Search

Thursday, January 10, 2013

Imam Khomeini ra Pengibar Panji Kemurnian Islam

Kini di dunia Islam ada yang memerangi kezaliman dan arogansi dan ada juga yang mengutuk aksi penjarahan dan kejahatan. Islam semacam ini harus siap menghadapi permusuhan adidaya Amerika, Zionisme Internasional, perusahaan-perusaahaan raksasa penjarah sumber-sumber kekayaan, penguasa-penguasa korup dan kepala-kepala negara tak bermoralKetika kita berada di belakang Imam yang mulia dan pengibar panji kemurnian Islam dan menyuarakan slogan-slogan Islam yang hakiki, kita sejak awak telah menyadari bahwa musuh-musuh, kekuatan-kekuatan dan negara-negara adidaya tengah berbaris menghadang. Hal yang sama terjadi pada masa permulaan Islam. Saat itu orang-orang Yahudi, munafik, kafir dan musyrik memblokade kota Madinah dan memaksakan perang Ahzab atau Khandaq. Menyaksikan hal itu orang-orang mukmin mengatakan, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita” (QS. 33: 22). Ini bukan hal yang baru. Allah dan Rasul-Nya telah menyampaikan masalah ini kepada kita bahwa orang-orang jahat, bengis dan korup akan bersatu melawan kalian. Oleh karenanya saat mereka menyaksikan kebenaran janji ilahi, keimanan mereka semakin kokoh.

Di mana saja Islam sejati muncul, di sana pasti ada manusia-manusia yang bersih, hatinya suci, jiwanya bening dan fitrah yang belum tercemar akan membelanya sekuat tenaga, meski kekuatan-kekuatan kotor dan keji bersatu memusuhinya. Mengapa sepuluh juta manusia berduka cita di hari wafatnya Imam Khomeini ra? Mereka berkumpul mengelilingi jenazah beliau yang terhormat sembari memukul-mukul kepala dan dadanya. Mengapa ratusan juta umat Islam di seluruh penjuru dunia berduka cita dan sedih hanya karena wafatnya seorang manusia? Apa rahasia yang membuat Imam kita begitu dicintai? Jawabannya hanya satu kata, Islam! Imam sendiri yang mengajarkan kepada kita mengenai hal ini. Beliau menekankan bahwa karena Islam, Allah membuat hati-hati terpesona pada revolusi, Rahbar dan bangsa Iran.

Islam murni, pembelaan terhadap orang tertindas dan penentangan terhadap orang zalim yang membuat kaki dan hati kalian kuat, sehingga mampu melintasi jalan panjang dan tiba di sini. Islamlah yang menyedot dan menghimpun hati-hati dan menciptakan sebuah kekuatan besar yang tak terkalahkan. Inilah inti rahasia yang harus benar-benar kita pahami dan selalu diingat.

Petikan dari pesan Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei dalam acara pembaitan para rohaniawan, pejabat dan masyarakat Provinsi Fars, Hormozgan, kota Qazvi dan Takestan 12/7/1989  (21/4/1368).

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Kejahatan Muhammad bin Abdil Wahhab


Sebelumnya telah dijelaskan bahwa lima abad setelah kematian Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdil Wahhab menghidupkan kembali pemikiran-pemikirannya yang menyimpang dalam situasi yang tidak menentu. Saat itu, negeri-negeri Islam berada dalam kepungan kekuatan-kekuatan imperialis dunia.


Britania Raya sebagai kekuatan imperialis yang paling menonjol saat itu sedang bergerak memperluas daerah jajahannya ke wilayah selatan dan barat Iran. di bagian lain, pasukan Perancis yang dipimpin Napoleon yang sudah menguasai Mesir, Suriah dan Palestina berambisi untuk mencaplok India. Di saat yang sama, Rusia beberapa kali menyerang Iran dan imperium Ottoman berusaha melebarkan kekuasaan di Palestina dan negeri-negeri lain di Teluk Persia. Tak hanya itu, Amerika dari belahan dunia lain juga berpikir menguasai negeri-negeri Muslim di utara Afrika. Dalam kondisi seperti itu, umat Islam sangat memerlukan persatuan untuk menyusun kekuatan melawan pasukan imperialis yang mengepung mereka. Saat itulah Muhammad bin Abdil Wahhab muncul dengan pemikiran-pemikiran sesat untuk merusak keutuhan umat.

