Telah
dibahas sebelumnya mengenai kekalahan besar keluarga Saud dan Wahhabi
dalam pertempuran melawan pasukan kesultanan Ottoman. Setelah kekalahan
itu, Al Saud semakin melemah. Antara tahun 1235 H sampai 1300 H atau
antara tahun 1820 sampai 1883 Masehi, sejumlah pembesar keluarga Saud
yang berkuasa di Dir'iyyah dan wilayah-wilayah sekitarnya harus
berhadapan dengan kekuatan Ottoman yang tak segan menumpas mereka.
Dengan kata lain, dalam kurun 53 tahun itu, Al Saud dalam keadaan yang
lemah.
Akhirnya, pada tahun 1318 H (1900 M) Abdul Aziz
bin Abdur Rahman dari keluarga Saud berhasil mengalahkan musuh
bebuyutannya yaitu keluarga Al Rashid dan merebut kekuasaan atas kota
Riyadh dari tangan mereka. Keberhasilan itu semakin membuka jalan bagi
Abdul Aziz dan keluarga Saud untuk memperluas kekuasaan di Jazirah
Arabia. Seiring dengan itu, ajaran Wahhabi pun ikut berkembang.
Untuk memperluas wilayah kekuasaannya, Abdul Aziz bin Abdur Rahman yang
lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Saud membentuk kelompok Ikhwanut
Tauhid yang terdiri dari para loyalis Wahhabi. Abdul Aziz membuat
sejumlah permukiman untuk tempat tinggal dan pusat kegiatan Ikhwanut
Tauhid yang tak lain adalah lembaga keagamaan dan militer. Kelompok ini
bertugas menyebarkan ajaran Wahhabi di Jazirah Arabia.
Sejarah menyebutkan bahwa berkuasanya Abdul Aziz tak lepas dari bantuan
kerajaan Britania. Memang sejarah selalu menunjukkan adanya jejak kaki
imperialis dalam setipa peristiwa yang mewarnai perjalanan suatu negeri
dan bangsa. Agenda politik yang dirancang oleh imperialis biasanya
dilaksanakan oleh anasir di dalam negeri yang berjiwa lemah dan
ambisius. Anasir inilah yang membuka jalan bagi imperils untuk
menjejakkan kaki di negeri mereka. Abdul Aziz Ibnu Saud adalah salah
satu contoh anasir yang menjalin kerjasama dengan imperialis tua Inggris
untuk mencapai kekuasaan dan mengalahkan musuh-musuhnya.
Saat itu, berbarengan dengan pecahnya Perang Dunia I yang juga
melibatkan imperium Ottoman. Inggris melirik agenda memecah belah
wilayah kekuasaan Ottoman dengan segala cara. Di Najed, Britania
menemukan dua keluarga ambisius yang punya kekuasaan di Jazirah Arabia
yang bisa diajak bekerjsama. Kedua keluarga itu adalah keluarga Saud di
Najed dan keluarga Hashimi yang berkuasa di Hijaz yang meliputi Mekah
dan Madinah.
Untuk memperlancar agenda imperialismenya
dan memprovokasi bangsa Arab untuk melawan kesultanan Ottoman, Inggris
bermain dengan keluarga Saud dan Hashimi yang saling bermusuhan.
Pemerintah Inggris mengirim utusan khususnya bernama Thomas Edward
Laurenz yang dikenal dengan nama Laurenz Arab kepada Syarif Husain,
penguasa Hijaz, dan Harry St John Briger Philbee yang berpura-pura
memeluk Islam dan menggunakan nama Abdullah kepada keluarga Saud. Kepada
Syarif Husain, utusan Inggris menjanjikan kekuasaan atas seluruh
Jazirah Arabia jika kesultanan Ottoman berhasil dikalahkan. Janji yang
sama juga diberikan kepada Al Saud. Inggris pertama-tama mengakui
kekuasaan Abdul Aziz Ibnu Saud atas kawasan Najed, Ahsa', Qasim dan
Jubail.
Sesuai kesepakatan yang dibuat tahun 1333 H
(1915 M) antara Inggris dan Abdul Aziz, Inggris menjanjikan bantuan
finansial setiap tahunnya sebesar 60 ribu Lira kepada Al Saud dan
membela keluarga Saud dari serangan pihak asing terhadapnya. Sebagai
imbalan, keluarga Saud berkomitmen untuk tidak menyerang negeri yang
dilindungi Inggris dan tidak memberi konsesi apapun kepada musuh-musuh
Inggris.
Setelah berakhirnya Perang Dunia I, Syarif
Husain bin Ali dari keluarga Hashimi menobatkan dirinya sebagai Sultan
untuk bangsa Arab dan mengumumkan perang melawan Al Saud. Berkat bantuan
Inggris, Abdul Aziz dan keluarga Saud berhasil mengalahkan Syarif
Husain yang berkuasa di Hijaz. Beberapa tahun kemudian, Al Saud
memperluas wilayah kekuasaannya dan berusaha menguasai Hijaz. Untuk itu,
dia mengerahkan pasukan untuk menyerang Mekah dengan pasukan yang
besar.
