Search
Saturday, February 16, 2013
Sayid Hasan Nasrullah: Berani Serang Lebanon, Israel Bakal Musnah
Sekjen Gerakan Perlawanan Islam Lebanon (Hizbullah), Sayid Hasan Nasrullah memperingatkan kepada Rezim Zionis Israel berbagai dampak dari setiap agresi ke wilayah Lebanon.
Seperti dilaporkan Fars News, Sayid Hasan Nasrullah Sabtu (16/2) di pidatonya bertepatan dengan acara peringatan para syuhada pemimpin muqawama mengatakan, "Bandara udara, pelabuan dan instalasi listrik Rezim Zionis Israel berada dalam target rudal dan roket Hizbullah. Dan setiap prediksi keliru dari pemimpin Tel Aviv akan berujung pada musnahnya rezim ilegal ini."
Sekjen Hizbullah terkait dukungan terhadap muqawama Palestina menandaskan, muqawama Lebanon adalah pelindung rakyat Palestina dan Israel setelah bertahun-tahun menjajah, dalam waktu dekat akan musnah.
Sayid Hasan Nasrullah menekankan bahwa muqawama akan menggagalkan proyek Israel Raya dan menghidupkan kembali harapan serta rasa optimis. "Muqawama Lebanon mendukung penuh muqawama Palestina hingga kubu ini semakin solid sehingga melalui muqawama bangsa Palestina mampu merebut kembali hak-hak, tanah air dan kehormatan mereka," tegas Sayid Hasan Nasrullah.
Sekjen Hizbullah di bagian lain pidatonya mengisyaratkan revolusi rakyat Bahrain dan mengungkapkan, "Kami memuji revolusi damai rakyat Bahrain dan berharap dialog nasional di negara ini mampu menghasilkan keputusan yang dikehendaki rakyat."
Sayid Hasan Nasrullah di kesempatan tersebut juga mengisyaratkan kondisi di Suriah dan mengatakan, setiap isu yang mendorong teralihkannya bentrokan Suriah ke Lebanon adalah salah dan tidak menguntungkan Beirut.
Sekjen Hizbullah seraya menolak tudingan keterlibatan muqawama di insiden teror terhadap wisatawan Israel di Bulgaria menegaskan, "Aksi media massa yang membersar-besarkan permusuhan terhadap Lebanon serta warga negara ini oleh sejumlah pihak Arab dan kubu internal Lebanon serta klaim pihak yang mengatakan Israel akan menyerang Lebanon, mereka ini telah memprediksikan perang besar bakal meletus dan sangat disayangkan aksi media ini yang ditindaklanjuti secara serius oleh negara Arab ternyata tidak dilakukan oleh Israel."
Sekjen Hizbullah di bagian lain pidatonya menyampaikan ucapan bela sungkawa atas syahidnya Hassan Shateri, ketua badan rekonstruksi Iran untuk Lebanon kepada bangsa Iran dan keluarga. "Kami mengucapkan terima kasih kepada mereka yang memiliki andil dalam mendukung muqawama Lebanon dan Palestina," tandas Sayid Hasan Nasrullah.
Perspektif Rahbar tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as (Bagian Kedua, Habis)
Wasiat-Wasiat Imam Ali as
Pertama dan terakhir dalam petuah Imam Ali as adalah takwa. Beliau
berpesan kepada kedua puteranya, "Anakku, jagalah dirimu baik-baik di
jalan Allah dan dengan nilai-nilai ilahi." Tema takwa kepada Allah tidak
membahas masalah takut kepada Allah Swt. Sebagian orang berpikir bahwa
takwa artinya takut kepada Allah. Takut kepada Allah Swt atau
khasyyatullah memiliki makna dan nilai sendiri. Sedangkan takwa ialah
berhati-hati dalam setiap langkah agar semua tindakan kita sejalan
dengan maslahat seperti yang diperintahkan Allah Swt. Takwa bukanlah
sesuatu yang bisa dibuang begitu saja oleh seseorang barang sejenak. Melepas takwa sama dengan menjerumuskan diri ke dalam jurang, dan untuk
kembali ke atas lagi memerlukan pegangan yang kuat. "Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya." (QS.7.21) Orang yang bertakwa ketika
merasa sedang mendapat bisikan dari setan tentu akan kembali kepada
dirinya sendiri dan menghimpun kewaspadaan. Setan tidak akan menjauhi
kita. Sebab itu, wasiat yang pertama ialah takwa.
