Search

Wednesday, February 6, 2013

Pesan Imam Ali as Tentang Bagaimana Mencapai Akhlak Mulia


Masalah akhlak dan mensucikan diri sangat penting dalam Islam. Tujuan diturunkannya al-Quran sendiri untuk membina akhlak, mensucikan jiwa manusia, menumbuhkan dan membimbing masyarakat. Al-Quran meletakkan keutamaan akhlak sebagai parameter nilai manusia.

Akhlak di masa kini boleh dikata sebagai "barang yang hilang dari manusia modern". Untuk mendapatkan jawaban tentang akhlak, Imam Ali as merupakan satu rujukan terpercaya. Duduk sejenak mendengarkan kuliah beliau tentang bagaimana mencapai akhlak mulia memberikan pelita bagi manusia untuk menapaki jalan kehidupannya.

Imam Ali as dalam pesannya untuk meraih akhlak mulia mengatakan, "Hendaknya kalian berusaha untuk meraih akhlak mulia. Karena akhlak mulia sumber ketinggian dan kejayaan. Jauhilah akhlak yang buruk! Karena ia membuat manusia mulia menjadi rendah dan tercela serta menghancurkan kebesaran seseorang."(1)

Ada yang bertanya kepada Imam Ali as tentang akhlak mulia dan beliau menjawab, "Memaafkan orang yang menzalimimu, menjalin hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan, memberi kepada orang yang tidak mau memberimu dan mengatakan kebenaran sekalipun itu merugikanmu."(2)

Di tempat lain Imam Ali berkata, "Hendaknya kalian kreatif dan istiqamah dalam meraih akhlak mulia."(3)

Coba kita bertanya kepada Imam Ali as tentang manakah akhlak mulia yang paling baik. Beliau akan menjawab, "Akhlak mulia terbaik adalah pengorbanan."(4)

Imam Ali as juga pernah berkata, "Akhlak mulia yang paling baik adalah seorang yang mampu membalas tapi memaafkan dan seorang yang memberi, padahal dia sendiri membutuhkan."(5)

Tentang hubungan antara takwa dan akhlak, Imam Ali as mengatakan, "Takwa adalah pangkal akhlak."(6)

Beliau juga berpesan tentang akhlak, "Bila kita tidak punya harapan dan keyakinan akan surga, bila kita tidak takut akan neraka dan bila tidak ada pahala dan siksa, tetap saja layak bagi seseorang untuk meraih akhlak mulia. Karena jalan kesuksesan dan kemenangan ada pada akhlak mulia."(7)

Catatan:
1. Bihar al-Anwar, 78/53/89, Muntakhab Mizan al-Hikmah, hal 184.
2. Nahjul Fashahah, hadis 781.
3. Ghurar al-Hikam, hadis 4712, Muntakhab Mizan al-Hikmah, hal 184.
4. Ghurar al-Hikam, hadis 4953, Muntakhab Mizan al-Hikmah, hal 184.
5. Ghurar al-Hikam, hadis 3165, Muntakhab Mizan al-Hikmah, hal 184.
6. Nahjul Balaghah, al-Hikmah 410, Muntakhab Mizan al-Hikmah, hal 60.
7. At-Tauhid, hal 61.

Kepekaan Hati Parameter untuk Memilih dan Memilah Kebenaran dari Kebatilan




Detik-detik kehidupan yang kita lalui memiliki beragam model fenomena. Adakalanya kita sebagai pencipta fenomena ada kalanya kita sebagai konsumernya. Namun yang terpenting adalah keberadaan kita baik sebagai pencipta maupun konsumer. Baik dan buruknya kita sebagai pencipta fenomena akan ternilai apakah fenomena yang kita ciptakan itu sebuah kebaikan atau keburukan. Karena pencipta fenomena akan memiliki nilai lebih dari fenomena itu sendiri. Pencipta fenomena kebaikan lebih baik dari fenomena itu sendiri dan begitu juga pencipta fenomena keburukan lebih buruk dari fenomena itu sendiri.

