Search

Friday, January 18, 2013

Nahdatul Ulama Tegas Terhadap Wahabi

Nahdatul Ulama Tegas Terhadap WahabiMenurut Kantor Berita ABNA, Gerakan Ansor Provinsi Kepulauan Riau dan Politeknik Negeri Batam menggelar bedah buku sejarah Berdarah Salafi Wahabi karya Syaikh Idahram di Aula Politeknik Negeri Batam di Batam. Acara ini menghadirkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Aqil SiradjSaid mengatakan gerakan Wahabi yang berkembang di Indonesia berasal dari Arab Saudi. Tujuan mereka ingin mengajarkan pemurnian Islam versi mereka, sementara ajaran lain dianggap tidak benar dan harus diperangi.

“Konsep tersebut tidak cocok diterapkan di Indonesia dan harus diwaspadai. Karena dalam perkembangannya Wahabi atau Salafi itu cenderung mengarah gerakan radikal,” kata dia.

Ia mengatakan, Wahabi memang bukan teroris, namun ajaran-ajaran yang disampaikan menganggap ajaran lain tidak benar sehingga harus ditentang dan mereka mengatasnamakan Islam.

Menurut Said, Wahabi selalu mengatasnamakan Islam dalam doktrin atau ajaran yang dilakukan, namun tindakannya kadang tidak islami.

“Mereka sering menganggap umat lain menjalankan tradisi bid’ah yang tak diajarkan agama seperti ziarah kubur, baca tahlil, sehingga ajaran itu harus diperangi,” kata dia.

Ia mengatakan, segala kegiatan yang dilakukan umat Islam terutama kaum Nahdiyin (NU) semua berdasarkan ajaran dan tuntunan serta tidak ada yang mengada-ngada.

Said mengatakan, satu alasan mengapa NU menyatakan memerangi Wahabi karena ajaran yang disampaikan malah membuat perpecahan dalam tubuh Islam. “NU tegas terhadap Wahabi, kami justru menghargai agama lain yang jelas-jelas tidak membawa nama Islam,” kata dia.

Hal tersebut, tambah Said, karena dalam Al-Quran juga diajarkan untuk saling menghargai antarumat beragama.

Pribumi Indonesia: Adalah Keturunan Rasulullah yang Bermazhab Ahlulbayt (Syiah)


Saya orang Jawa, walaupun begitu saya tertarik sekali dengan asal-usul bangsa Indonesia dan keislamannya, berangkat dari situ saya melakukan literatur research pada wilayah Aceh dan Jawa. Pada akhir penelitian saya dapatkan kesimpulan bahwa yang pertamakali mengislamkan pribumi Nusantara adalah kaum muslimin keturunan Rasulullah yang bermazhab syiah. Suku-suku Pribumi Nusantara yang Islam atau yang telah memiliki tradisi Islam yang lama, seperti Aceh, Banjar, Makasar, Jawa, Sunda, Minang, Gorontalo, Lombok, Palembang, Kutai, Lampung, Ternate, dan daerah-daerah lain yang telah memiliki tradisi Islam yang lama sebenarnya merupakan orang-orang yang moyang mereka adalah keturunan Rasulullah yang bermazhab Syiah yang pertamakali mendarat di Nusantara di Aceh


Sebenarnya saya sudah susun hasil penelitian ini menjadi sebuah buku, saya ingin sekali menerbitkannya. Akan tetapi kendalanya kemudian muncul disini. banyak penerbit yang khawatir dengan kontroversi yang ditimbulkan dari tulisan saya. terutama kekhawatiran mereka dengan tulisan saya yang mengetengahkan bahwa asal-usul nenek moyang kita adalah keturunan Rasulullah yang bermazhab Syiah dan bahwa orang Syiah lah yang mengislamkan penduduk Nusantara di Aceh dan Jawa untuk pertamakalinya. Hal ini akan mengganggu ketenangan para penganut islam mainstream (ahlus sunnah), apalagi penganut wahabi dan demikian pula ketenangan para habaib, yang mana sementara ini para habib-lah yang merasa bahwa mereka adalah satu-satunya kelompok yang merupakan keturunan Rasulullah di Nusantara.

Penelitian saya mengambil metode arkeologis dan antropologi sejarah. pokok inti permasalahan yang menghasilkan kesimpulan diakhir penelitian yang saya ambil berawal dari fakta-fakta yang seharusnya akan sudah sejak dahulu menggelitik rasa penasaran para ahli sejarah Nusantara jika mereka mau membuka mata pikiran dan mata hatinya. diantara fakta-fakta yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Sejarah kisah Perlak Pesisir yang Syiah, kenapa tidak terekspos secara luas?

2) Kisah Perlak Pesisir dan Perlak Pedalaman serta serangan Sriwijaya ke kedua Perlak

3) Mengapa Penduduk Tapanuli Utara (orang-orang Batak) tidak menganut agama Islam?

4) Mengapa Islam di Pulau Sumatera Selain Aceh (Aceh telah Islam terlebih dahulu) masuk melalui arah selatan (melalui/ berasal dari Jawa)?

5) sebabnya orang-orang Batak tidak memeluk Islam adalah karena dakwah Perlak Pedalaman (yang Sunni) ke arah wilayah-wilayah disebelah selatan Aceh atau wilayah-wilayah sebelah selatan pulau Sumatera mengalami kemacetan, mengapa mengalami kemacetan?

6) Benarkah penduduk Nusantara sebelum masuknya Islam adalah penganut Hindu atau Budha?

7) mengapa tempat-tempat peribadatan Hindu dan budha di pulau Jawa yang sedemikian megahnya malah diabaikan dan tidak dipedulikan oleh masyarakat Jawa?

8) Makam Fatimah Binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 1082 Masehi,

9) Makam Tralaya di Majapahit

6) kejanggalan-kejanggalan kisah kerajaan Demak versus Majapahit.

7) Benarkah Walisanga adalah penyebar agama Islam di Pulau Jawa? mengapa hampir tidak ada kisah khusus perjuangan mereka yang detail ketika mengislamkan suatu penduduk di suatu daerah atau wilayah tertentu? padahal tentunya kisah kesuksesan pengislaman suatu wilayah adalah kisah keteladanan yang penting dan dapat menjadi dakwah di tempat yang lain

8) Benturan budaya dan akidah antara penduduk Pesisir Utara Pulau Jawa dengan Penduduk Pedalaman Pulau Jawa

9) Kerajaan Mataram Sufi/Irfani yang didirikan Panembahan Senopati di Pulau Jawa yang sangat bernuansa Syiah
Apabila kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas maka akan dapat kita menemukan fakta baru bahwa penduduk pribumi Nusantara berasal-usul dari moyang mereka yang masih merupakan keturunan Rasulullah Muhammad yang bermazhab Syiah dari Persia.

Pertamakali yang harus dibahas adalah pertanyaan pertama, yaitu kisah tentang kerajaan Perlak.
Kerajaan Perlak
Nama Perlak berasal dari kata peureula, mengacu pada wilayah Aceh bagian timur. Mengenai komunitas Persia atau Arab yang tinggal pertamakali di daerah Nusantara diantaranya yang diberitakan oleh I-Tsing. I-Tsing mengatakan bahwa ia menumpang kapal orang Persia ke wilayah Nusantara pada tahun 672 Masehi. Pada tahun itu pelaut Persia sudah memeluk islam.
Sedangkan G.B. Groneveldt yang menerjemahkan demografi penduduk Nusantara menurut berita China pada masa dinasti T?ang, pada hikayat dinasti T?ang tercerita bahwa di pantai sebelah barat Sumatera (Aceh atau Samudera) telah ada bermukim orang-orang Arab yang disebut bangsa Ta-Shi.
Menurut Ustaz M. Jamil Djamil seorang pakar sejarah Aceh, dalam pekan kebudayaan Aceh yang pernah dilangsungkan di tahun 1959. Beliau mengungkapkan bahwa islam telah masuk ke Peureula pada tahun 790 Masehi. Sumber beliau dapatkan dari kitab Zubdatu?l Tawarikh karya Nurul-Haq Al-Masyriqiyal-Duhlawy, dan kitab Idhahu?l Fi Mamlatatu?l Peureula karya Abul-Ishaq Al-Makarany. Kemudian berdirinya sebuah kerajaan yang berasal dari masyarakat muslim Peureula adalah pada tahun 840 Masehi. Perlak atau Peureula adalah nama yang mengacu pada wilayah bagian timur laut Aceh.

