Search

Thursday, February 7, 2013

Nasihat Imam Ridha as Kepada Pengikut Ahli Bait


Imam Ridha as dalam sebuah nasihat bijak kepada para pengikut Ahli Bait meminta mereka agar meninggalkan debat sia-sia yang tidak ada untungnya bagi mereka dan lebih baik bersikap diam.

Abdul Azhim Hasani termasuk perawi terpercaya dan pecinta Ahli Bait as. Sekaitan dengan dirinya, Imam Hadi as pernah berkata, "Sesungguhnya engkau adalah pecinta kami."

Suatu hari Imam Ridha as melihat Abdul Azhim Hasani dan mengajarkannya beberapa nasihat bijak agar menyampaikannya kepada para pengikut Ahli Bait. Isi nasihat Imam Ridha as itu sebagai berikut:

"Wahai Abdul Azhim! Sampaikan salamku kepada para pecinta Ahli Bait dan katakan kepada mereka:

1. Jangan beri jalan kepada setan ke dalam hati.

2. Hendaknya jujur dalam berucap dan menjadi orang yang amanah.

3. Tinggalkan debat yang sia-sia dan tidak ada untungnya bagi mereka dan lebih baik bersikap diam.

4. Memperhatikan dan bersilaturahmi dengan mereka. Karena perbuatan ini membuat mereka lebih dekat kepada saya.

5. Jangan sampai mereka saling bermusuhan dan berkata buruk. Karena saya berjanji barangsiapa yang melakukan pekerjaan ini dan mengganggu seorang pecintaku atau membuatnya marah, saya memohon kepada Allah Swt agar menyiksanya dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.

6. Katakan kepada mereka, "Demikianlah Allah mengampuni mereka yang berbuat baik dan memaafkan kesalahan mereka, kecuali di antara mereka ada yang berbuat syirik atau mengganggu para pecintaku atau dengki terhadap mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memaafkannya, sehingga mengubah perbuatan buruknya dengan kebaikan. Kapan saja ia meninggalkan perbuatan buruk ini, ampunan Allah akan meliputinya. Bila tidak, maka ruh iman akan keluar dari hatinya, terpisah dari wilayah kami dan tidak ada manfaatnya wilayah kami baginya. Wa'udzubika Min Dzalik.

(Al-Ikhtishas dan Bihar al-Anwar)

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Al Saud Menguasai Hijaz


Telah dibahas sebelumnya mengenai kekalahan besar keluarga Saud dan Wahhabi dalam pertempuran melawan pasukan kesultanan Ottoman. Setelah kekalahan itu, Al Saud semakin melemah. Antara tahun 1235 H sampai 1300 H atau antara tahun 1820 sampai 1883 Masehi, sejumlah pembesar keluarga Saud yang berkuasa di Dir'iyyah dan wilayah-wilayah sekitarnya harus berhadapan dengan kekuatan Ottoman yang tak segan menumpas mereka. Dengan kata lain, dalam kurun 53 tahun itu, Al Saud dalam keadaan yang lemah.



Akhirnya, pada tahun 1318 H (1900 M) Abdul Aziz bin Abdur Rahman dari keluarga Saud berhasil mengalahkan musuh bebuyutannya yaitu keluarga Al Rashid dan merebut kekuasaan atas kota Riyadh dari tangan mereka. Keberhasilan itu semakin membuka jalan bagi Abdul Aziz dan keluarga Saud untuk memperluas kekuasaan di Jazirah Arabia. Seiring dengan itu, ajaran Wahhabi pun ikut berkembang.

Untuk memperluas wilayah kekuasaannya, Abdul Aziz bin Abdur Rahman yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Saud membentuk kelompok Ikhwanut Tauhid yang terdiri dari para loyalis Wahhabi. Abdul Aziz membuat sejumlah permukiman untuk tempat tinggal dan pusat kegiatan Ikhwanut Tauhid yang tak lain adalah lembaga keagamaan dan militer. Kelompok ini bertugas menyebarkan ajaran Wahhabi di Jazirah Arabia.