Tak diragukan bahwa dibanding kekuatan imperialis lainnya, pengaruh Inggris di negeri-negeri Muslim dan wilayah jajahannya lebih besar. Salah satu modus Inggris dalam menjajah dan memperkuat pengaruhnya adalah dengan menyibukkan bangsa-bangsa lain dengan pertikaian di antara mereka. Dengan cara itu, pemerintah Britania akan mudah menundukkan dan merampas kekayaan mereka. Karena itulah, Inggris selalu memanfaatkan setiap isu perselisihan di tengah umat Islam untuk menyulut api permusuhan di antara mereka. Tak heran jika para sejarawan meyakini bahwa lahirnya Wahhabisme tak lepas dari  skenario Inggris dalam memecah belah umat Islam. Dalam sejarah disebutkan adanya hubungan erat antara Mister Hamfer agen rahasia Inggris dengan Muhammad bin Abdil Wahhab.

Hamfer adalah agen rahasia Inggris yang menyamar sebagai Muslim dan menyusup ke berbagai negara Islam. misi yang diembannya adalah menebar perselisihan di tengah kaum muslimin. Dalam catatan hariannya dia mengaku bertemu dengan Muhammmad bin Abdil Wahhab di Basrah, Irak selatan. Mengenai pertemuan itu dia mengatakan, "Aku menemukan yang aku cari pada diri Muhammad bin Abdil Wahhab. Dia adalah pribadi yang tidak berkomitmen dengan ajaran agama, berperangai angkuh, dan menaruh rasa benci terhadap para ulama di zamannya sehingga memiliki kebebasan pemikiran dan tak peduli dengan kedudukan Khulafaur Rasyidin. Dia hanya mementingkan pemahamannya yang dangkal terhadap al-Quran dan Sunnah. Sifat-sifat ini adalah kelemahan-kelemahan menonjol pada dirinya yang membuatku bisa menanamkan pengaruah padanya." Hamfer menambahkan bahwa dia berhasil mendorong Muhammad bin Abdil Wahhab untuk membentuk aliran Wahhabisme dan menjanjikan dukungan dan bantuan pemerintah Britania kepadanya dan kepada Muhammad bin Saud.

Yang jelas, sejak awal pemikiran-pemikiran sesat dan menyimpang yang dipaparkan Muhammad bin Abdil Wahhab mendapat penentangan keras dari ayah dan kakak nya serta para ulama dan masyarakat di zaman itu. Karena derasnya arus penentangan itulah, ia baru memperoleh kesempatan menyebarkan ajarannya setelah sang ayah meninggal dunia. Di kota Huraimalah, Ibnu Abdil Wahhab menyebarkan ajaran Wahhabisme secara terbuka. Namun di kota itu ia mendapat perlawanan sengit sehingga terpaksa meninggalkan Huraimalah menuju kota Uyainah yang saat itu dipimpin oleh seorang penguasa bernama Utsman bin Ma'mar. Awalnya Utsman menerima Muhammad bin Abdil Wahhab dengan tangan terbuka. Sebagai imbalannya, pendiri aliran Wahhabisme itu menjanjikan kepada Utsman loyalitas dan kepatuhan warga Najed kepadanya. Akan tetapi tekanan dan peringatan keras yang disampaikan oleh penguasa wilayah Ahsa' memaksa Utsman bin Ma'mar untuk mengubah kebijakannya dan mengusir Ibnu Abdil Wahhab dari kota Uyainah.

