dikuatkan oleh Syaikh Shaduq dan
Ibn Syahr Asub dari Abu as-Shalt. Abu as-Shalt meriwayatkan, "Ketika
Imam Ridha as dipaksa menghadap Makmun. Karena telah melewati perjalanan
jauh, mereka berkata kepada Imam Ridha as, "Wahai Ibnu Rasulillah!
Telah masuk waktu Zuhur. Apakah engkau tidak ingin melakukan shalat?
Imam Ridha as kemudian turun dari tunggangannya dan meminta air untuk
melakukan wudhu. Mereka menjawab, "Kami tidak membawa air." Akhirnya
beliau menyingsingkan tangannya kemudian mulai menggali sumur. Dari
sumur tersebut memancar air jernih. Mereka yang hadir bersamanya waktu
itu kemudian mengambil air wudhu. Saat ini sumber air itu masih
ada".(15)
Ringkasnya, saat Imam Husein as menyaksikan
bagaimana musuh tidak mengizinkan mereka untuk mendapatkan air, beliau
kemudian menggali sumur untuk mendapatkan air. Apa yang dilakukan oleh
Imam Husein as ini terlihat oleh pasukan musuh. Segera mereka melaporkan
kepada Ubaidillah bin Ziyad apa yang dilakukan oleh Imam Husein as.
Ubaidillah kemudian menulis surat kepada Umar bin Saad yang isinya,
"Saya mendapatkan kabar bahwa Husein dan sahabat-sahabatnya menggali
sumur dan mendapat air dari sana. Engkau tidak boleh membiarkan hal ini
terjadi. Bila engkau telah membaca surat ini, segera berusaha bagaimana
caranya agar mereka tidak dapat memanfaatkan sumur itu."(16)
Sekaitan dengan surat itu, tidak ada data sejarah yang mencatat
mengenai usaha Umar bin Saad untuk menghalang-halangi Imam Husein as
untuk memanfaatkan sumur itu. Apalagi usahanya untuk menutup sumur
tersebut. Sebaliknya, kita punya data bagaimana 30 orang berkuda dan 20
orang pejalan kaki dari rombongannya yang dipimpin oleh saudaranya Abbas
untuk mengambil air dari sungai Furat. Usaha itu mengakibatkan
timbulnya bentrokan bersenjata. Akhirnya pasukan Imam Husein as berhasil
mengisi 20 tempat air mereka dan membawanya pulang.(17) Atas dasar ini,
tidak jelas nasib sumur yang disebutkan itu. Riwayat yang dilukiskan
oleh Ibn ‘Atsam al-Kufi bahwa sumur itu kemudian lenyap begitu saja
tidak dapat dijadikan pegangan.
Benar, menggali sumur
bagi Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya bukan masalah sulit. Mereka
dengan waktu singkat dapat menggali parit yang cukup lebar di sekeliling
kemah yang ada.(18) Di sisi lain, ada riwayat yang menceritakan
bagaimana Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya pada pagi hari Asyura
(hari kesepuluh bulan Muharam), mereka sempat membersihkan dirinya
(mandi) dengan mencukur bulu badan.(19) Riwayat ini menunjukkan bahwa
sampai pagi hari Asyura Imam Husein as dan rombongan masih memiliki air
yang cukup. Karena bila air mereka tidak cukup, maka mereka tidak akan
membersihkan badan dengan air. Artinya, mereka tidak mungkin membiarkan
anak-anak dan wanita dalam kondisi tidak memiliki air. Namun, akibat
dari penjagaan musuh atas air sungai Furat perlahan-lahan mengakibatkan
persediaan air menipis bahkan habis. Terutama bagi anak-anak dan wanita.