Keniscayaan Takwa
Salah satu keniscayaan dari takwa ialah tidak memburu dunia. Imam Ali
as berpesan kepada kedua puteranya, "Jangan kalian mengejar dunia,
walaupun seandainya dunia mengejarmu." Ini adalah poin kedua menyangkut
berbagai keniscayaan dari takwa yang tentu jumlahnya banyak. Semua
kebaikan adalah keniscayaan dari takwa. Pesan Imam Ali as tadi tidak
mengatakan supaya dunia ditinggalkan melainkan jangan dikejar. Apa
gerangan arti dunia di sini? Dunia dalam pesan itu bukan berarti bahwa
kita tidak boleh memakmurkan bumi ini, bukan berarti kita tidak boleh
menghidupkan kekayaan Allah Swt di muka bumi. Memburu dunia ialah
berbuat dan bekerja semata-mata hanya untuk kenikmatan dan kesenangan
diri semata tanpa memikirkan kepentingan orang lain, masyarakat, dan
umat. Ini berbeda dengan memakmurkan karena yang dituju ialah maslahat
dan kesejahteraan umat. Memakmurkan, karena yang dipikirkan adalah umat,
maka orientasinya bukan lagi dunia, melainkan akhirat. Memakmurkan muka
bumi dan mensejahterakan umat bukanlah perbuatan mengejar dunia atau
duniawi. Tindakan duniawi yang dicela dan harus dijauhi ialah tindakan
menguras tenaga, pikiran, dan waktu hanya untuk kepentingan dan
kenikmatan diri sendiri. Duniawi yang dikutuk ialah perbuatan yang
menunjukkan bahwa kita diperbudak oleh egosentris kita.
Tapi tentu saja, duniawi di sini ada yang haram dan yang halal.
Artinya, tidak semua tindakan memikirkan diri sendiri itu haram. Ada
yang halal, tetapi halal jenis inipun hendaknya dihindari. Seseorang
akan beruntung apabila sesuatu yang secara lahiriah terlihat bernuansa
materi belaka, tetapi ternyata dikendalikan ke jalan Allah. Jika ini
diamalkan, maka yang dikejar justru akhirat. Perniagaan, misalnya, akan
menjadi sesuatu yang bersifat ukhrawi jika dilakukan untuk
menyejahterakan umat dan bukan untuk menimbun modal dan kekayaan untuk
diri sendiri. Semua kegiatan dan pekerjaan akan bersifat ukhrawi jika
dilakukan dengan motif demikian. Jadi, poin kedua ialah bahwa dunia
jangan sampai dikejar.
Pesan Imam Ali as tersebut
termanifestasi dengan sempurna dalam diri beliau sendiri. Kehidupan
beliau dapat disimpulkan dalam wasiatnya yang berbunyi, "Kalian jangan
kecewa jika dunia (dalam pengertiannya yang buruk) tidak menghampiri
kalian." Ini poin ketiga.
Poin berikutnya ialah pesan
beliau, "Katakan kebenaran." Artinya, ungkaplah kebenaran dan jangan
sampai ditutup-tutupi. Ungkaplah sedapat mungkin apa saja yang Anda
yakini sebagai kebenaran. Ketika ada orang-orang menyembunyikan
kebenaran dan adakalanya sambil memperlihatkan kebatilan atau mengganti
kebenaran dengan kebatilan, maka kebenaran tidak akan ‘tertindas' selagi
masih ada orang lain yang tampil sebagai pembela dan pengungkap
kebenaran. Kebenaran tidak akan terasing, dan di saat yang saat yang
sama, para penganut kebatilan tidak akan terlalu tamak dalam menumpas
kebenaran.