Suatu petunjuk tentang adanya suatu kerajaan di Banda Aceh sekarang dan sekitarnya telah diperoleh dari suatu prasasti yang telah dibuat oleh Rajendra Cola I di Tanjore (India Selatan) pada tahun 1030 Masehi. Di mana Rajendra Cola mengerahkan mempersiapkan pasukan besar-besaran untuk menaklukan wilayah-wilayah Nusantara. Salah satu tempat yang dalam prasasti adalah Ilmauridecam (Lamuri) yang diceritakan telah menghunjamkan kehebatan pasukannya melawan pasukan Rajendra Cola sehingga invader India ini harus mengerahkan seluruh pasukannya untuk menaklukannya. Apabila berita ini kita konfrontir dengan nukilan buku: ?Early Muslim Traders in South East Asia? karya G.R. Tibbets yang menceritakan riwayat dari Buzurgh tentang Lamuri yang lebih tua dari prasasti Rajendra Cola I, yaitu tahun 955 Masehi. Maka dapat kita simpulkan bahwa kerajaan Perlak dan kerajaan Lamuri berhubungan erat dengan Persia.
Buzurgh seorang muslim Persia menceritakan bahwa dari pantai Barus di sebelah barat Aceh terdapat jalan darat yang menghubungkan Barus dengan Lamuri. Ia menceritakan bahwa orang-orang Persia yang berlabuh atau kandas kapalnya di Barus akan selalu berusaha ke Lamuri. Karena disana dapat diharapkan akan bertemu dengan kawan-kawan senegara (Persia) dan supaya dapat diperoleh pengangkutan untuk pulang ke kampung.

Perlak adalah kerajaan Islam yang pertama di Nusantara. Sultan Alaidin Syed (sayyid) Maulana Abdul Aziz Syah adalah rajanya yang pertama. Sebelum berdiri kerajaan Islam, daerah Perlak dipimpin oleh orang yang masih keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi atau Maharaja Pho He La. Lalu pada tahun 840, datanglah rombongan kafilah Islam dari Persia. Tujuan mereka berdakwah agama Islam di Perlak. Dengan segera para pemimpin dan masyarakat negeri Perlak pun meninggalkan agama lama mereka (monotheisme rakyat lapisan bawah Elam) untuk berpindah ke agama Islam. kemudian salah satu anggota kafilah dari timur tengah yang masih merupakan keturunan Rasulullah bernama: Ali bin Muhammad bin Ja`far Shadiq dinikahkan dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi, raja negeri Perlak yang merupakan keturunan Persia. Syahir Nuwi masih keturunan bangsawan Sassanid yang dahulu pada masa sebelum kelahiran Islam adalah dinasti yang pernah memerintah kekaisaran Persia. Dari pernikahan antara Ali Bin Muhammad dan adik dari Syahir Nuwi, yaitu Makhdum Tansyuri ini lahirlah kemudian: Alaidin Syed (Sayyid) Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan pertama Kerajaan Perlak. Sultan mengubah ibukota Kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah. Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo, Perlak, Aceh Timur.

Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah merupakan sultan yang beralirah paham Syiah. Aliran Syi?ah datang ke Indonesia melalui para Syed (baca: Sayyid, merupakan orang yang masih keturunan Rasulullah) dari Persia. Mereka masuk ke Nusantara dan mengislamkan Kesultanan Perlak yang juga masih keturunan Persia/Arya.

Sampai dengan pemerintahan Sultan kedua, aliran Islam Sunni belum memasuki wilayah Nusantara. Baru pada masa Sultan yang ketiga: Sultan Alaiddin Syed (Sayyid) Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Nusantara. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), kaum Islam Sunni memberontak kepada Kesultanan Syiah Perlak. Terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni selama dua tahun. Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (913 M), Sultan Alaiddin Syed (Sayyid) Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni.

Pada masa Sultan ketujuh Kerajaan Perlak masih merupakan kerajaan Islam mazhab Syiah. Kemudian setelah meninggalnya Sultan ketujuh pada tahun 362 H (956 M), penggantinya: Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan merupakan seorang Sultan yang bermazhab Sunni. Sejak itu Perlak menjadi kerajaan yang dipimpin oleh sultan-sultan yang bermazhab Sunni. Hal ini menimbulkan peperangan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni. Perang ini berakhir dengan perjanjian damai dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian, kerajaan Perlak Pesisir dan kerajaan Perlak Pedalaman. Kerajaan Perlak Pesisir merupakan kerajaan Islam bermazhab Syi?ah, dan dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed (Sayyid) Maulana Shah (986 ? 988). Sedangkan kerajaan Perlak Pedalaman merupakan kerajaan Islam bermazhab Sunni, dan dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan (986 ? 1023).
Kemudian pada tahun 988, kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak. Peperangan ini menyatukan Perlak pesisir dan pedalaman bersatu. Dalam pertempuran melawan Sriwijaya tersebut pasukan Perlak yang dikerahkan untuk melawan Sriwijaya kebanyakan berasal dari Perlak Pesisir. Bahkan rajanya sendiri yaitu Sultan Alaidin Sayyid Maulana Syah terjun langsung ke dalam pertempuran. Akibat dari pertempuran itu Sultan Alaidin Sayyid Maulana Syah gugur dalam pertempuran. Bersamaan dengan itu pupuslah pula kerajaan Perlak Pesisir, Sultan-sultan yang menguasai wilayah Aceh pada masa setelahnya bermazhab Islam Sunni. Tapi pengorbanan kerajaan Perlak Pesisir dalam peperangan melawan Sriwijaya tidak sia-sia. Sejak saat itu kerajaan Sriwijaya menjadi lemah dan tidak mempunyai kekuatan lagi untuk menyerang Perlak. Walaupun kerajaan Perlak yang masih tersisa merupakan kerajaan Islam yang bermazhab sunni akan tetapi bagi orang-orang Perlak Pesisir hal tersebut tidak menjadi masalah. Yang terpenting bagi orang-orang Perlak Pesisir adalah tegaknya kalimat syahadat di bumi Perlak tanpa melihat perbedaan mazhab.