Tahun 1160 H, setelah diusir dari Uyainah, Muhammad bin Abdil Wahhab bertolak menuju Dir'iyyah, salah satu kota terkenal di kawasan Najed yang saat itu dikendalikan oleh penguasa bernama Muhammad bin Saud. Dia mengajak penguasa Dir'iyyah untuk bekerjasama dan menerima ajarannya dengan menjanjikan perluasan wilayah kekuasaan keluarga Saud lewat pemikiran Wahhabisme. Tawaran itu diterima oleh Muhammad bin Saud. Akhirnya antara mereka berdua dibuat kesepakatan bahwa kekuasaan menjadi hak Muhammad bin Saud sementara Muhammad bin Abdil Wahhab mendapat dukungan dan bantuan penuh untuk menyebarkan ajarannya. Untuk memperkuat perjanjian dijalinlah ikatan perkawinan di antara kedua keluarga.

Dengan berbekal kekuatan dan kekuasaan keluarga Saud,Muhammad bin Abdil Wahhab leluasa menyebarkan ajarannya. Dengan cepatterjadilah serangan ke berbagai suku dan kabilah di kota-kota sekitar. Langkah pertama yang dilakukan Ibnu Abdil Wahhab adalah menghancurkan makam para sahabat dan orang-orang saleh di sekitar kota Uyainah. Diapun mengeluarkan fatwa yang mengkafirkan siapa saja yang berziarah dan bertawassul kepada para nabi dan shalilin karena menurutnya hal itu tidak berbeda dengan penyembahan berhala. Dia menghalalkan darah semua orang yang dianggapnya kafir dan mengizinkan para pengikutnya untuk membunuh mereka dan merampas kekayaan mereka sebagai ghanimah atau rampasan perang.

Fatwa yang menyimpang ini berakibat pada pembantaian terhadap ribuan orang tak berdosa. Warga Dir'iyyah yang sebelumnya hidup dalam kemiskinan mendadak kaya raya berkat perang dan serbuan ke berbagai kota dan daerah yang selalu disertai dengan pembantaian massal dan perampasan kekayaan. Sejarawan, Alusi yang punya keenderungan kepada pemikiran Salafiyah dalam bukunya Tarikh Najdi mengutip pernyataan sejarawan lain bernama Ibnu Busyr Najdi yang mengatakan, "Aku menyaksikan kemiskinan warga Dir'iyyah. Akan tetapi di masa pemerintahan Saud (cucu Muhammad bin Saud) mendadak kota itu menjadi kota orang-orang kaya. Sedemikian berlimpahnya kekayaan itu sampai mereka menghiasi pedang dan alat-alat perang dengan emas, menunggung kuda-kuda yang mahal, mengenakan pakaian mewah, dan memiliki segala simbol kekayaan yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata."

Ibnu Busyr dalam bukunya tak menjelaskan darimana datangnya kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi lembaran-lembaran sejarah menyebutkan bahwa kekayaan itu didapatkan melalui serangan terhadap suku-suku dan kota-kota di kawasan Najed yang warganya tak mau menerima ajaran Wahhabisme. Setelah melakukan pembunuhan dan penjarahan besar-besaran, para pengikut Wahhabisme menyerahkan harta hasil penjarahan kepada keluarga Saud. Muhammad bin Abdil Wahhab membagi-bagikan harta itu semaunya dan tak jarang semua hasil penjarahan diberikan hanya kepada dua atau tiga orang saja.

Dalam setiap serangan, pasukan Wahhabisme menawarkan ajarannya kepada suku-suku yang sasaran serangan. Siapa saja yang menerima seruannya akan selamat dan tidak harus menghadapi fatwa kafir, dan jiwa serta harta tak akan selamat dari kekejian mereka. Cara inilah yang dilakukan pasukan Wahhabisme dalam setiap serangannya ke berbagai kota di Najed, Hijaz, Suriah bahkan Irak. Untuk mereka yang bersedia menerima ajarannya Muhammad bin Abdil Wahhab akan meminta mereka berbaiat kepadanya sedangkan yahng menolak akan dihukum mati. Cara mereka memperlakukan korbannya sangat keji. Misalnya di desa Fushul di kota Ahsa', mereka membunuh lebih dari 300 pria dan merampas kekayaan mereka.

