Search

Thursday, January 31, 2013

Warisan Bersejarah Islam Terakhir di Mekah-Madinah Segera dihancurkan


Warisan sejarah Islam terakhir di Arab Saudi sedang dihancurkan dengan dalih renovasi dan proyek perluasan.
Surat kabar Al Akhbar, Lebanon sebagaimana dikutip TV Alalam, Rabu (30/1) dalam sebuah artikel yang ditulis Nahed Hattar, menulis, Arab Saudi memutuskan untuk menghancurkan makam suci Rasulullah Saw dan tiga masjid bersejarah di kota Madinah Munawaroh.
Keputusan itu membuat warisan bersejarah Islam terkahir terancam hilang digantikan gedung-gedung baru. Masyarakat Saudi menganggap perusakan makam Nabi Muhammad Saw dilakukan dengan alasan proyek perluasan dan pembangunan masjid besar. Tempat-tempat bersejarah Islam lebih banyak terdapat di kota Mekah, dan penghancuran tempat-tempat itu juga dilakukan dengan alasan yang sama, pembangunan masjid-masjid besar, gedung-gedung pencakar langit dan hotel-hotel mewah.

Rezim Al Saud memanfaatkan Wahabi sebagai ideologinya dan dengan menyampaikan sejumlah dalih mereka mengeluarkan izin penghancuran tempat-tempat suci Islam. Sekalipun itu berkaitan dengan warisan bersejarah Nabi Muhammad Saw. Saudi mengubah musim haji sebagai musim wisata yang dikelola oleh investor-investor Barat dengan hotel-hotel bintang limanya. Sampai-sampai biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan ibadah haji naik menjadi 15 ribu dolar.

Dalam pandangan keluarga Saud, Wahabi adalah media untuk mematikan kesadaran nasional dan sosial. Akan tetapi pemahaman ini tidak berpengaruh menghadapi serangan asing, dominasi imperialisme atas negaranya dan aksi praktis melawan Zionisme. Wahabisme dalam pandangan makelar-makelar properti tidak lebih dari sekedar alat yang dapat digunakan untuk menyingkirkan segala hambatan budaya di sektor properti dan pariwisata.

Di kota Jedah saat ini sudah tidak tersisa lagi tempat-tempat bersejarah dan setiap orang yang ingin mengenal identitas kota itu akan mengalami kebingungan. Jedah dipenuhi oleh hotel-hotel mewah dengan standar internasional dan restoran-restoran baru yang sebagian besar merupakan cabang perusahaan internasional. Bahkan di sana, sebagian besar masjid tidak memiliki identitas keislaman. Sebagian masjid ini justru memiliki tanda pengaruh budaya India, Cina dan bahkan sebagiannya menyerupai gereja-gereja Protestan.

Pemikiran destruktif Wahabisme yang menentang segala upaya memelihara dan menjaga warisan bersejarah, selalu selaras dengan ambisi broker-broker properti di sejumlah negara Arab. Beberapa kelompok sosial mengumumkan penentangannya atas penghancuran warisan-warisan bersejarah yang berumur lebih dari ratusan tahun itu, namun seperti biasanya para broker properti selalu berhasil dan tempat-tempat bersejarah itu pun dihancurkan.

Seiring dengan bergulirnya gerakan kebangkitan negara-negara Arab (Arab Spring), Wahabisme melancarkan dua serangan besarnya, pertama, Qatar yang menggunakan Ikhwanul Muslimin sebagai kendaraan, dan yang kedua, Saudi yang memanfaatkan Salafi-salafi ekstrim sebagai resep Arabisasi dan internasionalisasi Wahabi. Tujuan serangan tersebut adalah merusak Islam di Mesir dan kesadaran nasional di negara Arab terbesar, juga membumihanguskan Suriah. Oleh karena itu ada indikasi pengaruh kepentingan broker-broker dalam serangan Wahabi ini

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Penaklukan Mekah dan Madinah


Saud bin Abdul Aziz telah dikenal sebagai orang yang sangat bengis dan kejam. Ketika berhasil menguasai Mekah, dia membunuh banyak ulama Sunni dan pembesar Mekah tanpa alasan dan kesalahan. Banyak pula yang disiksa karena mempertahankan akidah dan tak bersedia menerima ajaran Wahhabi.