Sejarah menyebutkan bahwa berkuasanya Abdul Aziz tak lepas dari bantuan kerajaan Britania. Memang sejarah selalu menunjukkan adanya jejak kaki imperialis dalam setipa peristiwa yang mewarnai perjalanan suatu negeri dan bangsa. Agenda politik yang dirancang oleh imperialis biasanya dilaksanakan oleh anasir di dalam negeri yang berjiwa lemah dan ambisius. Anasir inilah yang membuka jalan bagi imperils untuk menjejakkan kaki di negeri mereka. Abdul Aziz Ibnu Saud adalah salah satu contoh anasir yang menjalin kerjasama dengan imperialis tua Inggris untuk mencapai kekuasaan dan mengalahkan musuh-musuhnya.

Saat itu, berbarengan dengan pecahnya Perang Dunia I yang juga melibatkan imperium Ottoman. Inggris melirik agenda memecah belah wilayah kekuasaan Ottoman dengan segala cara. Di Najed, Britania menemukan dua keluarga ambisius yang punya kekuasaan di Jazirah Arabia yang bisa diajak bekerjsama. Kedua keluarga itu adalah keluarga Saud di Najed dan keluarga Hashimi yang berkuasa di Hijaz yang meliputi Mekah dan Madinah.

Untuk memperlancar agenda imperialismenya dan memprovokasi bangsa Arab untuk melawan kesultanan Ottoman, Inggris bermain dengan keluarga Saud dan Hashimi yang saling bermusuhan. Pemerintah Inggris mengirim utusan khususnya bernama Thomas Edward Laurenz yang dikenal dengan nama Laurenz Arab kepada Syarif Husain, penguasa Hijaz, dan Harry St John Briger Philbee yang berpura-pura memeluk Islam dan menggunakan nama Abdullah kepada keluarga Saud. Kepada Syarif Husain, utusan Inggris menjanjikan kekuasaan atas seluruh Jazirah Arabia jika kesultanan Ottoman berhasil dikalahkan. Janji yang sama juga diberikan kepada Al Saud. Inggris pertama-tama mengakui kekuasaan Abdul Aziz Ibnu Saud atas kawasan Najed, Ahsa', Qasim dan Jubail.

Sesuai kesepakatan yang dibuat tahun 1333 H (1915 M) antara Inggris dan Abdul Aziz, Inggris menjanjikan bantuan finansial setiap tahunnya sebesar 60 ribu Lira kepada Al Saud dan membela keluarga Saud dari serangan pihak asing terhadapnya. Sebagai imbalan, keluarga Saud berkomitmen untuk tidak menyerang negeri yang dilindungi Inggris dan tidak memberi konsesi apapun kepada musuh-musuh Inggris.

Setelah berakhirnya Perang Dunia I, Syarif Husain bin Ali dari keluarga Hashimi menobatkan dirinya sebagai Sultan untuk bangsa Arab dan mengumumkan perang melawan Al Saud. Berkat bantuan Inggris, Abdul Aziz dan keluarga Saud berhasil mengalahkan Syarif Husain yang berkuasa di Hijaz. Beberapa tahun kemudian, Al Saud memperluas wilayah kekuasaannya dan berusaha menguasai Hijaz. Untuk itu, dia mengerahkan pasukan untuk menyerang Mekah dengan pasukan yang besar.

Tahun 1342 H (1923 M) sebelum sampai ke Mekah, pasukan Wahhabi terlebih dahulu mendatangi kota Thaif. Penguasa Thaif terlebih dahulu melarikan diri. Para pembesar kota Thaif akhirnya memutuskan untuk menyerah kepada pasukan Wahhabi dalam sebuah perjanjian damai. Kota inipun jatuh ke tangan Al Saud tanpa peperangan. Namun pasukan Wahhabi melanggar kesepakatan dan melakukan pembantaian massal dengan korban yang berjumlah hampir dua ribu orang, termasuk wanita, anak-anak dan para ulama. Salah satu ulama yang terbunuh dalam pembantaian ini adalah mufti mazhab Syafii di kota Thaif yang bernama Syekh Abdullah Zawari. Pasukan Wahhabi menyeretnya keluar dari masjid lalu membunuh dan mencincang tubuhnya. Kekejian pasukan Wahhabi ini mengulangi apa yang dilakukan para pendahulu mereka pada abad sebelumnya.