Bagaimana bila dalam detik-detik kehidupan itu kita berperan sebagai konsumer fenomena artinya kita dihadapkan oleh sebuah fenomena apakah itu fenomena kebaikan atau keburukan?

Bila kita duduk dalam sebuah undangan malam dengan kondisi lampu dimatikan, maka kita tidak akan mengambil makanan yang dihidangkan sebelum lampu dinyalakan. Mengapa? Karena sebagian makanan ada yang menguatkan, menyehatkan namun sebagian makanan ada yang melemahkan dan bahkan meracuni badan. Demikian juga bila kita duduk dalam sebuah pertemuan pemikiran, maka kita harus menyalakan lentera akal kita sehingga bisa memilih dan memilah melalui kepekaan hati kita. Karena bila makanan jasmani ada yang menyehatkan dan ada yang menyakitkan, maka makanan jiwa juga demikian.

Pelajaran yang kita pelajari, buku-buku dan majalah yang kita telaah, makalah-makalah yang kita baca, ceramah dan pembicaraan yang kita simak, berita-berita yang kita dengar, bahkan status-status akun jejaring sosial yang kita ikuti dari sisi pengaruh dan dampak tidak sama. Sebagian darinya ada yang mengokohkan dan meneguhkan semangat dan pemikiran dan keimanan kita dan sebaliknya malah melemahkan dan memutuskan harapan kita. Sebagian darinya membawa kita kepada kebaikan dan ketakwaan dan sebaliknya malah menyeret kita pada keburukan dan kebobrokan. Sebagian darinya mengajak kita untuk menyongsong masa depan dengan penuh harapan sebagian lainnya menjadikan kita putus asa dan buruk sangka terhadap masa depan, orang lain bahkan pada diri sendiri.

Di sinilah kita senantiasa dituntut untuk memiliki kepekaan hati dan kewaspadaan terhadap setiap fenomena yang terjadi di sekitar kita, yaitu kemampuan membedakan mana yang benar dan mana yang batil.

Hujjatul Islam Mohsen Qaraati mengajarkan kepada kita bahwa bila kita memiliki kaset berharga mahal, tidak mungkin kita memenuhinya dengan rekaman suara kucing, lalu bagaimana mungkin kita mau-maunya dan rela memenuhi kaset otak kita dengan omongan-omongan sembarangan! Mengapa kita mau saja mendengar kebohongan, fitnah dan gunjingan dan lain-lain yang tidak penting bagi kita?!

Ketika nilai-nilai dan prinsip agama dan keyakinan kita menjadi bahan cemoohan dan ejekan seseorang atau sejumlah orang, maka di saat itulah kita harus mengambil sikap untuk menyatakan berlepas tangan dari mereka dan memisahkan diri. Karena ini terkait pengaruh dan dampak pada diri kita. Bila dengan bergaul dan menunjukkan kasih sayang bisa merubah seseorang dan menyelamatkan mereka, maka harus kita lakukan dan bila sebaliknya malah kita yang terbawa dan terseret mereka, maka kita harus segera mengambil jarak dan meninggalkannya.

Seseorang tidak akan menjadi baik dalam semalam dan tidak pula menjadi jelek dalam sehari tapi dalam proses pergaulan dan perbauran tanpa dirasa seseorang akan menjadi baik atau jelek.