Tahun 1342 H (1923 M) sebelum sampai ke Mekah,
pasukan Wahhabi terlebih dahulu mendatangi kota Thaif. Penguasa Thaif
terlebih dahulu melarikan diri. Para pembesar kota Thaif akhirnya
memutuskan untuk menyerah kepada pasukan Wahhabi dalam sebuah perjanjian
damai. Kota inipun jatuh ke tangan Al Saud tanpa peperangan. Namun
pasukan Wahhabi melanggar kesepakatan dan melakukan pembantaian massal
dengan korban yang berjumlah hampir dua ribu orang, termasuk wanita,
anak-anak dan para ulama. Salah satu ulama yang terbunuh dalam
pembantaian ini adalah mufti mazhab Syafii di kota Thaif yang bernama
Syekh Abdullah Zawari. Pasukan Wahhabi menyeretnya keluar dari masjid
lalu membunuh dan mencincang tubuhnya. Kekejian pasukan Wahhabi ini
mengulangi apa yang dilakukan para pendahulu mereka pada abad
sebelumnya.
Tak lama kemudian, pasukan Abdul Aziz
berhasil menundukkan kota Mekah. Pada awalnya Inggris menentang
perluasan kekuasaan Al Saud ke wilayah Hijaz. Namun gerak laju pasukan
Wahhabi yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Saud akhirnya direstui oleh
kerajaan Britania. Sebab Inggris memang memerlukan kekuasaan boneka di
kawasan Timur Tengah dan melirik kekayaan minyak yang tersimpan di
negeri ini. Inggris pun mencampakkan keluarga Hashimi dan membiarkan Al
Saud berkuasa atas seluruh Jazirah Arabia. Tahun 1351 H (1932 M)
kerajaan Saud secara resmi berdiri dengan Wahhabisme sebagai dasar
ajarannya. Dengan demikian, Wahhabisme yang merupakan aliran sesat
berdiri kokoh di bawah naungan kekuasaan Al Saud.
Dengan berkuasanya Al Saud, ajaran Wahhabi semakin kokoh di negeri yang
paling dihormati oleh umat Islam, yaitu Mekah dan Madinah. Untuk itu,
Abdul Aziz menyebut dirinya sebagai Khadimul Haramain al-Syarifain. Jika
sebelumnya Al Saud memperkaya diri dengan kekayaan hasil pembantaian
dan penjarahan kini dengan ditemukannya minyak, kerajaan ini semakin
kaya dengan hasil penjualan minyak. Tahun 1953, Abdul Aziz meninggal
dunia dan takhta kekuasaan berpindah ke tangan anak-anaknya. Sesuai
kesepakatan, putra-putra Abdul Aziz yang berjumlah 39 orang akan
berkuasa secara berurutan.
Putra pertama yang bernama
Faisal menjadi Raja Arab Saudi kedua setelah ayahnya. Dalam masa
pemerintahan Raja Faisal, terjadi friksi tajam antara keluarga Saud dan
keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab. Perselisihan itu berujung pada
penyingkiran keluarga Al Syekh yang merupakan keturunan Ibnu Abdul
Wahhab dari kursi kepemimpinan spiritual. Dengan tersingkirnya Al Syeikh
aliran Wahhabi di dalam keluarga Saud berubah menjadi aliran politik.
Dengan demikian persekutuan antara keluarga Saud dan keluarga Ibnu Abdul
Wahhab yang sudah berjalan hampir 200 tahun pun berakhir. Di sisi lain,
konflik internal di tubuh keluarga Saud meminta korban dan Raja Faisal
pun terbunuh dalam sebuah insiden teror.
Setelahg
Faisal, Khalid bin Abdul Aziz naik takhta. Masa kekuasaan Khalid
berbarengan dengan kemenangan Revolusi Islam di Iran. Arab Saudi dan
Wahhabi memandang peristiwa ini sebagai transformasi yang
membahayakannya. Sebab, secara esensial, Revolusi Islam Iran adalah
gerakan anti Amerika dan kontra kediktatoran. Revolusi Islam mengusung
ajaran Islam murni yang bertolakbekalang dengan ajaran Wahhabisme. Tahun
1402 H (1982), Fahd bin Abdul Aziz dinobatkan sebagai raja. Dengan
mengesankan diri sebagai pemimpin yang Islamis Fahd menjustifikasi semua
kebijakan dan sepak terjangnya. Fahd ikut terlibat dalam memutar haluan
perjuangan bangsa Palestina ke arah perdamaian dan ketundukan kepada
rezim zionis Israel.
Pembantaian ratusan jamaah haji
asal Iran di kota Mekah tahun 1408 H (1987 M) yang terjadi atas
instruksi Amerika Serikat terjadi di zaman kekuasaannya. Tahun 1426 H
(2005 M) dengan kematian Fahd, Abdullah bin Abdul Aziz dinobatkan
sebagai raja Arab Saudi. Dia juga memiliki rapor kinerja yang penuh
noktah hitam diantaranya dukungan yang ia berikan kepada rezim Zionis
Israel dalam agresinya ke Lebanon yang berujung pada pecahnya perang 33
hari, juga keterlibatan Arab Saudi dalam pembantaian rakyat Bahrain atau
serangan ke wilayah Yaman.
Di bawah naungan kekuasaan
Al Saud, Wahhabisme berkembang dengan adanya kucuran dana raksasa hasil
penjualan minyak. Dengan dana itulah ajaran Wahhabi disebarluaskan
lewat berbagai sarana media massa. Mereka juga berusaha menyebarkan
ajaran lewat bantuan finansial dan sarana kesejahteraan di negara-negara
muslim yang lemah dan miskin. Dengan cara itu mereka berharap bisa
mendiktekan ajaran Wahhabisme yang penuh khurafat dan penyimpangan
kepada umat Islam di berbagai penjuru dunia.