Eksistensi memancar
pada segala sesuatu dalam dua sisi: yang tak-tampak dan yang tampak.
Eksistensi tak-tampak seperti ruh, jiwa, akal, perasaan, dan sebagainya
adalah dimensi yang tak-terbatasi; sedangkan perwujudan lahiriah seperti
lembaran yang sedang Anda baca ini, tubuh Anda yang sedang menggigil
kedinginan atau berkeringat kegerahan…adalah sisi yang terbatas dan
terukur. Jadi, semua yang terlihat atau terindra adalah sisi terbatas,
terukur dan terkecil dari eksistensi.
Ketika sampai pada dua
sisi eksistensi ini, sebagian orang tak mampu memahami apa yang di luar
alam yang terbatas dan terindra ini. Orang itu lalu sesumbar bahwa
materialitas identik dengan keseluruhan eksistensi. Tapi klaim semacam
ini di ranah ilmu pengetahuan dianggap tak lebih dari kebodohan dan
kesombongan. Satu-satunya “alasan” di balik klaim semacam itu adalah
ketiadaan bukti akan adanya sesuatu di luar yang mereka bisa indrai.
Padahal, secara logika, ketiadaan-bukti bukanlah suatu bukti, melainkan
keadaan negatif yang hanya menyatakan ketidaktahuan atau kebodohan dan
tidak bisa menghasilkan kesimpulan apa-apa.
Prinsip ilmu
menandaskan “premis negatif tidak bisa memberikan kesimpulan afirmatif”.
Yakni, orang yang tidak mengetahui X tidak bisa secara afirmatif
menafikan X. Sialnya, dengan kesombongannya, manusia sering beranggapan
bahwa apa yang diketahuinya sama dengan apa yang ada dan apa yang tidak
diketahuinya sama dengan ketiadaan. Kerancuan berpikir ini sering kita
temukan dalam banyak bidang kemanusiaan dan keagamaan.
Dalam kehidupan
sehari-hari, sebetulnya kita selalu mengalami efek dari sisi gaib
eksistensi. Gravitasi, gelombang, virus, molekul, sel, atom,
sumber-sumber energi, dan lain2 adalah dimensi “gaib” yang senantiasa
mempengaruhi kita. Jadi, ada banyak hal gaib yang sungguh-sungguh
mempengaruhi kita. Tiap saat, di tiap tempat.
Lebih dari itu, dalam
struktur realitas, alam fisik material ini justru menempati posisi
paling rendah (ad-dunyâ). Energinya paling redup; ruang dan waktunya
juga paling terbatas. Dibanding dengan “ruang dan waktu” yang terdapat
dalam imajinasi kita saja alam material ini sudah kalah hebat.
Sebaliknya, alam non-material adalah energi murni yang tidak
“terpenjara” dalam suatu bentuk dan berada dalam samudera lepas.
Para ahli fisika
kuantum menyebut alam non-material itu dengan chaos, para filosof
menyebutnya dengan Wujud Abstrak, kaum empiris menyebutnya dengan
ketiadaan, dan agama menyebutnya dengan kegaiban sebagai lawan dari
ketampakan atau alam batin sebagai lawan dari alam lahiriah. Sebutlah
sesuka Anda, karena sisi gaib itu memang pasti ada dan selalu
mempengaruhi.
Alam Gaib itu adalah
kampung asal dan tempat kembali manusia. Kehidupan fisik sesungguhnya
berarti pemenjeraan dan pembatasan ruh. Di alam fisik ini, ruh terkurung
dalam terali tubuh yang tidak dapat dilanggarnya. Pada saat ruh
terlepas dari alam fisik ini, ia akan kembali bebas dan tidak lagi
terbebani. Kata rûh dalam bahasa Arab mempunyai akar kata yang sama
dengan râhah, yakni keadaan lapang atau bebas dari beban (relief).