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa kesultanan Perlak yang terletak di Aceh berasal dari orang-orang Persia yang belum memeluk Islam. Yaitu Meurah Perlak Syahir Nuwi dan adiknya Makhdum Tansyuri. Makhdum Tansyuri kemudian dinikahkan dengan Ali Bin Muhammad Ja?far Shadiq. Berarti Ali adalah ayah dari sultan Perlak pertama. Dari namanya ayah Sultan Perlak pertama ini yaitu Ali sudah menunjukkan bahwa dia penganut mazhab Ahlul Bayt dan juga besar kemungkinan adalah keturunan nabi. Karena pemakaian nama itu pada tahun-tahun itu di timur tengah bisa mendatangkan ancaman yang berasal dari penguasa. Penganut sunni yang di timur tengah waktu itu adalah pengikut Bani Abbas dan tidak akan menggunakan nama tersebut. Pengikut sunni baru mulai menggunakan nama-nama bernuansa ahlulbayt setelah runtuhnya kesultanan Bani Abbas pada tahun 1258. Selain bermazhab syiah besar kemungkinan Ali ini juga keturunan nabi. Karena selain dia yang menggunakan nama berbau syiah, ayahnya pun juga mempunyai nama yang berbau syiah, nama ayahnya yaitu Muhammad Ja?far Shadiq. Keluarga Ali menggunakan nama-nama bernuansa Syiah secara terus-menerus/turun-temurun. Menunjukkan keberanian yang terjaga terus-menerus. Pada masa itu selain penganut sunni, pengikut syiah yang biasa-biasa saja juga tidak berani menggunakan nama-nama itu.
Hijrahnya Musafir Perlak Pesisir yang Bermazhab Islam Syiah ke Pulau Jawa.
Kemudian timbul pertanyaan: ?Apakah akibat dari serangan Sriwijaya kepada kerajaan Perlak yang menyebabkan hancurnya Perlak Pesisir tersebut secara serta merta menyebabkan punahnya orang-orang syiah di Nusantara? Menurut kami jawabannya adalah: "Tidak". Pada tesis sebelumnya disimpulkan bahwa Islam pertamakali masuk ke Aceh baru kemudian Jawa, dari Jawa baru kemudian Islam menyebar ke seluruh Nusantara. Aceh dan Jawa adalah dua simpul yang terhubung langsung. Sedikit banyak makam Fatimah Binti Maimun menunjukkan simpul itu. Makam itu bernuansa Persia, sama dengan keadaan kerajaan Perlak yang dipimpin oleh orang keturunan Persia. Nama Fatimah juga merupakan nama Perlak awal yang sangat bernuansa mazhab Syiah pada masa itu. Pada masa itu nama tersebut merupakan nama yang bermakna bahwa pemakai nama tersebut adalah seorang muslimah yang menjadi penganut Islam mazhab Syiah. Orang yang selain bermazhab Syiah tidak berani memakai nama itu. Maka suatu kemungkinan sekali terdapat aliran migrasi dari Perlak ke Jawa. Oleh karena itu kemungkinan sekali bahwa orang-orang Perlak yang bermigrasi ke Jawa adalah orang Perlak pesisir, Perlak pesisir bermazhab Syiah. Bahkan di Aceh sendiri secara jelas terlihat dari psikografi masyarakat Aceh pada masa sekarang, Secara umum orang Aceh pada masa ini mempunyai bawaan karakter yang rendah hati dan mengalah sebagai dua karakter yang paling menonjol. Hal ini tidak menunjukkan adanya persamaan karakter antara mereka dengan masyarakat Perlak Pedalaman pada masa dulu kala yang bermazhab Sunni. Karakter rendah hati dan mengalah ini lebih sesuai dengan fakta karakter yang dimiliki oleh Masyarakat Perlak Pesisir yang bermazhab Syiah. Orang-orang Perlak Pedalaman yang Sunni yang kemudian memberontak pada masyarakat Syiah Perlak bersatu yang dulunya hanya bermazhab Syiah dengan cara kekerasan, padahal mereka datang ke Aceh belakangan, jelas menunjukkan bahwa mereka (kaum Perlak Pedalaman yang Sunni) tidak mempunyai sifat ini (sifat mengalah dan rendah hati). Dari tesis ini dapat ditarik sintesis bahwa karakter dan moyang orang Aceh saat ini bukanlah berasal-usul dari masyarakat Perlak Pedalaman yang bermazhab Sunni tetapi berasal dari masyarakat Perlak Syiah yang pada serangan Sriwijaya berusaha membela kedua kerajaan Perlak baik Sunni maupun Syiah. Tentunya tidak semua kelompok besar Syiah yang dipukul hancur oleh Sriwijaya berhasil hijrah ke Pulau Jawa. Ada diantra mereka yang tetap tinggal di Aceh untuk membantu perlawanan terhadap masyarakat Islam secara keseluruhan dari kemungkinan-kemungkinan serangan Sriwijaya atau pihak-pihak yang beraliansi dengan Sriwijaya. Tentunya masyarakat Syiah yang masih tinggal di Aceh/Perlak dan tidak ikut hijrah terpaksa harus beradaptasi dengan masyarakat Islam Sunni. Pada masa yang lama mereka berangsur-angsur membaur pada masyarakat Perlak Pedalaman yang Sunni yang setelah perang melawan Sriwijaya kemudian menjadi mazhab Islam yang dominan. Hal ini kelamaan menggerus keyakinan mereka (masyarakat Syiah) melalui pemaksaan, perkawinan atau yang lainnya, hal ini akhirnya yang membuat mereka kehilangan keyakinan awal mereka yang Syiah. Hal ini pula yang menjelaskan dari mana asal-usul sifat mengalah masyarakat Aceh berasal. Mereka bahkan mengalah dalam hal keyakinan mazhab demi suatu hal yang lebih penting lagi. Seperti telah diurai diatas mengenai geopolitik Perlak yang mana Perlak pedalaman dikuasai Islam mazhab Sunni. Sedangkan dakwah mazhab Sunni ke arah selatan wilayah yang dihuni oleh orang-orang selatan pulau Sumatera mengalami kemacetan. Macetnya dakwah Sunni ke arah selatan pulau Sumatera secara otomastis menyebabkan perkembangan Perlak pedalaman macet dan akibatnya dakwah perluasan Perlak pesisir ke selatan juga menjadi macet. Oleh karena itu kemungkinan besar bahwa orang-orang Perlak yang masuk ke Jawa adalah orang-orang Perlak pesisir yang kemudian memutuskan untuk mengambil jalan laut menuju daerah baru. Oleh karena hal ini maka terdapat kemungkinan kuat orang-orang yang mengislamkan penduduk Jawa untuk pertamakali adalah orang-orang Islam yang bermazhab Syiah. Uraian-uraian pada sejarah Islam masuk ke Jawa pada pembahasan sejarah Demak dan Mataram di bawah ini sedikit banyak berusaha mengungkap keadaan masyarakat di Jawa yang kemungkinan sekali adalah masyarakat syiah.