Laksamana Ayyub Shaburi, pimpinan sekolah tinggi angkatan laut pada pemerintahan kesultanan Ottoman menulis, "Saud bin Abdul Aziz di awal pidatonya di hadapan para pemuka Wahhabi mengatakan, "Kita harus menguasai kota-kota dan desa-desa yang ada untuk mengajarkan hukum dan akidah kita kepada mereka. Untuk mewujudkan cita-cita ini kita terpaksa menyingkirkan para ulama Ahlussunnah yang mengaku mengikuti Sunnah Nabi dan syariat Muhammad, terlebih para ulama yang menonjol dan terkenal. Sebab, selagi mereka masih hidup, para pengeikut ajaran kiita tidak akan tenang."

Setelah menguasai Mekah, Saud bin Abdul Aziz berpikir untuk menyerang dan menguasai kota-kota lain di Jazirah Arabia. Untuk itu, dia mengerahkan pasukannya ke kota pelabuhan Jeddah. Ibnu Busyr dalam Tarikh Najdi menceritakan, "Saud tinggal di Mekah selama lebih dari 20 hari. Dia lalu meninggalkan Mekah dan bergerak ke arah Jeddah. Kota itupun dikepungnya. Penguasa kota Jeddah menggunakan meriam untuk mengusir mereka. Banyak prajurit Wahhabi yang tewas. Akhirnya merekapun melarikan diri. Setelah kekalahan itu, pasukan Wahhabi tidak kembali ke kota Mekah tetapi pulang ke Najed. Sebab, mereka mendengar bahwa pasukan dari Iran menyerang Najed. Kesempatan itu dimanfaatkan untukmerebut kota Mekah dari kekuasaan Wahhabi. Syarif Ghalib, penguasa Mekah yang sebelumnya melarikan diri ke Jeddah menjalin kerjasama dengan penguasa Jeddah dengan mengerahkan pasukan besar ke arah Mekah. Pasukan ini dipersenjatai dengan meriam dan berhasil mengalahkan pasukan Wahhabi yang berkekuatan kecil. Dan Mekah berhasil mereka rebut kembali."

Kelompok Wahhabi kembali berpikir untuk menyerang dan menguasai Mekah sebagai kota paling penting bagi umat Islam. Tahun 1219 H, Saud kembali mengirimkan pasukan Wahhabi untuk mengepung kota Mekah. Kondisi kota itu semakin memburuk karena kekurangan bahan makanan. Banyak orang yang meninggal karena kelaparan. Saud memerintahkan pasukannya untuk menutup jalur yang menghubungkan Mekah dengan dunia luar. Mereka membunuh siapa saja yang melarikan diri dan keluar dari Mekah.

Sejarah menyebutkan adanya banyak  anak yang meninggal dunia dan jenazah mereka tak bisa dikuburkan. Dalam kondisi yang sulit seperti itu, Syarif Ghalib terpaksa membuat perjanjian damai dengan pasukan Wahhabi. Perjanjian itu dibuat tahun 1219 H. Setelah perjanjian dibuat dan pasukan Wahhabi berhasil menguasai Mekah, Syarif Ghalib memperlakukan mereka dengan baik dan memberikan hadiah-hadiah mewah kepada mereka demi melindungi keselamatan jiwanya dan warga Mekah. Pemimpin Wahhabi membuat keputusan untuk melarang pelaksanaan ibadah haji bagi warga Irak selama empat tahun, bagi warga Syam selama tiga tahun dan bagi warga Mesir selama dua tahun.

Setelah Mekah, Saud bin Abdul Aziz melirik kota Madinah. Warga Madinah melakukan perlawanan sengit terhadap Wahhabi karena ajarannya yang ekstrim dan sesat. Akan tetapi setelah kota Madinah dikepung selama satu setengah tahun, pada tahun 1221 H (1806) kota suci inipun jatuh ke tangan kaum Wahhabi. Keberhasilan menguasai kota tesuci kedua ini mereka manfaatkan untuk menjarah khazanah komplek makam suci Nabi Saw dan menebar ketakutan di tengah warga dan umat Islam. Meski demikian pasukan Wahhabi tidak menghancurkan makam ini karena mengkhawatirkan reaksi keras kaum muslimin. Menurut catatan sejarah di kota ini pasukan Wahhabi menjarah empat peti yang penuh dengan perhiasan dan permata yang sangat berharga, empat tempat lilin yang dihiasi dengan zamrud dan permata yang bersinar, serta seratus bilah pedang yang dihiasi emas, permata dan yagut.

