Detik-detik kehidupan yang kita lalui memiliki beragam model fenomena.
Adakalanya kita sebagai pencipta fenomena ada kalanya kita sebagai
konsumernya. Namun yang terpenting adalah keberadaan kita baik sebagai
pencipta maupun konsumer. Baik dan buruknya kita sebagai pencipta
fenomena akan ternilai apakah fenomena yang kita ciptakan itu sebuah
kebaikan atau keburukan. Karena pencipta fenomena akan memiliki nilai
lebih dari fenomena itu sendiri. Pencipta fenomena kebaikan lebih baik
dari fenomena itu sendiri dan begitu juga pencipta fenomena keburukan
lebih buruk dari fenomena itu sendiri.
Bagaimana bila
dalam detik-detik kehidupan itu kita berperan sebagai konsumer fenomena
artinya kita dihadapkan oleh sebuah fenomena apakah itu fenomena
kebaikan atau keburukan?
Bila kita duduk dalam sebuah
undangan malam dengan kondisi lampu dimatikan, maka kita tidak akan
mengambil makanan yang dihidangkan sebelum lampu dinyalakan. Mengapa?
Karena sebagian makanan ada yang menguatkan, menyehatkan namun sebagian
makanan ada yang melemahkan dan bahkan meracuni badan. Demikian juga
bila kita duduk dalam sebuah pertemuan pemikiran, maka kita harus
menyalakan lentera akal kita sehingga bisa memilih dan memilah melalui
kepekaan hati kita. Karena bila makanan jasmani ada yang menyehatkan dan
ada yang menyakitkan, maka makanan jiwa juga demikian.
Pelajaran yang kita pelajari, buku-buku dan majalah yang kita telaah,
makalah-makalah yang kita baca, ceramah dan pembicaraan yang kita simak,
berita-berita yang kita dengar, bahkan status-status akun jejaring
sosial yang kita ikuti dari sisi pengaruh dan dampak tidak sama.
Sebagian darinya ada yang mengokohkan dan meneguhkan semangat dan
pemikiran dan keimanan kita dan sebaliknya malah melemahkan dan
memutuskan harapan kita. Sebagian darinya membawa kita kepada kebaikan
dan ketakwaan dan sebaliknya malah menyeret kita pada keburukan dan
kebobrokan. Sebagian darinya mengajak kita untuk menyongsong masa depan
dengan penuh harapan sebagian lainnya menjadikan kita putus asa dan
buruk sangka terhadap masa depan, orang lain bahkan pada diri sendiri.
Di sinilah kita senantiasa dituntut untuk memiliki kepekaan hati dan
kewaspadaan terhadap setiap fenomena yang terjadi di sekitar kita, yaitu
kemampuan membedakan mana yang benar dan mana yang batil.
Hujjatul Islam Mohsen Qaraati mengajarkan kepada kita bahwa bila kita
memiliki kaset berharga mahal, tidak mungkin kita memenuhinya dengan
rekaman suara kucing, lalu bagaimana mungkin kita mau-maunya dan rela
memenuhi kaset otak kita dengan omongan-omongan sembarangan! Mengapa
kita mau saja mendengar kebohongan, fitnah dan gunjingan dan lain-lain
yang tidak penting bagi kita?!
Ketika nilai-nilai dan
prinsip agama dan keyakinan kita menjadi bahan cemoohan dan ejekan
seseorang atau sejumlah orang, maka di saat itulah kita harus mengambil
sikap untuk menyatakan berlepas tangan dari mereka dan memisahkan diri.
Karena ini terkait pengaruh dan dampak pada diri kita. Bila dengan
bergaul dan menunjukkan kasih sayang bisa merubah seseorang dan
menyelamatkan mereka, maka harus kita lakukan dan bila sebaliknya malah
kita yang terbawa dan terseret mereka, maka kita harus segera mengambil
jarak dan meninggalkannya.
Seseorang tidak akan
menjadi baik dalam semalam dan tidak pula menjadi jelek dalam sehari
tapi dalam proses pergaulan dan perbauran tanpa dirasa seseorang akan
menjadi baik atau jelek.
Kepekaan hati dan kewaspadaan
bersumber dari ketakwaan seseorang. Terkait kepekaan hati dan
kewaspadaan ini Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali
Khamenei dalam pidatonya mengatakan:
"Lawan dari takwa
adalah kelalaian, tanpa perhatian dan bergerak tanpa kepekaan hati.
