Imam
Shadiq as hidup bersama kakeknya, Imam Sajjad as hingga berusia 12
tahun dan menerima ilmu dari beliau. Setelah kakeknya wafat, Imam Shadiq
as hidup di sisi ayahnya Imam Muhammad Baqir as. Oleh karena itu,
terlepas dari ilmu-ilmu ilahi yang didapatkannya dari Allah sebagaimana
yang diberikan kepada setiap imam maksum, Imam Shadiq telah mencapai
kesempurnaan ilmu dan makrifat dari ayah dan kakeknya karena potensi dan
kecerdasan yang dimilikinya. Pasca wafatnya sang ayah, Imam Shadiq as
mengemban tugas sebagai pemimpin kaum Muslimin selama 34 tahun dan
selama itu pula beliau berhasil mendirikan "Mazhab Jakfari", sehingga
menjadikan ajaran kakeknya, Rasulullah Saw kembali lurus dan terjaga.
Kehidupan penuh berkah Imam shadiq as bertepatan dengan masa
kekhilafahan lima orang penguasa Bani Umayah. Masing-masing dari lima
orang khilafah ini senantiasa menyakiti fisik dan jiwa Imam Shadiq as.
Beliau juga hidup semasa dengan dua orang penguasa Bani Abbas, Saffah
dan Mansur. Kezaliman kedua penguasa Bani Abbas ini tidak lebih ringan
dari Bani Umayah. Sehingga pada satu dekade terakhir usianya, Imam
Shadiq as benar-benar hidup dalam ketidakamanan dan kesulitan.
Masa Imam Shadiq as adalah masa kebangkitan umat Islam melawan
pemerintahan Bani Umayah. Sehingga tekanan politik di akhir pemerintahan
Bani Umayah sedikit melonggar dan kota Madinah dapat merasakan
kebebasan yang lebih dari sebelumnya. Imam Shadiq as menggunakan
kesempatan ini dan mendirikan sebuah pusat keilmuan yang besar.
Universitas ini banyak melahirkan pribadi-pribadi yang terdidik dan
menguasai pelbagai macam ilmu keislaman. Mereka ada yang ahli hadis,
faqih besar, teolog dan masing-masing dari mereka menjalankan tugasnya
sesuai dengan keahliannya.
Selama 34 tahun
masa keimamahannya, Imam Shadiq as mengajar dan mendidik murid-muridnya
dengan pelbagai macam keilmuan dan yang paling penting adalah
menghidupkan Sunnah Rasulullah Saw di tengah-tengah umat Islam. Imam
Shadiq as bahkan pernah meninggalkan Madinah selama dua tahun karena
tekanan para penguasa Bani Abbasiahdan hidup di Hirah, sebuah kota di
dekat Kufah. Di sana juga Imam Shadiq mendirikan pusat pendidikan besar
dan mendidik murid-muridnya.
Masa peralihan kekuasaan
Bani Umayah ke Bani Abbasiah merupakan masa yang paling kacau dalam
kehidupan Imam Shadiq as. Pada saat yang sama, di masa Imam Shadiq as
muncul beragam pendapat dan ajaran serta ideologi. Terjadi pertentangan
beragam pemikiran filosofi dan teologi yang muncul karena interaksi kaum
Muslimin dengan penduduk negara-negara yang telah ditaklukkan dan juga
hubungan antara pusat-pusat Islam dan dunia luar. Di dalam dunia Islam
sendiri muncul semangat dan kegigihan untuk memahami dan meneliti.
Di masa seperti ini, sedikit keteledoran dan kelalaian akan menyebabkan
kemusnahan dan kehancuran agama dan ajaran Islam. Dalam krisis semacam
ini Imam Shadiq as berpikir untuk menyelamatkan pemikiran dan keyakinan
sekelompok umat Islam dari atheisme, kemusyrikan dan kekufuran sekaligus
mencegah agar jangan sampai masyarakat menyimpang dari prinsip-prinsip
dan pengetahuan Islam yang sejati. Beliau harus melakukan pekerjaan ini
sementara Bani Abbasiah sedang berada di tampuk kekuasaan dan kondisi
saat itu benar-benar menekan dan tidak menyenangkan, sementara para
sahabat beliau terancam bahaya kematian.
Sebagai
contoh, Jabir Ju'fi salah satu sahabat khusus Imam Shadiq as sedang
berada dalam perjalanan menuju Kufah untuk melaksanakan perintah Imam.
Di tengah perjalanan utusan Imam yang lain menemuinya dan berkata, "Imam
mengatakan, "Berpura-puralah sebagai orang gila!" Karena anjuran inilah
Jabir selamat dari kematian. Penguasa Kufah secara rahasia di
perintahkan oleh khalifah untuk membunuh Jabir, namun ia mengurungkan
niatnya karena beranggapan bahwa Jabir gila.