ISLAM DI TANAH JAWA

Majapahit, Demak dan Mataram
Pada pembahasan sebelumnya sedikit-banyak telah diuraikan bahwa kaum pelarian Perlak Pesisir setelah perang dengan Sriwijaya kemudian hijrah ke pulau Jawa. Dinamika kehidupan mereka setelah sampai di pulau Jawa sangat penting untuk diuraikan melalui analisa menurut antropologi budaya karena merupakan fragmen sejarah yang membentuk peradaban dan sikap pada umumnya masyarakat Jawa. Untuk memulai pembahasan sejarah kehidupan masyarakat Jawa pada masa peralihan Majapahit-Demak menurut sudut pandang antropologi budaya maka akan dimulai dengan fakta-fakta yang telah ada dalam sejarah umum populer. Maka analisa akan dimulai dari masyarakat Jawa pada jaman Demak dan Majapahit. Dengan analisa melalui sudut pandang antropologi budaya masyarakat ini diharapkan akan memunculkan alternatif tafsiran baru akan pembacaan fakta sejarah Nusantara di Jawa yang ada, khususnya berkenaan dengan dinamika sejarah Majapahit dan Demak, serta perpindahan keyakinan masyarakatnya dari Hindu ke Islam. Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara-Jawa. Hal ini memang benar adanya. Tapi ada pula ditemukan riwayat yang simpang siur bila akan mengungkap fakta awal sejarah pendirian kerajaan ini. Terdapat tiga sumber berita utama mengenai Demak, yaitu berita dari babad tanah jawi, berita China, berita orang barat yang meliputi Suma Orientalnya Tomy Pires dan berita Portugis. Di antara berbagai sumber itu berita China dan babad tanah jawi banyak memiliki kemiripan. Yang jelas dua sumber berita yaitu berita China dan babad tanah jawi mengungkapkan bahwa antara pendiri Demak dan penguasa Majapahit terdapat hubungan kekerabatan, tapi kedua sumber berita juga mengungkapkan adanya perang antara Demak dan Majapahit. Perang dimulai dengan Demak yang menyerang kerajaan Majapahit. Kedua sumber berita juga mengungkapkan kekalahan Majapahit dalam perang itu. Suatu hal yang sangat aneh apabila tidak ada penjelasan dari sudut pandang antropologi masyarakat, adalah bahwa kerajaan Demak berani menyerang Majapahit hanya satu tahun lebih setelah berdirinya kerajaan itu! dalam serangannya ini pun kerajaan Demak langsung mengalami kemenangan! Memang terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kerajaan Majapahit pada masa itu telah mengalami kemunduran. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah sebab kemundurannya. Pada suatu bangsa yang menganut sistem pemerintahan kerajaan, kemajuan atau kemunduran kerajaan tersebut tergantung pada dukungan rakyat. Oleh karena itu sering terjadi fenomena pada sejarah-sejarah kerajaan, bahwa suatu kerajaan secara mendadak menjadi kerajaan yang besar, atau suatu kerajaan secara mendadak mengalami kemerosotan. Hal ini bisa terjadi tergantung pada adanya seorang pemimpin yang cakap atau tidak. Apabila seorang pemimpin didukung oleh rakyatnya maka kerajaan tersebut kuat. Kecakapan seorang pemimpin atau raja adalah kemampuannya dalam mengaspirasi kehendak rakyatnya. Oleh karena itu kemunduran kerajaan Majapahit di masa menjelang akhir riwayatnya disebabkan oleh lemahnya dukungan rakyat di Nusantara Jawa ketika kerajaan Hindu tersebut diserang Demak. Pola yang dialami Majapahit ini dalam sejarah Jawa kuno tidak dialami oleh kerajaan-kerajaan Hindu sebelumnya. Kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa sejak dari Mataram kuno oleh wangsa Sanjaya, wangsa Syailendra, kerajaan Medang Kamulan, Daha, Kahuripan, Singasari, yang berakhir riwayatnya tidak melalui peperangan atau serangan dari luar (faktor eksternal). Kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha sebelum Majapahit runtuh atau berganti nama kerajaan dan letak pemerintahannya karena adanya konflik internal, perebutan kekuasaan, pembagian kerajaan dan hal-hal sejenis. Kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha di Jawa sebelum Majapahit terbukti mampu melawan serangan dari luar, seperti sikap bermusuhan dari kerajaan besar seperti Sriwijaya atau serangan dari tentara Mongol pimpinan Kubilai Khan. Fenomena ini bisa terjadi apabila pemimpin kerajaan-kerajaan Hindu atau Budha Jawa pada masa itu tidak mendapatkan hambatan dari rakyat ketika melawan aggresor asing yang sama-sama non-muslim seperti ketika mereka menghadapi serangan dari Sriwijaya yang berkeyakinan Budha dan Mongol yang berkeyakinan pagan. Namun ketika melawan serangan luar dari kerajaan Islam seperti Demak yang baru berumur satu tahun, kerajaan Majapahit dengan segera mengalami keruntuhan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pertentangan antara kerajaan Hindu dan kerajaan Islam ini, rakyat di pulau Jawa tidak terlalu ambil perhatian memikirkan kelangsungan hidup kerajaan Hindu Majapahit. Apabila rakyat masih berkeyakinan Hindu, mereka pasti akan merasa terancam oleh serangan kerajaan Demak kepada kerajaan Majapahit, dan dengan segera melupakan segala konflik diantara mereka bila ada, untuk segera saling bahu-membahu dengan penguasa mereka melawan aggresor asing. Upaya untuk menguak kejadian sebenarnya dari fakta sejarah yang sangat terbatas, maka akan dicoba dengan mengkonfrontir antar fakta sejarah. Selain itu diupayakan untuk menemukan suatu konsep yang tidak bertentangan dengan segala fakta. Juga metode untuk menemukan konsep tersebut. Karena keterbatasan riwayat maka konsep yang dipakai adalah informasi tentang antropologi dan keadaan kesadaran masyarakat jaman itu. 

Berkaitan dengan hubungan Demak dan Majapahit maka simpul antropologi yang terpenting adalah fakta interaksi antar dua keyakinan, yaitu hubungan antara peradaban Islam dan peradaban Hindu pada masyarakat di pulau Jawa pada masa itu.

Untuk itu maka yang akan dijadikan simpul utama antropologi adalah fakta arkeologi shahih, seperti misalnya artefak arkeologi tentang makam Tralaya; yaitu pemakaman Islam di jantung Majapahit yang berangka tahun 1307 Masehi. Angka tahun pada nisan makam menunjukkan bahwa Islam bisa eksis di Jawa pada saat penguasanya yang Hindu yaitu Majapahit sedang berada di masa kejayaannya. Jumlah nisan makam orang Islam disitu cukup banyak. Selain itu penduduk Majapahit juga menggunakan mata uang yang bertuliskan simbol-simbol Islam diantara mata uang-mata uang lainnya. Berdasar fakta itu terbentuk hipotesa bahwa penduduk Islam Jawa telah masuk wilayah pedalaman, telah tinggal di kawasan pusat pemerintahan, mampu beradaptasi dengan penguasa Hindu dan terlibat dengan kehidupan bernegara.

Menjelang runtuhnya Majapahit tidak terdeteksi adanya proses pengislaman terhadap masyarakat Jawa oleh para mubaligh Islam. Oleh karena kemungkinan sekali mayoritas penduduk Majapahit telah memeluk Islam menjelang keruntuhan Negara itu. Serangan Demak kepada Majapahit menjelang keruntuhannya itu sebenarnya tidak produktif bila benar rakyat Majapahit masih menganut agama Hindu. apabila dilihat dari segi politik dakwah Islamiyyah (jika benar Demak menyerang Majapahit untuk tujuan dakwah), serangan Demak di Jawa kepada Majapahit justru dapat membangkitkan semangat perlawanan orang-orang Hindu (jika benar rakyat Jawa pada saat itu masih beragama Hindu) kepada penyebaran Islam. Tapi situasi ini tidak terjadi di Nusantara Jawa pada jaman Majapahit. Masyarakat Hindu Nusantara tidak teriwayatkan kemudian membalas serangan muslim pada masa-masa sesudah hancurnya Majapahit dengan suatu gerakan bawah tanah apapun, baik militer maupun sosial politik. Bahkan agama Hindu setelah itu tidak tedeteksi lagi di pulau Jawa, seolah lenyap di telan bumi! Hal ini menandakan terdapat suatu kemungkinan besar bahwa masyarakat Jawa sudah hampir menjadi muslim semuanya pada saat itu.

Kita bisa membandingkannya dengan situasi di belahan bumi lain di wilayah yang terdapat interaksi antara Islam dan Hindu, seperti di India misalnya. Yaitu di masa Mughal India ketika dipegang oleh Aurangzeb. Pada masa itu Aurangzeb memaksakan kehendaknya dan bertindak keras terhadap pemeluk Hindu. Akibat dari tindakannya itu potensi dakwah Islam kepada masyarakat Hindu India menjadi benar-benar semakin sempit. Rakyat Hindu India kemudian memboikot ajaran Islam dari segala sisi kehidupan. Tapi Demak yang merupakan representasi Islam di Jawa tidak mengalami seperti yang dialami Mughal dengan Aurangzeb sebagai pemimpinnya pada masa-masa setelahnya. Padahal Demak juga melakukan tindakan keras pada Majapahit yang merupakan representasi Hindu.

Sejarah perkembangan Islam dilihat secara keseluruhan sejak dari masa Rasulullah sampai sekarang tampak bahwa perkembangan atau perluasan kekuasaan Islam dengan pendekatan militer akan menyisakan sedikit peninggalan riak-riak konflik dimasa depan. Kemelut yang terjadi antara lain konflik antara penduduk yang dulunya bukan penganut Islam dengan penguasa Islam. Atau konflik antara Negara tetangga wilayah perluasan Islam dengan daerah Islam yang baru. Tercatat ketika Konstantinopel berhasil ditaklukan pasukan muslim, maka pada masa-masa setelahnya terdapat rongrongan terhadap kekuasaan Islam Turki yang dikomandoi oleh Vlad, dibutuhkan tenaga dan kesabaran untuk menumpasnya. Demikian pula Andalusia selalu dirongrong oleh tetangganya yang Nasrani. Bahkan jika dilihat secara keseluruhan maka perebutan sebagian besar wilayah Romawi oleh Islam yang meliputi Afrika Utara, Syam dan Eurasia sampai sekarang masih menyisakan jejak konflik. Yaitu perseteruan urat syaraf yang tak kentara antara dunia barat dan dunia Islam.