Usai menaklukkan kota itu dan menjarah kekayaan yang ada, Saud bin Abdul Aziz mengumpulkan warga Madinah di masjid Nabawi dan mengatakan, "Wahai warga Madinah, kalian telah mencapai ajaran Islam yang sempurna seperti firman Allah "Hari ini Akusempurnakan untuk kalian agama kalian", dan kini kalian telah membuat Allah ridha kepada kalian. Tinggalkan ajaran para leluhur kalian dan jangan pernah menyebutnya dengan kebaikan. Jangan kalian kirimkan ucapan rahmat untuk mereka karena mereka mati dalam keadaan syirik."

Saud bin Abdul Aziz dalam setiap serbuannya selalu melakukan pembantaian massal. Kekejian dan kejahatannya telah menggetarkan hati rakyat dan para penguasa Arab. Kondisi yang mencekam itu membuat orang tak berani melakukan ibadah haji. Penguasa Madinah yang mengkhawatirkan keselamatan diri dan warga memilih untuk berdamai dengan kelompok Wahhabi dan menuruti perintah mereka menghancurkan makam-makam para imam suci di Baqi'. Diapun mengakui ajaran Wahhabi sebagai mazhab resmi kawasan Hijaz. Keadaan yang sudah sedemikian buruk itu membuat para pembesar Hijaz mengirimkan surat kepada Sultan Ottoman untuk memberitahukan bahaya Wahhabi yang semakin kuat. Mereka mengingatkan bahwa Wahhabi tak akan puas dengan apa yang didapatkannya di Jazirah Arab dan berambisi menguasai seluruh negeri Muslim.

Kesultanan Ottoman yang berkuasa di negeri-negeri Islam seperti Hijaz, Yaman, Mesir, Palestina, Syam dan Irak memerintahkan penguasa Mesir untuk memerangi Wahhabi. Saat itu, Saud bin Abdul Aziz yang berusia 66 tahun meninggal dunia karena penyakit kanker. Dan kekuasaan beralih ke tangan putranya yang bernama Abdullah. Penguasa Mesir, Mohamamd Ali Pasha segera melaksanakan perintah Sultan dan mengirimkan pasukan untuk memerangi Wahhabi. Setelah terlibat serangkaian perang, pasukan Mesir berhasil mengalahkan pasukan Wahhabi dan membebaskan Mekah, Madinah dan Thaif dari tengan mereka. Para pemimpin Wahhabi berhasil ditangkap dan dikirim ke markas kekuasaan Ottoman di Turki. Kemenangan ini disambut dengan suka cita oleh umat Islam. Meski demikian kelompok Wahhabi belum sepenuhnya musnah.

Muhammad Ali Pasha menjadikan kota Mekah sebagai markas besarnya. Setelah menangkap penguasa Mekah dan mengasingkannya, dia kembali ke Mesir. Tak lama kemudian dia mengirimkan pasukan ke Najed yang dipimpin salah seorang sanak keluarganya bernama Ibrahim Pasha. Pasukan ini mengepung kota Dir'iyyah, markas Wahhabi dan terlibat pertempuran sengit dengan pasukan Wahhabi. Keunggulan alat tempurnya membuat pasukan Mesir berhasil menundukkan Dir'iyyah. Abdullah bin Saud pun ditangkap bersama orang-orang dekatnya. Mereka dibawa ke Turki. Setelah diarak di berbagai kota, Abdullah bin Saud dan orang-orangnya pun dieksekusi. Peristiwa itu disambut dengan suka cita di berbagai kota dan negeri Muslim.

Ibrahim Pasha menetap selama sembilan bulan di Dir'iyyah. Dia kemudian memerintahkan kota itu untuk dikosongkan dan dihancurkan. Ibrahim membunuh banyak keluarga dan keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab dan keluarga Saud atau mengasingkan mereka supaya tak ada lagi Wahhabi dan aliran sesat ini di muka bumi. Sultan Ottoman kemudian menunjuk Muhammad Ali Pasha sebagai penguasa kawasan Najed dan Hijaz. Dengan demikian, Wahhabi berhasil dibumihanguskan pada tahun 1234 H (1881 M). Sejak saat itu sampai seratus tahun kemudian tak ada yang tersisa dari aliran Wahhabi. Keceriaanpun kembali menyinari wajah umat Islam karena kekuasaan keluarga Saud dan Wahhabi yang bengis dan beringas berhasil dihancurkan.