Kepekaan hati dan kewaspadaan bersumber dari ketakwaan seseorang. Terkait kepekaan hati dan kewaspadaan ini Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam pidatonya mengatakan:

"Lawan dari takwa adalah kelalaian, tanpa perhatian dan bergerak tanpa kepekaan hati. Allah tidak menerima alasan seorang mukmin atas ketidakwaspadaannya dalam urusan kehidupan. Dalam semua urusan kehidupan seorang mukmin harus senantiasa waspada dan peka. Kewaspadaan dan kepekaan hati seorang mukmin dalam semua urusan kehidupan ini, dampak dan pengaruhnya adalah ia senantiasa sadar bahwa apa yang dilakukannya jangan sampai bertentangan dengan kehendak Allah serta aturan agama. Ketika seseorang memperhatikan dan menjaga masalah ini yakni ucapan, perilaku, diam, bangkit dan duduk serta segala tindakannya sesuai dengan garis yang telah ditentukan Allah, maka kondisi kewaspadaan dan perhatian ini pada manusia disebut dengan takwa yakni kondisi penjagaan dalam diri manusia senantiasa harus tetap hidup. (Bashirat, Edareh Kulli Pazuhesh Wa Amuzesh-e Sima, 1388, hal 33, Pidato Rahbari, 10/1/1369 Hs)

Di bagian lain dari pidatonya tentang masalah kepekaan hati ini Ayatullah Khamenei mengatakan:

"Bukan bagian dari orang-orang awam, bukan berarti harus menempuh pendidikan tinggi. Tidak! Sudah saya katakan bahwa makna awam bukan ini. Betapa banyak orang yang berpendidikan tinggi, namun mereka bagian dari orang-orang awam. Betapa banyak orang yang berpendidikan agama! Namun mereka bagian dari orang-orang awam. Betapa banyak orang miskin atau kaya! Tapi mereka bagian dari orang-orang awam. Menjadi seorang awam itu adalah kehendak dan ikhtiar diri kita sendiri. Kita harus berhati-hati jangan sampai bergabung dengan barisan ini. Yakni, segala yang kita lakukan harus berdasarkan kepekaan hati. Siapa saja yang bertindak tanpa kepekaan hati, maka ia adalah awam. Oleh karena itu, terkait Rasulullah Saw al-Quran mengatakan, "Ad'uu Ilallaahi ‘Alaa Bashiirah Ana Wa Man-ittaba'anii... Yakni aku dan para pengikutku beramal berdasarkan bashirah (kepekaan hati), berdakwah dan melangkah. Maka lihatlah, apakah kalian bagian dari awam ataukah bukan? Bila kalian termasuk bagian dari orang-orang awam, maka segeralah memisahkan diri dari mereka. berusahalah dan cari kekuatan untuk menganalisa, tentukan dan pastikan dan dapatkan pengetahuan dan makrifat." (Bashirat, Edareh Kulli Pazuhesh Wa Amuzesh-e Sima, 1388, hal 35, Pidato Rahbari, 20/03/1375 Hs) (QS. Yusuf: 108).

Bila kepekaan hati bersumber dari ketakwaan, maka kepekaan hati ini selain bisa tumbuh berkembang dan menguat bisa juga menyusut dan bahkan menjadi tertutup yang berakibat buta hati.

Faktor-faktor yang menumbuhkan dan menguatkan kepekaan hati antara lain; al-Quran, menjauhi kemauan hawa nafsu, mencintai Allah, menjauhi dosa, makanan halal, menjalankan kewajiban agama, ikhlas dalam niat dan beramal, membersihkan jiwa, berpikir, mengingat Allah, mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi...

Ayatullah Javadi Amoli mengatakan, "Makanan halal menjadikan hati bercahaya dan meningkatkan kepekaan hati dan menjadikan seseorang lebih semangat dalam beribadah dan melakukan penghambaan kepada Allah." (Tasnim, Javad Amoli, jilid 9, hal 500 dinukil oleh Bashirat, hal 99)

Sebaliknya faktor-faktor yang menghalangi pertumbuhan kepekaan hati antara lain; lalai, cinta dunia, menuruti hawa nafsu dan syahwat, hati yang kotor, dosa, fanatik, kebodohan.

Terkait menuruti hawa nafsu, Di dalam surat Kahfi: 28, Allah Swt melarang Rasulullah agar tidak mengikuti orang-orang menuruti hawa nafsunya dan berfirman:

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas."

Wallaahu A'lam

Oleh: Emi Nur Hayati