Tak lama kemudian, pasukan Abdul Aziz berhasil menundukkan kota Mekah. Pada awalnya Inggris menentang perluasan kekuasaan Al Saud ke wilayah Hijaz. Namun gerak laju pasukan Wahhabi yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Saud akhirnya direstui oleh kerajaan Britania. Sebab Inggris memang memerlukan kekuasaan boneka di kawasan Timur Tengah dan melirik kekayaan minyak yang tersimpan di negeri ini. Inggris pun mencampakkan keluarga Hashimi dan membiarkan Al Saud berkuasa atas seluruh Jazirah Arabia. Tahun 1351 H (1932 M) kerajaan Saud secara resmi berdiri dengan Wahhabisme sebagai dasar ajarannya. Dengan demikian, Wahhabisme yang merupakan aliran sesat berdiri kokoh di bawah naungan kekuasaan Al Saud.

Dengan berkuasanya Al Saud, ajaran Wahhabi semakin kokoh di negeri yang paling dihormati oleh umat Islam, yaitu Mekah dan Madinah. Untuk itu, Abdul Aziz menyebut dirinya sebagai Khadimul Haramain al-Syarifain. Jika sebelumnya Al Saud memperkaya diri dengan kekayaan hasil pembantaian dan penjarahan kini dengan ditemukannya minyak, kerajaan ini semakin kaya dengan hasil penjualan minyak. Tahun 1953, Abdul Aziz meninggal dunia dan takhta kekuasaan berpindah ke tangan anak-anaknya. Sesuai kesepakatan, putra-putra Abdul Aziz yang berjumlah 39 orang akan berkuasa secara berurutan.

Putra pertama yang bernama Faisal menjadi Raja Arab Saudi kedua setelah ayahnya. Dalam masa pemerintahan Raja Faisal, terjadi friksi tajam antara keluarga Saud dan keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab. Perselisihan itu berujung pada penyingkiran keluarga Al Syekh yang merupakan keturunan Ibnu Abdul Wahhab dari kursi kepemimpinan spiritual. Dengan tersingkirnya Al Syeikh aliran Wahhabi di dalam keluarga Saud berubah menjadi aliran politik. Dengan demikian persekutuan antara keluarga Saud dan keluarga Ibnu Abdul Wahhab yang sudah berjalan hampir 200 tahun pun berakhir. Di sisi lain, konflik internal di tubuh keluarga Saud meminta korban dan Raja Faisal pun terbunuh dalam sebuah insiden teror.

Setelahg Faisal, Khalid bin Abdul Aziz naik takhta. Masa kekuasaan Khalid berbarengan dengan kemenangan Revolusi Islam di Iran. Arab Saudi dan Wahhabi memandang peristiwa ini sebagai transformasi yang membahayakannya. Sebab, secara esensial, Revolusi Islam Iran adalah gerakan anti Amerika dan kontra kediktatoran. Revolusi Islam mengusung ajaran Islam murni yang bertolakbekalang dengan ajaran Wahhabisme. Tahun 1402 H (1982), Fahd bin Abdul Aziz dinobatkan sebagai raja. Dengan mengesankan diri sebagai pemimpin yang Islamis Fahd menjustifikasi semua kebijakan dan sepak terjangnya. Fahd ikut terlibat dalam memutar haluan perjuangan bangsa Palestina ke arah perdamaian dan ketundukan kepada rezim zionis Israel.

Pembantaian ratusan jamaah haji asal Iran di kota Mekah tahun 1408 H (1987 M) yang terjadi atas instruksi Amerika Serikat terjadi di zaman kekuasaannya. Tahun 1426 H (2005 M) dengan kematian Fahd, Abdullah bin Abdul Aziz dinobatkan sebagai raja Arab Saudi. Dia juga memiliki rapor kinerja yang penuh noktah hitam diantaranya dukungan yang ia berikan kepada rezim Zionis Israel dalam agresinya ke Lebanon yang berujung pada pecahnya perang 33 hari, juga keterlibatan Arab Saudi dalam pembantaian rakyat Bahrain atau serangan ke wilayah Yaman.

Di bawah naungan kekuasaan Al Saud, Wahhabisme berkembang dengan adanya kucuran dana raksasa hasil penjualan minyak. Dengan dana itulah ajaran Wahhabi disebarluaskan lewat berbagai sarana media massa. Mereka juga berusaha menyebarkan ajaran lewat bantuan finansial dan sarana kesejahteraan di negara-negara muslim yang lemah dan miskin. Dengan cara itu mereka berharap bisa mendiktekan ajaran Wahhabisme yang penuh khurafat dan penyimpangan kepada umat Islam di berbagai penjuru dunia.