Kalimat berikutnya dalam pesan Imam Ali as,
"Berbuat sesuatu yang mendatangkan pahala." Artinya, jangan berbuat
sesuatu yang sia-sia, karena tindakan kita, usia kita, dan nafas kita
adalah satu-satunya modal kita. Modal ini jangan sampai dihamburkan
dengan sia-sia. Selagi masih ada umur, selagi nafas masih berhembus, dan
selagi tenaga masih kuat, lakukan segala sesuatu yang mendatangkan
pahala. Apakah pahala itu? Apakah arti pahala ialah bahwa wujud manusia
ini mesti dihargai dengan uang? Inikah pahala yang harus diraih untuk
usia yang sudah dilalui? Ataukah pahala ialah sanjungan dari orang lain?
Jawabannya tentu saja tidak. Imam Ali as berkata, "Bukankah tidak ada
harga untuk kalian kecuali surga, maka janganlah kalian jual diri kalian
dengan selain surga." (Nahjul Balaghah, hikmat 456).
Musuhi Penindas dan Bela Yang Tertindas
Imam Ali as berpesan, "Musuhi penindas dan belalah orang yang
tertindas." Yang dimaksud dengan memusuhi di sini ialah bahwa seseorang
harus berani menyatakan permusuhannya terhadap orang yang zalim. Tidak
cukup dengan hanya merasa benci dan tidak suka saja. Memperlihatkan
permusuhan gambarannya ialah seperti orang yang berani menarik dan
mencengkram bagian depan baju musuh dengan penuh rasa geram dan enggan
melepaskannya.
Sejak sepeninggal Imam Ali as sampai
sekarang, umat manusia menderita tak lain karena para penindas
terbiarkan berkeliaran. Perlu ada tangan-tangan keimanan yang berani
mencengkram bagian depan baju musuh agar dunia terbebas dan tidak terus
terseret ke lubang penderitaan. Di dunia ini, di mana ada kezaliman di
situ pasti ada penindas. Nah, di situ kita harus menjadi musuhnya. Tapi
ini bukan berarti kita langsung main terjang, menyatroni, dan
mencengkram leher musuh. Yang dimaksud ialah bahwa selagi ada
kesempatan, kita harus menunjukkan permusuhan kita terhadap penindas,
dan jangan disembunyi-sembunyikan. Kalau permusuhan ini tidak dapat
diungkapkan terhadap penindas dari dekat, maka ungkapkan dari jauh. Di
masa sekarang, coba lihat betapa mengenaskannya dunia dan nasib umat
manusia akibat tidak diamalkannya pesan Imam Ali as tersebut. Betapa
pedihnya nasib bangsa-bangsa dunia, khususnya umat Islam. Seandainya
pesan itu diamalkan, kezaliman tidak mungkin terjadi sebanyak sekarang.
Kemudian Imam Ali as menyatakan belalah atau bantulah orang yang
tertindas. Beliau tidak mengatakan jadilah simpatisan orang yang
tertindas, melainkan belalah dan tolonglah orang tertindas selagi kamu
mampu dengan berbagai cara. Pesan ini memang ditujukan kepada kedua
putera beliau, Imam Hasan dan Imam Husain, tetapi pada prinsipnya pesan
ini adalah untuk semua orang.