Dunia barat modern sekarang ini dapat dibilang merupakan reinkarnasi kekaisaran Romawi yang pada jaman dahulu diruntuhkan kebesarannya oleh Islam. Pola ini terjadi dimana saja peradaban Islam berinteraksi dengan peradaban non-Islam, yaitu jika menggunakan pendekatan militer, maka pada waktu di masa depan akan menyisakan jejak konflik. Hal itu menimpa dinasti Mughal, dinasti Turki Usmani, Andalusia dan yang lainnya. Hal ini juga terjadi di Persia pada masa awal penaklukannya. Bahkan khalifah Umar dibunuh oleh seorang Persia. Persia akhirnya berhasil memantapkan diri sebagai kekuatan Islam tapi hal ini terjadi setelah sebagian besar penduduknya pada abad ke 9 beralih menjadi pemeluk Syiah. Suatu mazhab Islam yang notabene lebih dimusuhi lagi oleh penguasa Islam di timur tengah pada saat itu daripada musuh-musuhnya yang lain, bahkan musuh-musuhnya yang non-muslim sekalipun.

Dalam perang-perangnya, Rasulullah tidak pernah memulai suatu serangan kepada pihak musuh. Apabila beliau menyerang musuh Islam maka dapat dipastikan bahwa pada masa sebelumnya musuh tersebut pernah secara nyata merugikan kaum muslimin atau merugikan dakwah Islam. Hal ini menyebabkan menjelang beliau wafat, Islam telah sukses dipeluk masyarakat di seluruh jazirah Arab.

Apabila pola alasan umum peradaban Islam di dunia dalam melancarkan serangan kepada pihak asing adalah seperti yang telah diuraikan diatas. Lalu untuk apakah tujuan yang sebenarnya dari kerajaan Islam Demak menyerang Majapahit? Sejarah tidak menunjukkan adanya persinggungan antara umat Hindu dan Islam sebelum kelahiran kerajaan Demak. Sepertinya sangat sukar dipercaya jika tujuan Demak menyerang Majapahit adalah dakwah Islam kepada masyarakat Majapahit yang masih memeluk Hindu. Jika benar melalui jalan kekerasan maka lebih besar kemungkinannya bahwa rakyat Nusantara yang berkeyakinan Hindu akan memboikot, sehingg dakwah Islam akan mengalami kemacetan seperti yang dialami Aurangzeb. Situasi dakwah dengan kekerasan selalu tindak membuahkan hasil di pulau Jawa, masa penjajahan Belanda menunjukkan hal itu. Walaupun Belanda sudah ratusan tahun menduduki pulau Jawa, akan tetapi penduduknya tetap saja memeluk Islam sampai sekarang. Oleh karena itu keberanian penguasa Demak ketika memutuskan untuk menyerang Majapahit sedikit banyak menunjukkan bahwa rakyat Jawa sudah Islam di masa itu.

Serangan Demak ke Majapahit kemungkinan sekali bukan karena dakwah Islam kepada masyarakat Hindu Jawa. Akan tetapi ?dakwah lain? dengan sasaran ditujukan kepada ?keyakinan lain? Diskusi tentang masuknya Islam di Nusantara maka situasi perkembangan Islam yang terjadi di Jawa tentunya memiliki keterkaitan dengan sejarah sebelumnya yang terjadi di Aceh (Perlak). Sedikit banyak sejarah Perlak telah mencantumkan adanya konflik internal sesama muslim beda mazhab pada wilayah kepemimpinan kerajaan tersebut. Konflik sesama Islam beda mazhab ini pula kemungkinan besar fenomena yang ?mengikuti? orang-orang Perlak yang hijrah ke Jawa, berupa ?interaksi? antara Demak dengan penduduk Jawa. Apabila hal diatas merupakan peristiwa yang sebenarnya maka pola di Nusantara akan sesuai dengan berbagi pola penyebaran Islam lainnya di belahan lain dunia. 

Dinamika Sosial-Politik yg Terjadi di Jawa Stelah Kaum Islam Syiah masuk ke pulau itu
Dari sudut pandang psikologi para musafir Perlak, kita dapat menyelami atau membayangkan kesadaran mereka ketika hendak berhijrah ke Jawa. Apabila kehidupan awal mereka diselami akan didapat sedikit gambaran suatu keadaan yang sesuai dengan situasi sosial politik masyarakat di Jawa pada abad ke 11. Setelah hijrah ke pulau Jawa, pastilah para musafir Perlak ini hendak memantapkan posisinya di tempat yang baru supaya tidak terulang lagi konflik horizontal antara mereka sendiri (kaum Islam Syiah) dengan kaum Islam Sunni (yang pastinya di masa depan nanti akan menyusul mereka lagi), seperti sebelumnya, yang menyebabkan mereka harus meninggalkan tempat asal. Mereka tidak mau terperosok ke lubang yang sama dua kali.

Jelas bahwa perpindahan para musafir dari Perlak Pesisir yang hijrah ke Jawa disebabkan karena tidak berkembangnya lagi sumber-sumber penopang hidup mereka di tempat asalkarena sebab luar, atau karena perang. Praktis setelah wilayah pedalaman dikuasai muslim Sunni, potensi perkembangan wilayah mereka melalui jalur darat terhenti, sementara mereka juga memahami bahwa wilayah di Nusantara yang potensi menjadi sasaran dakwah masih terbentang luas. Selain itu dengan dikuasainya pedalaman oleh Perlak Sunni yang mempunyai akses ke daerah-daerah penghasil beras di selatan Sumatera, maka orang-orang Perlak Pesisir jadi tergantung sumber penghidupannya kepada orang-orang Perlak Pedalaman. Terutama ketergantungan mereka pada bahan makanan pokok pada masyarakat Perlak Pedalaman. Walaupun hasil perdagangan dari menguasai wilayah pesisir lebih tinggi, tapi untuk hidup orang tetap butuh makanan pokok. Upaya mereka menuju Jawa dan bukannya ke daerah Nusantara yang lain juga menunjukkan bahwa wilayah sasaran perpindahan mereka adalah daerah sumber penghasil bahan makanan pokok. Minimal mereka pasti berpikir bahwa kesinambungan dakwah penyebaran Islam ini dapat dicapai jika support sumber penopang kehidupannya terjamin.

Oleh karena itu seperti pepatah: ?Tidak akan terperosok ke lubang yang sama dua kali,? berlaku bagi para keturunan musafir Perlak Pesisir yang hijrah ke pulau Jawa. Setelah menetap di pulau tersebut, mereka ini tidak puas dengan mengelola wilayah pantai dan hanya mempunyai sebatas hubungan administrative (upeti) dengan penguasa yang lebih dahulu eksis di daerah tersebut (pada situasi lama di Perlak adalah hubungan mereka dengan Sriwijaya). Tapi ketika dulu masih di Perlak, barangkali tujuan mereka hanya lebih menguasai wilayah pesisir karena mereka juga mempertimbangkan masih adanya kemungkinan mereka akan menempuh jalur darat menuju Jawa. Jadi hijrah mereka ke Jawa merupakan suatu strategi jangka panjang. Hal ini juga suatu hal yang sangat mungkin. Tapi kedatangan audara mereka Sunni membuyarkan hal itu. Tapi saat ini mereka sudah sampai juga ke pulau Jawa dengan kondisi yang lain, yaitu sebagai musafir yang hijrah karena suatu masalah di tempat asal. Kemudian setelah sampai di Jawa para musafir Perlak melihat bahwa pulau tersebut merupakan ujung dunia, mereka tidak bisa pindah kemana-mana lagi. Maka pastilah kemudian mereka mengalihkan strategi dengan merubah diri dengan menjadi masyarakat agraris untuk memantapkan posisinya lebih permanen di pulau Jawa. Skenario ini suatu hal yang sangat mungkin terjadi.