Kebudayaan dan Peradaban Islam; Periode Jahiliah dan Mekah



Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 36 berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا

 الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ 

عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا

 كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (36)


 "Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)."

Kota suci Mekah sejak dahulu kala selalu menjadi saksi kehadiran para nabi di muka bumi ini. Berdasarkan data sejarah, orang-orang Arab meyakini agama tauhid setelah diutusnya Nabi Ibrahim. Akan tetapi dengan berlalunya waktu, mereka menyimpang dari ajaran Nabi Ibrahim dan meyakini khurafat. Menurut sebagian besar pakar sejarah, keyakinan orang-orang Arab setelah diutusnya Nabi Ibrahim hingga munculnya agama Islam yang diemban oleh Rasulullah Saw, adalah agama yang diajarkan Nabi Ibrahim as yang menghormati haji dan tawaf di Kabah. Akan tetapi ajaran itu disimpangkan, yang kemudian masyarakat setempat lebih cenderung menyembah berhala. Meski demikian ada kelompok-kelompok yang tetap mempertahankan ajaran murni Nabi Ibrahim as. Abdul Muthalib adalah salah satu tokoh Arab yang tetap konsisten dengan ajaran Nabi Ibrahim as.

Para sejarah membagi sejarah Arab menjadi tiga periode. Periode Sheba (Saba') dan Hemyar adalah sebuah periode yang berkaitan dengan masa kuno sejarah Arab. Setelah itu tiba periode Jahiliah yang dimulai dari abad keenam masehi. Masa Jahiliah itu berakhir dengan masuknya periode Islam. Periode Islam pun bertahan hingga kini.

Pembagian sejarah Arab juga dilakukan berdasarkan geografi dan ras. Berdasarkan geografi dan ras, Arab terbagi menjadi dua kelompok; Qahthani dan Adnani. Dengan kata lain, ada kelompok penduduk kota dan badui. Pada dasarnya, sejarah Arab kuno saling berkaitan dengan akar sejarah bangsa Iran, India, Mesir dan Yunani.

Bangsa Arab sebelum masuknya Islam, dikenal di bidang syair dan sastra. Budaya sastra dan syair melebur di tengah masyarakat, bahkan menjadi perhatian luar biasa semua khalayak. Arab badui sangat menyukai sastra bahkan mereka membentuk lingkaran-lingkaran dan kelompok untuk mendengar syair-syair Arab terbaru. Pasar-pasar Arab seperti Ukaz adalah tempat kumpul masyarakat dan sastrawan. Masyarakat dari berbagai kabilah saling berbangga-bangaan dengan menyampaikan syair-syair karyanya.

Disebutkan dalam sejarah bahwa sastra di masa itu sangat berpengaruh kuat bahkan diceritakan bahwa bila seorang penyair menyampaikan pujian kepada orang yang tak dikenal, maka orang itu tiba-tiba akan dikenal dan mulia dalam sekejap. Akan tetapi sebaliknya bahwa seorang penyair ketika menjatuhkan orang yang punya kedudukan, maka saat itu juga, orang yang berkedudukan itu akan hina di hadapan semua orang. Ini menunjukkan bahwa sastra di masa itu sangat berpengaruh kuat. Pada intinya, sastra dan syair pada masa sebelum Islam menjadi masalah yang benar-benar menyedot perhatian masyarakat.

Untuk mengenal lebih masa sebelum munculnya Islam, kita akan membahas sekilas periode Jahiliah. Sebelum munculnya Islam disebut sebagai masa Jahiliah. Pada masa itu, praktik-praktik Jahiliah dan keberingasan benar-benar merata. Selain itu, tidak ada aturan atau nabi di negeri Arab untuk membimbing manusia. Negeri Arab, khususnya Hijaz, adalah padang luas yang kering. Orang-orang badui di masa itu hidup di padang yang kering kerontang. Sebagian besar waktu mereka juga digunakan untuk mencari air. Kondisi sulit dan kehidupan keras di masa itu membentuk karakter khusus bagi bangsa Arab. Karena kondisi sulit itu, banyak orang Arab yang kehilangan karakter mulianya.