Pada kalimat-kalimat
berikutnya, Imam Ali as memperluas jangkauan orang-orang yang dipesan
dengan mengatakan, "Aku berpesan kepada kalian berdua, kepada semua
anak-anakku, keluargaku, dan kepada siapa saja yang terjangkau oleh
surat wasiatku." Dengan demikian, Anda yang kini membaca wasiat ini juga
merupakan orang yang mendapat pesan penting dari Imam Ali as. Beliau
seakan mengatakan, "Aku wasiatkan kepada kalian semua." Apa yang beliau
wasiatkan tak lain adalah ketakwaan. Awal dan akhir wasiat beliau adalah
takwa.
Pesan berikutnya ialah "Tatalah urusan (amr)
kalian." Apa yang dimaksud dengan penataan urusan (amr bentuk tunggal,
bukan jamak)? Apakah yang dimaksud adalah bahwa semua urusan dalam hidup
ini harus tertata sedemikian rupa? Bisa jadi maknanya memang demikian.
Tapi mengapa beliau tidak menyebutkan urusan-urusan (umuur; bentuk jamak
dari amr)? Ini berarti bahwa yang dipesan beliau agar tertata,
terprogram, dan termenej adalah satu urusan tertentu, yaitu satu urusan
yang menjadi milik umat secara kolektif, dan itu ialah pemerintahan
Islam. Dengan demikian artinya ialah bahwa berbuatlah, bekerjalah, dan
berperilakulah sesuai dengan apa yang terbaik untuk pemerintahan.
Baik Dengan Sesama
Prinsip ketiga pada bagian kedua wasiat Imam Ali as ialah "Rukunkanlah
antara sesama." Beliau berpesan agar solidaritas dan persatuan terus
dijaga dengan berusaha menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan
pertikaian dan perpecahan. Dalam pesan ini Imam Ali as menyebutkan hadis
Nabi Saw yang memang menjadi sandaran Imam Ali as.
Merukunkan atau mendamaikan antarsesama (solah dzat al-bain)
ditekankan sedemikian rupa bukan berarti lebih penting daripada pesan
tentang penataan urusan (tata pemerintahan), melainkan karena kekompakan
adalah masalah yang sangat rawan. Sebab itu, dalam pesan kepada kedua
puteranya, Imam Ali as mengutip hadits Nabi Saw dengan berkata,
"Sesungguhnya saya mendengar ucapan kakek kalian, Nabi Muhammad Saw,
bahwa berbuat baik dan tulus kepada sesama lebih baik dari semua shalat
dan puasa." Kita memang harus shalat dan berpuasa, tetapi ada yang lebih
baik dari keduanya, yaitu berbuat baik dan rukun dengan sesama. Jadi,
jika di suatu tempat ada pertikaian di tengah umat, maka kita harus
mendamaikan dan merukunkannya. Tindakan ini lebih baik daripada shalat
dan puasa.
Peduli Kepada Anak Yatim
Setelah beberapa kalimat singkat tadi, Imam Ali as berkata singkat
lagi, tetapi dengan suara yang lebih parau dan dalam, "Allah, Allah
bersama anak-anak yatim." Kata-kata "Allah, Allah" di sini tidak ada
padanannya dalam bahasa Persia. Jika hendak kita terjemahkan maka harus
kita katakan bahwa jiwamu dan "jiwa" Tuhan ada dalam diri anak-anak
yatim. Ini berarti bahwa kita harus sedapat mungkin peduli kepada
anak-anak yatim. Mereka jangan sampai terlupakan.
Perhatikan betapa seorang humanis, teolog, dan psikolog sebesar Imam Ali
a.s sedemikian peduli kepada nasib anak yatim. Kepedulian kepada mereka
bukan merupakan satu bentuk perhatian yang bersifat pribadi dan
bermotif perasaan biasa. Seorang bocah yang kehilangan ayah adalah sosok
manusia yang kehilangan salah satu sandaran yang paling primer dalam
memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan ini sedapat mungkin harus ditutupi.