Dalam berinteraksi dengan penguasa Jawa (Majapahit) sebagai daerah tujuan baru, para musafir Perlak berupaya terlibat lebih dalam penyelenggaraan negara. Mereka juga menyesuaikan diri dengan pola kerajaan Majapahit yang agraris dengan berupaya mendapatkan daerah-daerah subur di pedalaman. Mereka paham bahwa menguasai sumber penopang penghidupan berarti kelangsungan tujuan serta ketahanan menghadapi pihak yang mengancam misi-misi mereka. Pola hidup lebih teratur dan disiplin sebagai syarat kesuksesan masyarakat agraris juga harus segera mereka kondisikan. bermasyarakat yang lebih komunal, kerjasama dan gotong royong harus lebih mereka upayakan.

Selain membaharui pola hidup dan sumber mata pencaharian, juga memperbaharui strategi hubungan mereka ketika berinteraksi dengan pihak lain. Pada awalnya di Perlak hubungan imbal balik strategi dan politik perdagangan merupakan dasar dari pola hubungan mereka dengan pihak lain. Setelah berada di Jawa yang agraris, mereka paham bahwa frekuensi hubungan sosial antar segmen dan elemen masyarakat akan lebih intens, kemampuan sosial, diplomasi dan politik lebih ditingkatkan. Secara otomatis hal ini akan meningkatkan kepekaan antar manusia diantara mereka. Sifat tenggang rasa, empati dan toleransi dengan cepat segera mereka miliki. Sepertinya para musafir Perlak di Jawa berhasil menguasainya, jejak-jejak peninggalan arkeologi Islam yang banyak terdapat di pusat Majapahit ketika berhasil mencapai masa keemasan membuktikan hal itu.

Kelompok musafir Perlak pesisir yang hijrah ke Jawa juga mengubah kebijakan politiknya. Waktu masih di Perlak mereka mendirikan kerajaan secara otonom atau mandiri tapi masih berada di bawah kemaharajaan Sriwijaya. Ketika hubungan antara mereka dengan Sriwijaya harmonis maka keamanan Perlak akan terjamin. Tapi ternyata mereka tidak bisa memastikan bahwa hubungan mereka dengan penguasa Sriwijaya akan baik terus. Setelah Sunni masuk ke Perlak dan memecah Perlak menjadi dua; pedalaman dan pesisir, mereka tidak bisa mengontrol kebijakan daerah pedalaman lagi. Ketika Sriwijaya mungkin menganggap Perlak pedalaman sebagai ancaman dan menyerangnya. Mereka tidak bisa mencegah kerusakan hubungan ini. Hal ini menyebabkan mereka terpaksa juga harus melibatkan diri dalam peperangan untuk membantu kerajaan Perlak Pedalaman. Karena mereka sesama muslim dan bagaimanapun harus saling membantu. Pastinya Sriwijaya tidak akan ambil pusing bahwa Perlak sebenarnya telah pecah dan mereka adalah orang-orang Perlak Pesisir yang dulu mampu menjalin hubungan baik dengan Sriwijaya. Sriwijaya akan tetap menyerang Perlak secara keseluruhan, baik pedalaman maupun pesisir. Peristiwa serangan Sriwijaya ini menyebabkan kehancuran Perlak Pesisir. Orang-orang Perlak Pesisir sebagai pihak yang membela saudaranya dengan mengorbankan segalanya termasuk jiwa Sultannya, yaitu Sultan Maulana Syah yang gugur dalam pertempuran melawan Sriwijaya.

Pengalaman masa lalu itu membuat mereka merasa bahwa mendirikan kerajaan di tempat baru yang sudah ada penguasanya bukanlah suatu tindakan efektif. Apabila mereka mendirikan kerajaan di tempat baru (Jawa), sementara di wilayah tersebut juga masih berdiri kerajaan non-muslim yang kuat (kerajaan yang kuat bermakna bahwa kerajaan tersebut mendapatkan dukungan rakyatnya), maka nanti apabila terjadi suatu konflik diantara mereka dengan kerajaan lama dan terjadi perang, maka mereka akan musnah oleh serangan Non-Muslim, seperti kasus yang telah terjadi di Perlak. Para musafir Perlak memahami bahwa mereka sebagai penganut syiah memang mempunyai kemampuan adaptasi dengan penguasa yang berlainan keyakinannya dengan mereka. Ketika di timur tengah, moyang mereka terbiasa hidup dibawah penguasa yang sangat memusuhi mereka. Hal ini membentuk kemampuan adaptasi yang luar biasa hidup berdampingan dengan penguasa memusuhi mereka. Kemampuan ini diturunkan pada anak keturunannya. Akan tetapi keadaan para musafir Perlak syiah di Nusantara ini lain dengan situasi moyang mereka dahulu di timur tengah. Di timur tengah moyang mereka menghadapi penguasa yang sesame muslim, walaupun permusuhannya kepada mereka terkadang lebih sengit daripada pemusuhan yang ditunjukkan oleh non-muslim sekalipun, akan tetapi mereka sesama pengikrar syahadat, dan harus tetap menjaga kehormatan dan keselamatan sesama muslim. Oleh karena itu mereka lebih sering melancarkan gerakan taqiyyah, suatu gerakan menjauhi benturan dan konflik kalau perlu dengan cara menyembunyikan keyakinannya.

Berbeda dengan keadaan di Timur Tengah dimana kaum syiah kedudukannya jauh lebih lemah, di Nusantara kaum musafir Perlak Pesisir yang bermazhab syiah mempunyai cukup kekuatan sehingga dapat mengimbangi dan hidup berdampingan dengan saudaranya sunni, dan mereka tidak perlu melakukan taqiyyah. Hal inilah yang terjadi di Perlak. Akan tetapi tidak seperti keadaan di Timur Tengah, di Nusantara terdapat pihak ketiga, yaitu penguasa non-muslim seperti kerajaan Sriwijaya yang kedudukannya kuat, sedangkan di Timur Tengah pihak ketiga yaitu kaum non-muslim yang menjadi pesaing Daulah Islamiyah kedudukannya lebih lemah. 

Kaum Islam Syiah Perlak Pesisir akan berusaha selalu mampu menjaga supaya tidak terjadi benturan dengan Sriwijaya yang lebih kuat ketika mereka masih sendirian. Akan tetapi ketika saudaranya kaum Islam Sunni mulai datang ke wilayah Perlak mereka tidak mampu menjaga hubungan harmonis dengan Sriwijaya lagi. Akibatnya mereka mengalami kehancuran ketika membela saudaranya kaum muslimin Sunni supaya tetap utuh.

Hal inilah yang menyebabkan para musafir kaum Islam Syiah Perlak Pesisir enggan mendirikan kerajaan lagi di pulau Jawa. Mereka lebih memilih berdakwah secara non-formal dan damai dibawah kekuasaan penguasa Majapahit. Mereka yakin akan potensinya untuk menyebarkan agama Islam secara damai di pulau Jawa, karena sebelumnya mereka terbukti berhasil berdakwah secara terbuka dan damai di masa lalu kepada kaum Non-muslim di Perlak. Para musafir Perlak Pesisir tidak berusaha menyaingi atau menumbangkan kerajaan Majapahit, bahkan berusaha turut berpartisipasi di dalam kerajaan tersebut. mereka mengambil langkah dakwah secara damai dengan suatu maksud tidak lepas satu tujuan akan mengalami keberhasilan dari dua kemungkinan tujuan. Kemungkinan tujuan yang pertama adalah bahwa dengan cara membaur menjadi rakyat Majapahit, mereka akan dapat mengislamkan seluruh pulau Jawa secara damai dengan cara menyusup di tengah masyarakat bahkan kalau perlu menyusup ke dalam lingkungan penguasa Majapahit walaupun secara perlahan-lahan.