Dalam
kondisi sesulit ini Imam Shadiq as berhasil mewujudkan tempat
pembelajaran keilmuan yang besar yang hasilnya adalah beliau memiliki 4
ribu murid dalam pelbagai macam bidang keilmuan. Mereka menyebar di
seluruh wilayah negara-negara Islam. Menghidupkan kembali ajaran Islam
menjadikan Imam Jakfar Shadiq as dikenal sebagai pemimpin mazhab Jakfari
atau Syiah. Imam Shadiq as sebagai pejuang tak kenal lelah berjuang di
kancah pemikiran dan amal dan mendirikan sebuah kebangkitan keilmuan.
Kebangkitan semacam ini perlu dalam upaya mengeluarkan hakikat agama
dari tengah-tengah khurafat dan hadis-hadis palsu sekaligus bertahan
menghadapi serangan pemikiran menyimpang dengan kekuatan logika dan
argumentasi.
Di masa Imam Shadiq as, teologi dan
hikmah Islam mampu tumbuh menghadapi filsafat Yunani. Imam Shadiq as
mampu mendidik para filosof dan hakim dengan ilmu-ilmu keislaman. Di
sisi lain, masalah fiqih dan teologi yang pada waktu itu dibahas secara
terpisah-pisah, Imam Shadiq as berhasil membahasnya secara sistematik.
Fiqih Jakfari yang dibangun beliau adalah perintah-perintah agama dari
Allah Swt yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Fiqih yang kaya ini
menjelaskan hukum-hukum Islam yang ada sejak masa Nabi Saw. Abu Hanifah,
Imam Mazhab Hanafi tentang Imam Shadiq as berkata, "Saya tidak pernah
melihat dan mengetahui ada orang yang lebih faqih dan alim dari Jakfar
Shadiq as."
Imam Shadiq as sering melakukan dialog dan
diskusi tentang agama dan akidah dengan para sahabatnya yang juga
menjadi muridnya. Pada prinsipnya, satu dari metode tablig para Imam
Maksum as adalah melakukan dialog dengan para pemimpin atau tokoh
mazhab, agama, ateis dan mereka yang suka bertanya. Metode ini juga
dipakai oleh Imam Shadiq as dalam menyebarkan agama Islam. Beliau banyak
melakukan dialog dengan para ahli fiqih, perbintangan, teolog dan
lain-lain. Untungnya kebanyakan dialog yang dilakukan beliau dicatat
dalam sumber-sumber sejarah dan hadis.
Imam Shadiq as
memiliki akhlak mulia seperti para Imam Maksum as sebelumnya. Hatinya
penuh dengan cahaya ilahi dan terkenal dengan kemurahan hatinya membantu
dan menolong orang-orang miskin. Dengan penuh kerendahan hati beliau
sendiri melakukan segala pekerjaannya. Beliau membawa cangkul dan dengan
diterpa matahari yang panas, beliau melakukan pekerjaannya bercocok
tanam. Imam Shadiq as berkata, "Bila aku menemui Allah dalam kondisi
sedang bekerja seperti ini, maka aku akan menjadi orang yang berbahagia.
Karena aku menjamin bekal dan kehidupanku dan keluarga dengan keringat
yang ada di dahiku ini."
Sekaitan dengan sifat pemaaf
Imam Shadiq as diriwayatkan bahwa ada seseorang yang mendatangi beliau
dan berkata, "Saya telah bertemu dengan seseorang yang berbicara tentang
keburukanmu." Mendengar itu Imam Shadiq as bangkit lalu mengambil air
wudhu dan berdiri sambil melaksanakan shalat. Perawi kemudian
mengatakan, "Aku berkata dalam hati bahwa Imam Shadiq as pasti mengutuk
orang itu." Tapi ternyata setelah Imam Shadiq as selesai melaksanakan
shalatnya, beliau berdoa, "Ya Allah! Saya memaafkan dia sebatas hak
saya. Engkau lebih pemurah dari diriku. Oleh karenanya maafkan dia dan
jangan menyiksanya!"
Imam Shadiq as berkata, "Setan
berkata bahwa ada lima kelompok manusia yang tidak bisa aku kuasai. Lima
kelompok manusia itu adalah; Seseorang yang berlindung kepada Allah Swt
dengan ikhlas dan percaya kepada Allah dalam semua pekerjaannya.
Seseorang yang banyak mengucapkan tasbih kepada Allah di siang dan malam
hari. Seseorang yang menerima apa saja yang diterima oleh saudara
mukminnya. Seseorang yang tetap sabar ketika terkena musibah. Dan
seseorang yang rela dengan apa yang diberikan oleh Allah Swt dan tidak
pernah sedih dengan rezeki yang dimilikinya." (al-Khishal, jilid 1, hal
952)