Kebutuhan ini tak dapat ditutupi sepenuhnya, tetapi setidaknya mereka
jangan sampai terlantar. Kata Imam Ali as selanjutnya, "Jangan sampai
mereka disia-siakan." Ini berarti bahwa kepedulian kepada mereka jangan
sampai bersifat temporal; kadang peduli dan kadang tidak. Perhatian
harus diberikan secara permanen. "Jangan sampai mereka terlantar
sementara kalian ada," lanjut Imam Ali as. Dengan kata lain, mereka
jangan sampai terlantar sedangkan kalian tahu. Kalian boleh sibuk dengan
urusan kalian, tapi jangan sampai lupa dengan kondisi dan nasib mereka.
Perhatikan Hak Tetangga
Imam Ali as kemudian melanjutkan dengan kata-kata, "Allah, Allah
bersama tetangga kalian." Masalah tetangga juga jangan diremehkan. Ini
adalah masalah yang sangat penting dan merupakan satu ikatan sosial yang
sangat diperhatikan oleh Islam sesuai dengan tuntunan fitrah manusia.
Peradaban yang meremehkan masalah ini sudah tentu jauh dari tuntunan
fitrah manusia. Tetangga harus diperhatikan bukan saja dari segi ekonomi
dan keuangan -walaupun memang sangat penting-, tetapi dari segenap
aspek kemanusiaannya. Kerukunan dan keharmonisan di tengah masyarakat
banyak mengobati berbagai penyakit kronis. "Sesungguh mereka (tetangga)
adalah wasiat Nabi kalian. Nabi as selalu berwasiat tentang mereka
sampai-sampai kami mengira ada ketetapan warisan untuk mereka." lanjut
Imam Ali as.
Pentingnya Al-Quran
Imam Ali as melanjutkan, "Allah, Allah bersama al-Quran. Jangan sampai
orang lain (yang tidak beriman kepada al-Quran) lebih unggul daripada
kalian dalam beramal sesuai al-Quran." Hal seperti ini justru terjadi.
Orang lain bisa berjaya di dunia karena progresifitas mereka, kegigihan
mereka, etos kerja mereka, dan berbagai keistimewaan lain yang dicintai
oleh Allah Swt, bukan karena kebobrokan, kemabukan, dan kezaliman
mereka.
Baitullah
Imam Ali as berpesan lagi, "Allah, Allah bersama Rumah Tuhan kalian."
Artinya, jangan sampai Baitullah sepi sedangkan kalian ada. "Jika
Baitullah sampai ditinggalkan, maka tidak ada tenggang waktu lagi untuk
kalian," lanjut beliau. Maksudnya ialah bahwa kehidupan tidak akan
berlanjut jika Baitullah sampai ditinggalkan, tetapi ini ada
maksud-maksud lain dari ucapan tersebut.
Jihad di Jalan Allah
Imam Ali as juga berkata, "Allah, Allah bersama jihad dengan harta
kalian, diri kalian, dan lisan kalian di jalan Allah." Beliau berpesan
agar jihad dengan harta, jiwa, dan lisan jangan sampai ditinggalkan.
Selagi masih berpegang pada prinsip jihad, umat Islam senantiasa
bermartabat di dunia, tetapi jika prinsip ini diabaikan, maka mereka
akan hina. Jihad sesuai dengan batas-batas yang ditetapkan oleh Islam
bukanlah kezaliman. Jihad tidak mengajarkan pelanggaran dan penistaan
terhadap hak orang lain. Jihad bukan dalih untuk menebar pembunuhan di
sana sini. Jihad tidak mengajarkan pemusnahan orang-orang lain yang
non-Muslim. Jihad adalah hukum Allah Swt yang sangat agung. Jihad adalah
ajaran yang bertujuan mengangkat martabat bangsa-bangsa.