Melihat kondisi anak-anak dan wanita yang mulai kehausan, sebagian dari
sahabat Imam Husein as dengan suara lantang memprotes sikap pasukan
musuh. Membawakan contoh dari ucapan salah satu dari sahabat Imam Husein
as, dapat menjelaskan bagaimana Imam Husein as dan rombongannya berada
dalam kondisi yang berat dan sulit. Hurr dan Burair bin Hadir Hamadani
berteriak kepada pasukan musuh, "Kalian mencegah wanita dan anak-anak
untuk mendapatkan air dari sungai Furat. Sementara pada saat yang sama
kalian membiarkan anjing dan babi bermain-main di sana. Kaum Majusi dan
Kristen dengan bebas dapat mengambil air dan meminumnya."(20)
Sebagaimana telah disebutkan di muka, bahwa saya tidak punya informasi
mengenai nasib sumur yang digali di depan kemah. Di sisi lain, usaha
Imam Husein as bersama sahabatnya berusaha keras, terutama Abbas, untuk
mendapatkan air. Di saat yang sama, rasa haus yang mendera rombongan dan
keluarganya memberikan kejelasan bahwa sekalipun masih ada sedikit air
di kemah, namun tidak ada lagi berita tentang adanya sumur. Bila kita
masih bersikeras untuk menerima berita yang dinukil oleh Ibn ‘Atsir
al-Kufi, karena tidak adanya data lain, maka itu hanya dapat diterima
dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan keramat Imam Husein as atau
ujian bagi rombongan dan keluarga beliau.
Yang jelas,
Imam Husein as dan sahabat-sahabanya yang sibuk menghadapi serbuan musuh
dari segala arah pada hari Asyura, membuat mereka memerlukan air lebih
banyak. Dan pada saat yang sama, mereka tidak mampu mendapatkan air.
Kondisi ini dapat menggambarkan bagaimana mereka menghadapi situasi yang
sangat sulit. Pada kondisi seperti ini, kemungkinan besar mereka akan
memberikan sisa air mereka untuk anak-anak dan wanita. Itulah mengapa
mereka menahan dirinya untuk tidak minum dan memberikannya kepada wanita
dan anak-anak dan menjemput ajalnya dengan kehausan.
Berdasarkan riwayat Ibn Syahr Asub, Ali Akbar yang berperang dengan
gagah berani menghadapi musuh, ketika rasa haus semakin menyengatnya
balik menuju ayahnya, Imam Husein as, untuk meminta seteguk air. Imam
Husein as hanya dapat berkata, "Engkau akan mendapatkan air langsung
dari tangan kakekmu Muhammad Saw."(21) Ibnu Syahr Asub menambahkan,
"Abbas saudara Imam Husein as diperintahkan oleh kakaknya untuk
mengambil air di sungai Furat. Akan tetapi hasilnya adalah syahadah.
Musuh memotong kedua tangannya dan sambil ditegakkan dengan besi ia
dibunuh. Dalam kejadian ini pun tidak disebutkan apakah ia berhasil
membawa air atau tidak.(22) Dalam riwayat lain, Ibn Syahr Asub menukil,
"Imam Husein as menangis di antara kemah dan sungai Furat. Ia menangisi
mayat Abbas dan keluarganya yang sedang menderita kehausan."(23)
Kita dapat melihat dalam penukilan Abu Hanifah Dinwari, "Pada saat-saat
terakhir karena merasa sangat haus meminta tempat air untuk minum.
Ketika tempat air telah dekat ke mulutnya, Hashin bin Namir, melepaskan
panah tepat mengenai mulut Imam Husein as. Beliau tidak sempat meneguk
air. Lalu tempat air dibiarkan."(24) Hadis itu menunjukkan bahwa di
kemah masih ada sisa air. Di mana sisa dari air itu diberikan kepada
Imam Husein as. Karena jelas masalahnya bahwa tidak mungkin musuh yang
memberinya air.