Allah tidak menerima alasan seorang mukmin atas ketidakwaspadaannya
dalam urusan kehidupan. Dalam semua urusan kehidupan seorang mukmin
harus senantiasa waspada dan peka. Kewaspadaan dan kepekaan hati seorang
mukmin dalam semua urusan kehidupan ini, dampak dan pengaruhnya adalah
ia senantiasa sadar bahwa apa yang dilakukannya jangan sampai
bertentangan dengan kehendak Allah serta aturan agama. Ketika seseorang
memperhatikan dan menjaga masalah ini yakni ucapan, perilaku, diam,
bangkit dan duduk serta segala tindakannya sesuai dengan garis yang
telah ditentukan Allah, maka kondisi kewaspadaan dan perhatian ini pada
manusia disebut dengan takwa yakni kondisi penjagaan dalam diri manusia
senantiasa harus tetap hidup. (Bashirat, Edareh Kulli Pazuhesh Wa
Amuzesh-e Sima, 1388, hal 33, Pidato Rahbari, 10/1/1369 Hs)
Di bagian lain dari pidatonya tentang masalah kepekaan hati ini Ayatullah Khamenei mengatakan:
"Bukan bagian dari orang-orang awam, bukan berarti harus menempuh
pendidikan tinggi. Tidak! Sudah saya katakan bahwa makna awam bukan ini.
Betapa banyak orang yang berpendidikan tinggi, namun mereka bagian dari
orang-orang awam. Betapa banyak orang yang berpendidikan agama! Namun
mereka bagian dari orang-orang awam. Betapa banyak orang miskin atau
kaya! Tapi mereka bagian dari orang-orang awam. Menjadi seorang awam itu
adalah kehendak dan ikhtiar diri kita sendiri. Kita harus berhati-hati
jangan sampai bergabung dengan barisan ini. Yakni, segala yang kita
lakukan harus berdasarkan kepekaan hati. Siapa saja yang bertindak tanpa
kepekaan hati, maka ia adalah awam. Oleh karena itu, terkait Rasulullah
Saw al-Quran mengatakan, "
Ad'uu Ilallaahi ‘Alaa Bashiirah Ana Wa Man-ittaba'anii... Yakni aku dan para pengikutku beramal berdasarkan
bashirah
(kepekaan hati), berdakwah dan melangkah. Maka lihatlah, apakah kalian
bagian dari awam ataukah bukan? Bila kalian termasuk bagian dari
orang-orang awam, maka segeralah memisahkan diri dari mereka.
berusahalah dan cari kekuatan untuk menganalisa, tentukan dan pastikan
dan dapatkan pengetahuan dan makrifat." (Bashirat, Edareh Kulli Pazuhesh
Wa Amuzesh-e Sima, 1388, hal 35, Pidato Rahbari, 20/03/1375 Hs) (QS.
Yusuf: 108).
Bila kepekaan hati bersumber dari
ketakwaan, maka kepekaan hati ini selain bisa tumbuh berkembang dan
menguat bisa juga menyusut dan bahkan menjadi tertutup yang berakibat
buta hati.
Faktor-faktor yang menumbuhkan dan
menguatkan kepekaan hati antara lain; al-Quran, menjauhi kemauan hawa
nafsu, mencintai Allah, menjauhi dosa, makanan halal, menjalankan
kewajiban agama, ikhlas dalam niat dan beramal, membersihkan jiwa,
berpikir, mengingat Allah, mengambil pelajaran dari setiap peristiwa
yang terjadi...
Ayatullah Javadi Amoli mengatakan,
"Makanan halal menjadikan hati bercahaya dan meningkatkan kepekaan hati
dan menjadikan seseorang lebih semangat dalam beribadah dan melakukan
penghambaan kepada Allah." (Tasnim, Javad Amoli, jilid 9, hal 500
dinukil oleh Bashirat, hal 99)
Sebaliknya
faktor-faktor yang menghalangi pertumbuhan kepekaan hati antara lain;
lalai, cinta dunia, menuruti hawa nafsu dan syahwat, hati yang kotor,
dosa, fanatik, kebodohan.
Terkait menuruti hawa nafsu,
Di dalam surat Kahfi: 28, Allah Swt melarang Rasulullah agar tidak
mengikuti orang-orang menuruti hawa nafsunya dan berfirman:
"
Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya
di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia
ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas."
Wallaahu A'lam
Oleh: Emi Nur Hayati