Imam Ali as kemudian berkata, "Kalian hendaknya menjalin hubungan dan
saling tolong satu sama lain, dan jangan sampai kalian saling bertolak
berpaling dan putus hubungan. Jangan pula kalian meninggalkan amar
makruf nahi munkar sehingga orang yang buruk berkuasa atas kalian lalu
kalian berdoa (agar dibebaskan dari kejelelekan), dan doa kalian pun
tidak dikabulkan."
Petikan khutbah Jumat Rahbar pada 4/03/1994 - 21 Ramadhan 1414 H
Kewajiban dan TanggungJawab Mengenal Pemerintahan Imam Ali as
Mempelajari dan mengambil hikmah dari perjalanan hidup Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib as bukan berarti bahwa kita harus berbuat sesuatu
yang setara dengan beliau. Tak satupun orang yang dapat menggapai
tingkatan yang setara dengan beliau. Memetik pelajaran dari beliau ialah
bahwa setiap orang dalam sistem pemerintahan Republik Islam di mana
saja dia bekerja tidak boleh berhenti dari proses pelatihan dan
penataran. Jangan sampai lupa bahwa apapun yang dikerjakan tak lain
adalah demi keridhaan Allah Swt. Tanggungjawab yang diterima dan gerakan
apa pun juga harus demi keridhaan Allah Swt.
Segala
sesuatu akan menjadi mudah bagi orang yang bertutur kata, bekerja, dan
mengemban tanggungjawab demi keridhaan Allah Swt. Karena merasa
segalanya hanyalah demi Allah Swt, maka hawa nafsu tidak akan ikut
campur tangan. Sebab itu, seseorang akan dapat menerima tanggungjawab
dengan senang hati, melepasnya pun juga dengan senang hati, begitu pula
dalam bertindak dan berkata. Apa harus dikatakan akan dapat dia nyatakan
dengan mudah, begitu pula sebaliknya. Dengan motivasi keridhaan Allah
Swt, tak ada yang dikhawatirkan dalam mengambil keputusan, dalam
menghadapi resiko diracun, dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia,
dan dalam menghadapi para adidaya.
Faktor yang selalu
menyulitkan kita adalah hawa nafsu kita, ambisi kita, dan
perhitungan-perhitungan materialistik kita. Ketika ego, keakuan, dan
hawa nafsu sudah tidak ada maka segala pekerjaan besar akan menjadi
kecil dan mudah. Tataplah kehidupan Imam Ali as jika ingin melihat
lembaran terang dari sebuah pengalaman yang agung dan cemerlang. Beliau
dapat melepas sesuatu dengan mudah jika itu memang harus dilepas,
sebagaimana beliau dapat menerima sesuatu yang memang sudah merupakan
kewajibannya untuk menerima. Era pemerintahan beliau yang bisa dikatakan
sarat dengan peperangan justru karena kewajibannya membela agama dan
melawan musuh-musuh agama. Seandainya yang menjadi motivasi adalah hawa
nafsu dan kepentingan pribadi, maka kisahnya akan lain. Tidak ada motif
pribadi. Sebaliknya, jiwanya selalu siap dikorbankan asalkan misi dan
cita-citanya bisa tercapai.
Petikan khutbah Rahbar dalam pertemuan dengan para pejabat pemerintah dan Angkatan Bersenjata Iran pada 09/06/1993
Keteladanan Pemerintahan Imam Ali as
Pemerintahan Imam Ali as menjadi contoh yang harus diikuti dalam upaya
menegakkan keadilan, membela kaum tertindas, menghadapi kaum zalim, dan
memperjuangkan hak asasi dalam kondisi apapun. Semua itu tidak akan
lapuk ditelan masa. Dalam berbagai kondisi saintifik dan sosial apapun
jika ingin bernasib baik dan sentosa, harus meneladani beliau. Ini bukan
berarti kita akan meniru metode birokrasi zaman dahulu lalu kita
katakan bahwa metode itu untuk setipa terus berkembang. Yang kita
inginkan ialah mengikuti arah dan haluan pemerintahan Imam Ali as yang
sudah pasti berlaku selama-lamanya.