Seandainya pengislaman tidak dapat berlangsung secara cepat, maka setidaknya mereka berusaha supaya diterima dengan baik oleh penguasa Majapahit untuk tinggal di wilayahnya, menjadi rakyat, dan mengembangkan keturunan di kerajaan tersebut. Kemungkinan tujuan yang kedua adalah bahwa apabila saudara muslim mazhab Islam Sunni pada akhirnya dapat menyusul masuk ke pulau Jawa, maka mereka akan mendapatkan satu dari dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah bahwa kerajaan Hindu Majapahit yang masih kuat akan berhadapan dengan kaum Muslimin mazhab Sunni. Atau kemungkinan kedua; kaum muslimin mashab Sunni akan berhadapan dengan kerajaan Majapahit yang telah lemah karena tidak mendapatkan dukungan rakyat yang sudah banyak beralih ke Islam Syiah oleh kaum musafir Perlak Pesisir sebelumnya. Kedua kemungkinan ini lebih baik bagi mereka (kaum musafir Perlak Pesisir). Apabila kaum muslimin Sunni berhadapan dengan kerajaan Hindu Majapahit yang masih mempunyai kekuatan, maka besar kemungkinan peperangan kedua belah pihak akan berlarut-larut, karena kaum muslimin Sunni mempunyai dukungan yang kuat dari daerah Aceh atau Perlak Pedalaman, dan Timur Tengah. Hal ini akan menguntungkan mereka. Apabila situasi konflik antara kaum muslimin Sunni dan kerajaan Majapahit ini benar-benar terjadi, maka posisi kaum musafir Perlak Pesisir di pulau Jawa akan tetap aman.

Situasi politik kaum Syiah pelarian musafir Perlak Pesisir di pulau Jawa yang berada dibawah kekuasaan penguasa Hindu Majapahit berbeda dengan situasi mereka ketika masih di Perlak dahulu yang berada dibawah persemakmuran Sriwijaya. Pada situasi di Perlak dahulu, kerajaan Sriwijaya tidak ambil pusing pihak Perlak Pesisir atau Perlak Pedalaman yang akan mereka perangi, kedua Perlak tetap diperangi. Kaum Perlak Pesisir memang menghormati kerajaan Sriwijaya ketika mereka masih berdiri sendirian (sebelum kedatangan kaum muslim Sunni yang memecah kerajaan menjadi dua), akan tetapi mereka memiliki kekuasaan sendiri sehingga tidak membaur dan menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. Penguasa kerajaan Sriwijaya tidak terlalu mengenal mereka dan ambil pusing terhadap apapun yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh kaum Perlak Syiah. Termasuk apabila terdapat kemungkinan bahwa suatu konflik sebenarnya berasal dari pihak lain yang secara formal tampak sebagai satu wilayah dan keyakinan dengan kaum Perlak Pesisir, akan tetapi sebenarnya memiliki kebijakan politik yang berlainan.

Penguasa Sriwijaya tidak melihat kaum Perlak Pesisir sebagai pihak yang berbeda dengan kaum Perlak Pedalaman. Kehancuran kerajaan Perlak Pesisir tampak jelas disebabkan karena terjadinya konflik antar negara, dengan mereka sebagai salah satu pihak yang bersengketa mempunyai rekan koalisi. Dalam hal ini pihak yang berkoalisi adalah kerajaan Perlak Pedalaman dengan Perlak Pesisir. Akan tetapi kekuatan gabungan koalisi tersebut tidak cukup untuk mengimbangi musuh yang lebih besar dan kuat, sehingga untuk menghentikan kekuatan musuh yang besar dan kuat tersebut salah satu pihak yang berkoalisi harus berinisiatif mengorbankan diri untuk menyelamatkan rekan koalisinya. Kerajaan Perlak Pesisir memang punah di pulau Sumatra, tapi akibat dari pengorbanan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi lemah dan tidak mampu mengusik kaum muslimin di sekitar wilayah Aceh untuk selamanya.

Sedangkan keadaan politik kaum syiah musafir Perlak Pesisir yang merantau ke Jawa merupakan bagian dari masyarakat kerajaan Majapahit, dan hidup di tengah-tengah kerajaan tersebut. Sehingga apabila terjadi benturan antara kaum muslimin Sunni yang datang ke Jawa dengan penguasa Majapahit, dan kaum Perlak Pesisir merasa bahwa kedudukan mereka belum cukup kuat untuk membantu saudaranya kaum muslim Sunni, sehingga mereka terpaksa mengambil posisi netral, maka penguasa Majapahit akan dapat melihat bahwa kaum Syiah bekas pelarian Perlak berada pada pihak yang netral. Dan apabila mereka berhasil dalam misinya mengislamkan sebagian besar masyarakat pulau Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit, maka kerajaan tersebut akan lemah dengan sendirinya. Sehingga ketika kaum muslim sunni memasuki pulau Jawa, maka rakyat pulau Jawa yang telah Islam tinggal mencabut dukungan kepada penguasanya sendiri. Hal ini yang terjadi di pulau Jawa.

Dari semua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pihak yang melemahkan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit yang berakibat kepada keruntuhan dua kerajaan besar Nusantara tersebut adalah kaum muslimin Perlak Pesisir dan keturunannya yang bermazhab Syiah. Pada waktu menghadapi Sriwijaya mereka menggunakan strategi perang frontal sampai rajanyapun terbunuh dalam peperangan. Sedangkan ketika menghadapi kerajaan Majapahit mereka menggunakan strategi yang bertolak-belakang dengan strategi yang ditempuhnya ketika menghadapi Sriwijaya. Ketika menghadapi Majapahit, keturunan kaum Perlak Pesisir menggunakan strategi kehalusan dan kelembutan. Mereka menggembosi dan mengalihkan dukungan rakyat Jawa kepada kerajaan tersebut dengan cara mengislamkan penduduknya.

Yang perlu diobservasi lebih lanjut adalah alasan kerajaan Demak untuk menyerang Majapahit. Pada uraian sebelumnya telah dipaparkan sebuah argumentasi yang menyatakan bahwa kecil sekali kemungkinannya bahwa Demak menyerang Majapahit dengan tujuan dakwah Islam kepada masyarakat Hindu, karena sebagian besar masyarakat kerajaan Majapahit telah memeluk Islam. Maka salah satu kemungkinan alasan kuat bagi kerajaan Demak untuk menyerang penguasa Majapahit adalah ?dakwah? Islam mazhab sunni kepada masyarakat Majapahit yang beraliran Syiah, seperti yang telah sering terjadi di daerah timur tengah. Bila dilihat dari sudut pandang manajemen konflik tindakan penguasa Demak tersebut sangat masuk akal. Apabila mereka membiarkan saja masyarakat Jawa yang telah menjadi muslim syiah dibawah penguasa Majapahit yang berkeyakinan Hindu, maka lambat laun penguasa Majapahit juga akan menjadi pemeluk Islam mazhab syiah. Hal ini akan menyulitkan perkembangan dakwah mereka, apalagi jika dilakukan dengan cara berdakwah Islam mazhab sunni secara langsung kepada masyarakat di pulau Jawa yang telah menganut Islam syiah, argumentasi ajaran Islam mazhab Sunni tidak akan mampu untuk menundukkan argumentasi ajaran Islam mazhab Syiah. Secara historis, sejak dari kelahirannya di timur tengah, ajaran Islam mazhab Sunni dalam penyebaran ajarannya selalu membutuhkan kehadiran penguasa yang memiliki kekuatan materi dan fisik untuk mendukung dakwahnya.

Oleh karena itu untuk berdakwah di pulau Jawa, kaum muslim Sunni tidak akan mampu meniru saudaranya Syiah yang memulai dakwah dari bawah, menyusup, berbaur di tengah-tengah masyarakat Majapahit. Masyarakat kalangan bawah sudah menjadi muslim Syiah dan sulit untuk mensunnikan mereka melalui argumentasi logis. Kaum muslim Sunni harus mendirikan sebuah kerajaan kemudian menyingkirkan pesaing-pesaingnya, setelah semua hal itu dilaksanakan maka dakwah Islam mazhab sunni di pulau Jawa baru dapat mereka mulai. Penguasa kerajaan Majapahit harus disingkirkan terlebih dahulu. Maka tidak seperti kaum muslim syiah keturunan musafir Perlak Pesisir yang lebih mengutamakan rakyat kebanyakan sebagai sasaran dakwah, kaum muslim Sunni berdakwah dengan sasaran para bangsawan, keluarga raja dan anak keturunannya. Oleh karena itu media-media yang digunakan oleh kaum muslim Sunni di pulau Jawa adalah media-media elit/khusus yang hanya digunakan oleh masyarakat kalangan atas seperti misalnya pertunjukan wayang. Pada masa itu hanya kalangan bangsawan dan keluarga raja Majapahit yang mampu menyelenggarakan serta menonton pertunjukkan wayang.