Sejarah Arab badui banyak diliputi dengan perang. Pada masa itu dikenal dengan istilah "Ayyamul Arab." Pada umumnya, perang di masa itu terjadi karena perselisihan dan pertikaian terkait binatang dan padang rumput. Fanatisme adalah salah satu karakter menonjol Arab.

Di masa itu, konflik sering terjadi, bahkan karena masalah kecil, perang bisa berlangsung hingga bertahun-tahun. Lebih dari itu, masyarakat di masa Jahiliah sama sekali tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang mulia. Mereka malah beranggapan bahwa perempuan adalah sumber kehinaan. Bahkan dalam sejarah disebutkan bahwa mereka tega mengubur anak perempuan dalam kondisi hidup-hidup untuk menutupi rasa malu. Bangsa Arab juga meyakini bahwa kaum perempuan tidak dapat menerima warisan, bahkan mereka dianggap seperti barang yang bagian dari warisan.

Allah Swt dalam surat An-Nahl ayat 58-59 berfirman;

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ 

أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (59)

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.

Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.

Rasulullah Saw diutus di tengah masyarakat Jahiliah untuk menyampaikan berita kebahagiaan. Masyarakat Arab di masa itu benar-benar tertinggal. Untuk itu, masyarakat Arab tidak termasuk dalam kekuatan yang diperhitungkan dunia. Akan tetapi setelah kehadiran Rasulullah Saw, masyarakat Arab mengalami perubahan dalam waktu singkat baik dari sisi keyakinan, budaya maupun peradaban.

Setelah diutus menjadi Rasulullah, Muhammad Saw menjelaskan prinsip-prinsip agama Islam selama 13 tahun di Mekah. Dakwah selama bertahun-tahun tidak menghasilkan kondisi untuk membentuk pemerintahan dan membangun peradaban baru. Kondisi politik di Mekah berlandaskan pada sistem kelompok dan suku. Ada kemungkinan kondisi politik rasialis ini yang menyebabkan tertutupnya jalan Rasulullah Saw untuk membangun peradaban baru. Untuk itu, Rasulullah Saw melakukan hijrah ke Madinah.

Dalam sistem politik Mekah, jabatan dibagi bukan berlandaskan kepiawaian, kebijaksanaan dan kekuatan, tapi bertumpu pada tradisi dan warisan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, kapabilitas untuk membentuk peradaban yang cemerlang benar-benar tertutup. Selain itu, letak geografi Mekah juga menjadi faktor lain. Kondisi inilah yang membuat pemeritah Islam pertama tidak dapat dibentuk di Mekah. Meski Mekah saat itu adalah sebuah kota, tapi pada dasarnya, masyarakat di kota itu kehilangan solidaritas.

Dari sisi lain, masyarakat Mekah adalah para pedagang yang selalu berpikir untung dan rugi. Adapun masyarakat Madinah adalah para petani dan pekerja keras yang bersedia mengemban kesulitan orang lain. Selain itu, masyarakat Mekah merasa nyaman di sebelah Kabah yang juga didukung dengan tradisi-tradisi Jahiliah. Kondisi inilah yang membuat masyarakat Mekah kompak mempertahankan tradisi-tradisi Jahiliah dan kota Mekah.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Rasulullah Saw memutuskan berhijrah ke Madinah. Pada awalnya, Rasulullah berhijrah ke Taif, tapi masyarakat itu malah menyikapi Rasulullah dengan tindakan-tindakan tidak terpuji. Rasulullah akhirnya memilih Madinah sebagai tujuan berhijrah. Hijrah ke Madinah itu dilakukan setelah Baiat Aqabah yang merupakan baiat dengan sekelompok masyarakat Madinah. Kondisi politik di Madinah mendorong Rasulullah Saw untuk membentuk pemerintah pertama Islam.