Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 36 berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ
وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ
حَقَّتْ
عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا
كَيْفَ
كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (36)
"Dan
sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)."
Kota
suci Mekah sejak dahulu kala selalu menjadi saksi kehadiran para nabi
di muka bumi ini. Berdasarkan data sejarah, orang-orang Arab meyakini
agama tauhid setelah diutusnya Nabi Ibrahim. Akan tetapi dengan
berlalunya waktu, mereka menyimpang dari ajaran Nabi Ibrahim dan
meyakini khurafat. Menurut sebagian besar pakar sejarah, keyakinan
orang-orang Arab setelah diutusnya Nabi Ibrahim hingga munculnya agama
Islam yang diemban oleh Rasulullah Saw, adalah agama yang diajarkan Nabi
Ibrahim as yang menghormati haji dan tawaf di Kabah. Akan tetapi ajaran
itu disimpangkan, yang kemudian masyarakat setempat lebih cenderung
menyembah berhala. Meski demikian ada kelompok-kelompok yang tetap
mempertahankan ajaran murni Nabi Ibrahim as. Abdul Muthalib adalah salah
satu tokoh Arab yang tetap konsisten dengan ajaran Nabi Ibrahim as.
Para sejarah membagi sejarah Arab menjadi tiga periode. Periode Sheba
(Saba') dan Hemyar adalah sebuah periode yang berkaitan dengan masa kuno
sejarah Arab. Setelah itu tiba periode Jahiliah yang dimulai dari abad
keenam masehi. Masa Jahiliah itu berakhir dengan masuknya periode Islam.
Periode Islam pun bertahan hingga kini.
Pembagian
sejarah Arab juga dilakukan berdasarkan geografi dan ras. Berdasarkan
geografi dan ras, Arab terbagi menjadi dua kelompok; Qahthani dan
Adnani. Dengan kata lain, ada kelompok penduduk kota dan badui. Pada
dasarnya, sejarah Arab kuno saling berkaitan dengan akar sejarah bangsa
Iran, India, Mesir dan Yunani.
Bangsa Arab sebelum
masuknya Islam, dikenal di bidang syair dan sastra. Budaya sastra dan
syair melebur di tengah masyarakat, bahkan menjadi perhatian luar biasa
semua khalayak. Arab badui sangat menyukai sastra bahkan mereka
membentuk lingkaran-lingkaran dan kelompok untuk mendengar syair-syair
Arab terbaru. Pasar-pasar Arab seperti Ukaz adalah tempat kumpul
masyarakat dan sastrawan. Masyarakat dari berbagai kabilah saling
berbangga-bangaan dengan menyampaikan syair-syair karyanya.
Disebutkan dalam sejarah bahwa sastra di masa itu sangat berpengaruh
kuat bahkan diceritakan bahwa bila seorang penyair menyampaikan pujian
kepada orang yang tak dikenal, maka orang itu tiba-tiba akan dikenal dan
mulia dalam sekejap. Akan tetapi sebaliknya bahwa seorang penyair
ketika menjatuhkan orang yang punya kedudukan, maka saat itu juga, orang
yang berkedudukan itu akan hina di hadapan semua orang. Ini menunjukkan
bahwa sastra di masa itu sangat berpengaruh kuat. Pada intinya, sastra
dan syair pada masa sebelum Islam menjadi masalah yang benar-benar
menyedot perhatian masyarakat.
Untuk mengenal lebih
masa sebelum munculnya Islam, kita akan membahas sekilas periode
Jahiliah. Sebelum munculnya Islam disebut sebagai masa Jahiliah. Pada
masa itu, praktik-praktik Jahiliah dan keberingasan benar-benar merata.
Selain itu, tidak ada aturan atau nabi di negeri Arab untuk membimbing
manusia. Negeri Arab, khususnya Hijaz, adalah padang luas yang kering.
Orang-orang badui di masa itu hidup di padang yang kering kerontang.
Sebagian besar waktu mereka juga digunakan untuk mencari air. Kondisi
sulit dan kehidupan keras di masa itu membentuk karakter khusus bagi
bangsa Arab. Karena kondisi sulit itu, banyak orang Arab yang kehilangan
karakter mulianya.