Majlisi menceritakan dalam bukunya,
"Ketika Abbas telah mendapat izin dari saudaranya Imam Husein as untuk
berperang, Imam meminta darinya untuk mengambil sedikit air untuk
anak-anak. Abbas sendiri mendengar suara anak-anak yang merintih karena
kehausan. Suara rintihan anak-anak menunjukkan bagaimana persediaan air
telah habis. Berdasarkan penukilan Majlisi juga dapat disimpulkan bahwa
Abbas tidak berhasil membawa air."(25) Poin penting lainnya dari riwayat
ini adalah Imam Husein as hingga detik-detik terakhir tidak melepaskan
perhatiannya dari penjaga air. Menurut riwayat Mufid, "Imam Husein dan
Abbas bersama-sama menuju Furat dan menyerang para penjaga air. Dalam
bentrokan bersenjata itu, Imam terluka di dagunya, sementara Abbas
mereguk cawan syahadah."(26) Abu Mikhnaf juga memberikan penjelasan
bagaimana Imam Husein as berhasil menyerang pasukan penjaga air sungai
Furat. Beliau berhasil mencapai tepi sungai. Pada saat ketika beliau
hendak meminum air, ada yang sengaja berteriak bahwa kemah diserang.
Mendengar itu, Imam Husein as tidak sempat untuk minum dan segera
kembali.(27)
Dengan melihat penukilan yang dilakukan
oleh para sejarawan Islam, menunjukkan bahwa Imam Husein as dan
sahabat-sahabatnya tetap berusaha untuk mendapatkan air bagi anak-anak
dan wanita. Dengan ini diharapkan tekanan musuh dapat dikurangi.
Ada satu masalah yang perlu untuk dijelaskan. Dalam peristiwa Karbala,
tidak ada satu sumber sejarah pun yang menyebutkan bahwa Imam Husein as
menggendong bayinya menghadap barisan pasukan musuh sambil meminta air.
Menurut data sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah beliau
menggendong bayinya untuk mengucapkan perpisahan. Saat itu ada yang
memanah dan tepat mengenai bayi yang mati seketika. Abu Hanifah Dinwari
menulis, "Pada detik-detik terakhir, Imam Husein as tinggal seorang
diri berperang melawan musuh. Beliau meminta bayinya untuk digendong.
Seorang tentara musuh dari Bani Asad menarik anak panahnya dan
melesakkannya tepat mengenai bayi Imam Husein as. Bayinya, Ali Ashgar
syahid seketika dalam pelukan ayahnya."(28) Sejarawan lain juga
menukilkan kejadian yang serupa dengan sedikit perbedaan dalam
lafaznya.(29)
Kesimpulan
Pasukan Yazid bin Muawiyah yang dipimpin oleh Umar bin Saad
mempergunakan air sebagai senjata untuk menekan Imam Husein as dan
rombongan untuk menyerah. Namun, usaha itu tidak berhasil karena usaha
Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya tidak pernah berhenti untuk
mengusahakan air. Begitu juga anak-anak dan wanita yang menunjukkan
kesabaran yang luar biasa menghadapi kondisi yang sulit ini. Semangat
ini yang membuat Imam Husein as dan rombongan hingga detik-detik
terakhir tidak menyerah. Dengan menahan rasa haus yang sangat Imam
Husein as dan sahabat-sahabatnya bertahan dan berperang dengan gigih.
Ini jugalah yang sempat membuat kebingungan musuh.
Sumber: www.islamalternatif.net
Catatan:
1. Mufid, Muhammad bin Nu'man, al-Irsyad, diterjemahkan oleh Sayyid
Hasyim Rasuli Mahallati, Entesharate Elmiyeh Eslamiyeh, cetakan ke -2,
tanpa tahun, jilid 2, hal 37. Allamah Najisi, Muhammad Baqir, Teheran,
1385, jilid 44, hal 335.
2. Ibid, jilid 2, hal 61. Mas'udi, Abu
al-Hasan Ali bin Husein, Muruj az-Dzahab wa Ma'adin al-Jawahir, Teheran,
1360, jilid 2, hal 63.
3. Thabari, Muhammad bin Jari, Tarikh
Thabari, jilid 6, hal 2247. Ibn Atsir, Izzuddin Ali, al-Kamil fi
at-Tarikh, jilid 3, tahun 35, hal 278. Mas'udi, ibid, jilid 2, hal 701.