Allah mengutus para
nabi, rasul dan imam untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan
keterjeratan ini. Mereka berjuang keras untuk menyampaikan pesan-pesan
Allah agar manusia ingat pada hampung halamannya yang sejati. Mereka
mengajak manusia untuk berpikir akan kehidupan selanjutnya, kehidupan
setelah kehancuran tubuhnya dan kemusnahan dunia. Tidak hanya itu,
mereka secara langsung mencontohkan perilaku dan sikap yang harus
diambil oleh seseorang dalam rangka mengarungi perjalanan menuju
kehidupan abadi.
Satu demi satu nabi,
rasul dan imam dipilih dan diutus untuk umat manusia. Baginda Nabi
al-Musthafa saw telah menyempurnakan tugas semua nabi dan rasul untuk
menyampaikan wahyu Allah kepada semua manusia. Ajaran dan pesan Allah
telah sempurna bagi semua manusia. Rasulullah saw juga telah menyebutkan
imam-imam yang ditunjuk oleh Allah untuk membimbing manusia mengarungi
jalan menuju kampung yang abadi.
Namun manusia tetap
tak sadar diri, bergeming dalam kekafiran dan pengingkaran. Tidak
segan-segan mereka memanipulasi agama suci ini demi
kepentingan-kepentingan duniawi. Mereka memutarbalikkan ayat-ayat Allah
untuk mencapai hasrat-hasrat egoistik-materialistik. Imam-imam yang
telah dipilih oleh Allah untuk memimpin manusia diingkari, ditindas dan
dibantai satu demi satu. Kegelapan dan kelaliman pun puncaknya
benar-benar memenuhi dunia.
Segala benda yang ada
di dunia inikini menjerit kesakitan. Perusakan manusia sudah berlangsung
melampaui batas. Jika saja Allah bolehkan, dunia mungkin akan
meledakkan dirinya sendiri dalam erangan amarah. Matahari pun sudah tak
lagi memancarkan cahaya yang menyehatkan, cuaca tidak lagi beraturan,
langit menurunkan hujan2 tangisan yang penuh asam, tanah penuh racun,
hutan mengering dan terbakar, laut tercemar polusi, udara pengap dan
terkontaminasi, binatang-binatang punah, burung-burung tidak lagi
bernyanyi, makhluk-makhluk tidak terlihat berubah menjadi virus-virus
mematikan. Orang-orang bijak yg berjalan di garis kebenaran pun perlahan
dipinggirkan. Mereka diolok-olok layaknya tikus-tikus di got.
Sungguh…dunia ini sudah benar-benar tidak layak untuk ditinggali oleh seorang imam yang suci.
Karena itulah Allah
yang Maha Bijak menyembunyikan Imam al-Mahdi, imam terakhir dan pembebas
pamungkas umat manusia dalam pelukan-Nya di alam gaib. Beliau
didekap-Nya dalam balutan cahaya rahmat, pengetahuan, kekeramatan dan
kemampuan gaib. Inilah Imam yang kelak bangkit untuk menindak dan
membalas, memenuhi bumi manusia dengan keadilan dan kebenaran setelah
dipenuhi dengan kelaliman dan kebejatan.
Dalam banyak riwayat
beliau diberi gelar al-Qâim, yakni seseorang yang bangkit untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran. Tugas beliau bukan lagi untuk
mengajar atau menyampaikan kebenaran, melainkan menghakimi dan menindak
tegas semua bentuk pelanggaran.
Saat menafsir firman
Allah: “Orang-orang yang berdosa dikenali melalui tanda-tanda mereka,
lalu dipegang ubun-ubun dan kaki-kaki mereka (untuk ditindak)” (QS
55:41), Imam Ja’far ash-Shadiq as. berkata: “Allah mengenali para durja
itu dan memberitahu al-Qaim dan sahabat-sahabatnya tanda-tanda mereka
untuk menindak mereka.”
Di saat itulah
terbentang keadilan, kemakmuran, kedamaian, kemerdekaan dalam arti yang
hakiki, tanpa penindasan dan perbudakan dalam segala dimensinya. Dan
inilah janji Allah seperti termaktub dalam QS surah ke-21 ayat 105; QS
ke-24 ayat 55; QS ke-28 ayat ke-5. Mungkin hanya kebetulan saja bahwa
ayat-ayat ini semuanya berangka 5, tapi mungkin juga tidak.