Setelah posisi kaum muslim Sunni sudah cukup kuat di pulau Jawa dengan masuk Islamnya raden Patah, putra prabu Brawijaya yang terakhir (Brawijaya V), maka mereka harus segera mengambil alih kekuasaan di pulau Jawa. Hal ini penting jika kaum muslim sunni hendak mencegah kalangan penguasa di pulau Jawa dikuasai oleh kaum muslim syiah. Selain itu dengan jatuhnya kekuasaan di tangan mereka (kaum muslim sunni), maka situasi politik yang seperti situasi politik di timur tengah akan dapat dikondisikan pula di Nusantara Jawa. Maka setelah mendirikan kerajaan Islam di Demak, kaum muslim sunni segera menyerang Majapahit. 

Pada uraian-uraian sebelumnya telah dipaparkan argumentasi yang menyatakan bahwa serangan Demak tersebut bukanlah perang yang bertujuan dakwah Islam kepada masyarakat Jawa yang beragama Hindu, akan tetapi lebih kepada persiapan ?dakwah? untuk menghadapi persaingan antar mazhab dalam Islam. Salah satu peristiwa sejarah yang dapat dijadikan indikasi bagi argumentasi diatas adalah adanya suatu fenomena bahwa pada waktu peperangan antara Demak dan Majapahit berlangsung, panglima angkatan perang Majapahit saat itu dipegang oleh seorang muslim bernama raden Kusen (raden Husain). Nama panglima perang Majapahit itu pada konteks masanya mengindikasikan bahwa ia seorang muslim yang bermazhab ahlul bayt. Hal ini menandakan bahwa kaum muslim Syiah sudah mempunyai pengikut yang jumlahnya besar di pulau Jawa ketika para walisanga datang ke pulau tersebut.

Lalu bagaimana masyarakat Islam syiah keturunan musafir Perlak Pesisir di Jawa mengambil sikap ketika dihadapkan pada situasi peperangan antara Demak versus Majapahit. Apakah mereka lebih condong kepada Demak atau kepada Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah tempat mereka mendapatkan penghidupan. Kerajaan Majapahit tidak mengusik perbedaan keyakinan, bahkan memberikan ruang bagi kaum syiah keturunan musafir Perlak untuk berkembang. Sementara kerajaan Demak adalah kerajaan Islam, oleh karenanya mereka adalah saudara dalam keimanan. Sejarah sedikit-banyak telah menunjukkan bahwa kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak lebih condong untuk membela saudara seimannya, yaitu kerajaan Demak.

Ketika diserang oleh Demak, kerajaan Majapahit langsung mengalami keruntuhan, apabila masyarakatnya melakukan pembelaan kepada kerajaan tersebut tentu situasinya akan lain. Hal ini sedikit banyak menunjukkan sikap masyarakat muslim syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir di Jawa ketika dihadapkan dengan situasi peperangan antara Demak versus Majapahit. Tentunya tidak semua masyarakatnya mempunyai persamaan pendapat dan sikap yang mutlak identik. Satu atau dua orang pasti mempunyai pendapat politik yang berbeda, seperti sikap yang diambil oleh raden Kusen yang malah menjadi senopati perang bagi kerajaan Majapahit untuk melawan Demak.

Tokoh seperti raden Kusen kemungkinan sekali memiliki pendirian bahwa kerajaan Majapahit telah memberi ruang kepada kaum syiah keturunan Perlak Pesisir untuk berkembang dan memperoleh penghidupan, sehingga ia merasa berhutang budi kepada Majapahit. Atau kemungkinan sekali bahwa ia juga khawatir bahwa apabila kerajaan Demak mengalami kemenangan, maka masa depan perkembangan kaum syiah di pulau Jawa akan suram. Kemungkinan bagi kekhawatiran raden Kusen ini sebenarnya sangat masuk akal atau beralasan, jika ia melihat sejarah masa lampau hubungan kedua mazhab Islam tersebut, baik di timur tengah maupun di Perlak. Selain raden Kusen tampaknya ada satu atau dua orang lagi yang berpendapat sama dengan beliau. Salah satu diantaranya adalah Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar tampaknya juga memiliki pendapat yang sama dengan raden Kusen.

Yang mengherankan adalah sikap yang diambil masyarakat muslim syiah keturunan musafir Perlak Pesisir untuk lebih memilih membela kerajaan Demak yang bermazhab sunni. Walaupun mereka memahami sejarah masa lampau di timur tengah maupun di Perlak, yaitu apabila kerajaan Demak mengalami kemenangan maka timbul suatu kemungkinan kuat bahwa kehidupan kaum syiah akan mengalami tekanan keras dari kaum sunni. Apa yang mendasari masyarakat muslim syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir mengambil pilihan untuk membela saudaranya yang sunni walaupun terdapat kemungkinan bahwa apabila mengalami kemenangan kerajaan Demak akan menekan mereka.

Sejarah masa lalu sedikit-banyak menunjukkan bahwa kaum muslimin syiah selalu lebih mengutamakan keselamatan peradaban Islam secara keseluruhan daripada kelompok atau mazhab. Mereka juga terlihat selalu piawai dalam menyusun berbagai strategi untuk mencapai tujuannya. Tampaknya strategi yang diambil oleh kaum muslimin syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir di pulau Jawa pun berdasarkan pada pemikiran yang sangat mendalam. Apabila melihat sejarah pada masa setelahnya, maka terlihat bahwa kehidupan Islam yang damai di pulau Jawa hanya mengalami masa yang tidak begitu lama. Aksi penjajahan oleh penjajah Belanda segera tiba dalam waktu yang tidak begitu lama setelah keruntuhan kerajaan Majapahit. Gelagat dari karakter orang-orang Eropa terutama karakter penjajahannya di masa depan tentu terbaca juga oleh masyarakat diseluruh dunia. Walaupun arus informasi dunia di jaman Majapahit lebih lambat apabila dibandingkan dengan arus komunikasi di jaman sekarang. Tapi di jaman dahulu arus informasi global juga sudah terbentuk, apalagi bagi negara-negara yang terletak di pinggiran samudera Hindia yang arus perpindahan manusianya lebih cepat dari pada di bumi belahan lain. Berita tentang keadaan di Eropa, termasuk tabiat dan kecenderungan masyarakatnya juga akan sampai ke daerah Nusantara.

Dalam menghadapi keadaan dunia di masa depan, terutama ancaman dari kecenderungan bangsa Eropa yang akan bersikap agresif terhadap bangsa-bangsa lain tentu sudah dilakukan suatu usaha prediksi oleh bangsa-bangsa lain di dunia saat itu, termasuk diantaranya kaum muslimin syiah keturunan musafir Perlak Pesisir. Terlihat suatu usaha menggerakkan persatuan antar sesama muslim oleh mereka. Masyarakat muslimin syiah keturunan para musafir Perlak Pesisir sudah tidak ambil pusing lagi dengan perbedaan mazhab. Mereka tampaknya rela kehilangan identitas mazhabnya dan menerima Islam sunni dipeluk oleh sebagian besar masyarakat di pulau Jawa. Tapi yang penting inti dari ajaran Islam mazhab syiah tetap dipegang oleh masyarakat Jawa keturunan para musafir Perlak Pesisir. Jejak tersebut terlihat setelah mereka mendirikan kerajaan Islam sufistik di pedalaman pulau Jawa paska keruntuhan kerajaan Demak. Jejak peninggalan kaum syiah akan dibahas pada uraian nanti. Sekarang akan dibahas jejak langkah-langkah dalam sejarah yang ditempuh kaum muslimin syiah keturunan Perlak Pesisir di pula Jawa dalam berinteraksi dengan kaum muslim sunni di pulau Jawa.
Budaya Kejawen sebagai Metamorfosis Ajaran Islam Syiah di Pulau Jawa