Miskawaih ar-Razi, Abu Ali, Tajarib al-Umam, Teheran, jilid 1, hal 414.
4. Nashr bin Muzahim Nanari, Peikar Seffin, 1366, hal 219-222. Ya'qubi,
Ahmad bin Abi Ya'qub, Tarikh Ya'qubi, jilid 2, hal 88-89. Dinwari Abu
Hanifah, Ahmad bin Daud, Akbar at-Thiwal, Teheran, 1366, hal 208-210.
Ibn Thaba'thaba, Muhammad bin Ali, Tarikh Fakhri, hal 122-123.
5. Thabari, ibid, jilid 7, hal 2990. Mufid, ibid, jilid 1, hal 79. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 149.
6. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3000-3001. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal
156. Baladzri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansab al-Asyraf, Beirut,
1997, jilid 2, hal 176. Ibn Syahr Asub, Manaqib Aalu Abi Thalib, tanpa
tahun, jilid 4, hal 96. Mufid, ibid, jilid 2, hal 84-85.
7. Ibid, hal 301.
8. Ibn ‘Atsam al-Kufi, Abu Muhammad bin Ahmad bin Ali, al-Futuh,
Teheran, 1372, hal 887. Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 301. Ibn Atsir,
ibid jilid 5, hal 185. Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 97. Thabari,
ibid, jilid 7, hal 3006, Mufid, ibid, jilid 2, hal 88.
9. Ibn
Atsir, ibid, jilid 5, hal 158. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006.
Baladzri, idem jilid 2 dan 3, hal 118. Abu al-Futuh al-Ishfahani,
Maqatil at-Thalibin, tanpa tahun, hal 118. Mufid, ibid, jilid 2, hal88.
10. Abu al-Futuh, ibid, hal 118. al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 51-52.
11. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 83.
12. Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 50. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 893.
13. Ibid, hal 893. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 337.
14. Ibn ‘Asakir, Tarjamah Raihanah Rasulullah al-Imam Mahdi Fi
Sabilillah al-Husein bin Ali bin Abi Thalib Min Tarikh Madinah Dimasyq,
Beirut, 1978, hal 155. Az-Dzahabi, Tarikh al-Islam Wafayat al-Masyahir
Wa al-‘Alam, Beirut, 1990, jilid 5, hal 8.
15. Qommi, Syaikh Abbas, Muntaha al-Amal, 1368, hal 894.
16. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 893.
17. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3006-3007. Ibn Atsir, ibid, jilid 5,
hal 159. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 894. Abu al-Futuh al-Ishfahani,
ibid, hal 119. BAladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 181. Dinwari, ibid,
hal 301-302. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 338.
18. Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 4.
19. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3021. Ibn Atsir, jilid 5, hal 167.
20. Thabari, ibid, jilid 7, hal 3029. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal
173. Baladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal 189. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid,
hal 902. Mufid, ibid, jilid 2, hal 104.
21.Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 109. Ibn ‘Atsam al-Kufi, ibid, hal 907. Al-Majlisi, ibid, jilid 44, hal 321.
22. Ibid, jilid 4, hal 108.
23. Ibid, jilid 4, hal 108.
24. Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 304.
25. Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 41.
26. Mufid, ibid, jilid 2, hal 113-114. Baladzari, jilid 2, juz 3, hal 201. Al-Majlisi, ibid, jilid 45, hal 50.
27. Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 58. Al-Majlisi, ibid, 45, hal 51.
28. Abu Hanifah Dinwari, ibid, hal 308.
29. Ibn Syahr Asub, ibid, jilid 4, hal 109. Ibn ‘Atsam al-Kufi, hal
908. Ibn Atsir, ibid, jilid 5, hal 186. Thabari, ibid, jilid 7, hal
3055. Mufid, ibid, jilid 2, hal 112. Baladzri, ibid, jilid 2, juz 3, hal
201. Qommi, Syaikh Abbas, Naf sal-Mahmum Nafatsah al-Mashdur, tanpa
tahun, hal 161-162.