Sejarah Arab badui banyak diliputi
dengan perang. Pada masa itu dikenal dengan istilah "Ayyamul Arab."
Pada umumnya, perang di masa itu terjadi karena perselisihan dan
pertikaian terkait binatang dan padang rumput. Fanatisme adalah salah
satu karakter menonjol Arab.
Di masa itu, konflik
sering terjadi, bahkan karena masalah kecil, perang bisa berlangsung
hingga bertahun-tahun. Lebih dari itu, masyarakat di masa Jahiliah sama
sekali tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang mulia. Mereka
malah beranggapan bahwa perempuan adalah sumber kehinaan. Bahkan dalam
sejarah disebutkan bahwa mereka tega mengubur anak perempuan dalam
kondisi hidup-hidup untuk menutupi rasa malu. Bangsa Arab juga meyakini
bahwa kaum perempuan tidak dapat menerima warisan, bahkan mereka
dianggap seperti barang yang bagian dari warisan.
Allah Swt dalam surat An-Nahl ayat 58-59 berfirman;
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا
وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ
بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ
أَلَا سَاءَ
مَا يَحْكُمُونَ (59)
Dan apabila seseorang dari
mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah
padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.
Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu.
Rasulullah Saw diutus di tengah masyarakat
Jahiliah untuk menyampaikan berita kebahagiaan. Masyarakat Arab di masa
itu benar-benar tertinggal. Untuk itu, masyarakat Arab tidak termasuk
dalam kekuatan yang diperhitungkan dunia. Akan tetapi setelah kehadiran
Rasulullah Saw, masyarakat Arab mengalami perubahan dalam waktu singkat
baik dari sisi keyakinan, budaya maupun peradaban.
Setelah diutus menjadi Rasulullah, Muhammad Saw menjelaskan
prinsip-prinsip agama Islam selama 13 tahun di Mekah. Dakwah selama
bertahun-tahun tidak menghasilkan kondisi untuk membentuk pemerintahan
dan membangun peradaban baru. Kondisi politik di Mekah berlandaskan pada
sistem kelompok dan suku. Ada kemungkinan kondisi politik rasialis ini
yang menyebabkan tertutupnya jalan Rasulullah Saw untuk membangun
peradaban baru. Untuk itu, Rasulullah Saw melakukan hijrah ke Madinah.
Dalam sistem politik Mekah, jabatan dibagi bukan berlandaskan
kepiawaian, kebijaksanaan dan kekuatan, tapi bertumpu pada tradisi dan
warisan orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, kapabilitas untuk
membentuk peradaban yang cemerlang benar-benar tertutup. Selain itu,
letak geografi Mekah juga menjadi faktor lain. Kondisi inilah yang
membuat pemeritah Islam pertama tidak dapat dibentuk di Mekah. Meski
Mekah saat itu adalah sebuah kota, tapi pada dasarnya, masyarakat di
kota itu kehilangan solidaritas.
Dari sisi lain,
masyarakat Mekah adalah para pedagang yang selalu berpikir untung dan
rugi. Adapun masyarakat Madinah adalah para petani dan pekerja keras
yang bersedia mengemban kesulitan orang lain. Selain itu, masyarakat
Mekah merasa nyaman di sebelah Kabah yang juga didukung dengan
tradisi-tradisi Jahiliah. Kondisi inilah yang membuat masyarakat Mekah
kompak mempertahankan tradisi-tradisi Jahiliah dan kota Mekah.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Rasulullah Saw
memutuskan berhijrah ke Madinah. Pada awalnya, Rasulullah berhijrah ke
Taif, tapi masyarakat itu malah menyikapi Rasulullah dengan
tindakan-tindakan tidak terpuji. Rasulullah akhirnya memilih Madinah
sebagai tujuan berhijrah. Hijrah ke Madinah itu dilakukan setelah Baiat
Aqabah yang merupakan baiat dengan sekelompok masyarakat Madinah.
Kondisi politik di Madinah mendorong Rasulullah Saw untuk membentuk
pemerintah pertama Islam.