Membela kaum
tertindas adalah satu poin cemerlang. Begitu pula semangat melawan
kezaliman dan menolak praktik suap dari para arogan. Ini adalah
nilai-nilai yang tidak mungkin akan padam di dunia. Ini adalah
nilai-nilai yang tetap akan berlaku di segala kondisi dan keadaan.
Karena itu nilai-nilai ini harus dianut dan terus diperjuangkan. Inilah
yang disebut fundamental. Jargon fundamentalisme ialah paham yang
konsisten kepada nilai-nilai universal, abadi, dan tak kenal
kadaluwarsa. Konsistensi inilah yang ditentang habis-habisan oleh kaum
arogan dan adidaya.
Mereka gusar menyaksikan
pemerintahan Islam di Iran tampil sebagai negara yang berpihak kepada
nasib bangsa-bangsa semisal Palestina dan Afghanistan serta tidak kenal
kata kompromi dengan rezim-rezim kotor dan penindas di dunia.
Fundamentalisme inilah yang memang berbahaya bagi kaum arogan dan
adidaya dunia. Kondisi seperti inilah yang membuat Imam Ali as dulu
sering terlibat peperangan. Dan sepak terjang kita selaku pengendali
pemerintahan juga harus demikian.
Imam Ali as juga
merupakan orang yang terbiasa dengan penampilan sebagai orang yang
paling fakir di tengah masyarakat. Beliau sendiri pernah berkata,
"Beginilah aku hidup walaupun aku adalah pemimpin kalian." Kepada Ustman
bin Hunaif beliau berkata, "Kamu tidak bisa hidup seperti aku, tetapi
bantulah aku dengan sikap wara' dan kegigihan." Ini adalah materi yang
kini dikatakan oleh Imam Ali as kepada kita semua. Jauhilah kesalahan,
dosa, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Berusahalah
sedapat mungkin mendekati perilaku Imam Ali as.
Menerapkan keadilan, membela kaum tertindas, dan melawan penindas
siapapun orangnya adalah gerakan yang sangat penting bagi Imam Ali as.
Dalam membela kaum tertindas, Imam Ali as tidak mensyaratkan apakah yang
tertindas Muslim atau tidak. Padahal beliau adalah orang yang paling
konsisten pada Islam, paling beriman, dan tokoh terbesar dalam
perjuangan pembebasan Islam.
Ketika kita mengingat
kebesaran Imam Ali as, sasarannya adalah perilaku kita sendiri. Kita
tidak bisa sering berpesan kepada orang lain agar berperangai seperti
Imam Ali as. Sekarang kita adalah orang yang paling bertanggungjawab dan
mengemban kewajiban dalam pemerintahan Republik Islam. Kita berharap
para pejabat Republik Islam bisa mendapat taufid untuk mengikuti jejak
Imam Ali as dan berjalan di atas garis haluan beliau. Tapi tentu, sangat
berat tantangan yang dihadapi Imam Ali as dalam menempuh jalannya.
Dalam doa Kumail yang diucapkan oleh Imam Ali as, terbayang betapa
paraunya ratapan beliau kepada Allah Swt. Beliau antara lain mengadu,
"Ilahi, junjunganku, dan pemilik urat nadiku... Wahai Engkau yang
menjadi tumpuanku dalam mengadukan keadaanku." Betapa remuk redamnya
hati beliau ketika meratap kepada Yang Maha Kuasa. Berat sekali beban
yang ada di pundak beliau karena besarnya tanggungjawab dalam berbagai
persoalan sosial dan masyarakat, masalah masa depan agama, masalah
haluan religius dalam pemerintahan Islam. Dan betapapun beratnya, Imam
Ali as sedikitpun tidak pernah berlepas diri dari tanggung jawab
itu.
Petikan khutbah Jumat Rahbar pada 4/03/1994 - 21 Ramadhan 1414 H
Perspektif Rahbar tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as (Bagian Pertama)
Derajat Suci Imam Ali as
Pada dimensi spiritual dan malakut, ada serangkaian keagungan Imam Ali
as yang tentu sulit bagi kita untuk menjangkaunya dengan pemahaman kita
yang terbatas. Pengetahuan kita tidak akan dapat meliput secara memadai
hakikat-hakikat yang terpendam di kedalaman batin dan jatidirinya, yaitu
hakikat-hakikat yang memancar dan kemudian mengalir dari lisannya yang
mulia, hakikat kedekatannya dengan Allah, kekuatan zikirnya kepada Allah
yang telah menata semua perilaku, tutur kata, dan segenap keadaanya.
Meski begitu, kami tetap meyakini adanya hakikat tersebut, dan kami
bangga dengan ini karena keberadaannya telah kami dengar dari
sumber-sumber yang sudah terbukti kejujurannya.
Dari
sisi lain, ada pula serangkaian keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib as yang memang merupakan contoh dan teladan yang sudah menjadi
pusat perhatian segenap masyarakat sejarah. Keutamaan ini menjadi
barometer dan tolok ukur bagi manusia dalam berbuat sesuatu. Ia teladan
bukan hanya bagi kelompok tertentu, bahkan bukan pula teladan di mata
umat Islam saja. Amirul Mukminin memiliki daya tarik sedemikian besar di
atas panggung sejarah tak lain karena keutamaan-keutamaan tersebut.
Sebab itu, orang yang tidak menerima Islam atau pun tidak mempercayai
kepemimpinan (imamah)-nya tetap terkesima dan kagum terhadap keagungan
karakteristik Imam Ali as.
Atas dasar ini,
karakteristik Imam Ali as adalah teladan bagi semua orang, terutama bagi
kita yang sekarang memiliki pemerintahan Islam dan kita klaim sebagai
sebuah pemerintahan Alawi. Ungkapan rasa cinta dan kagum kepada Imam Ali
tak cukup dengan hanya menyebut Ali adalah Amirul Mukminin tanpa
mengikuti perilaku yang telah beliau ajarkan kepada kita dengan lisan
dan amal. Saya dan orang-orang seperti saya sebagai orang-orang yang
duduk di pemerintahan ini, kami jelas memiliki tanggungjawab yang lebih
besar, karena kami harus benar-benar meneladani Imam Ali as dan menjauhi
perbuatan yang dibencinya.
Bisa jadi orang
membanding-bandingkan siapa kamu dan siapa Amirul Mukminin; Kekuatan
beliau, kemampuan, keimanan, kesabaran, dan kekuatan ruhaninya,
sedangkan kamu siapa? Kata-kata seperti ini tentu saja benar. Kita jelas
bukan apa-apa bagi Imam Ali as. Bahkan kita tidak patut mengatakan
bahwa beliau lebih baik dan lebih mulia, sedangkan kita lebih rendah.
Pembandingan ini jelas salah. Imam Ali berada di atas bintang yang
tertinggi, sedangkan kita terperosok dalam kubangan lumpur yang kotor.
Dari segi apa saja kita melihat, akan tetap terlihat betapa jauhnya
jarak antara kita dan beliau. Namun begitu, kita tetap bisa memilih
arah, jejak, dan tujuan yang telah ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.
Keseimbangan Dalam Kepribadian Imam Ali as
Dari aspek manapun kepribadian Imam Ali as dilihat pasti menyuguhkan
keajaiban. Ini bukan ungkapan eksesif, melainkan ekspresi dari ketidak
berdayaan seseorang yang selama bertahun-tahun menghayati riwayat hidup
Amirul Mukminin Ali bin Thalib as. Ini adalah perasaan yang mengalir
dari dalam lubuk batin manusia ketika tidak berdaya menyelam jauh ke
dalam kepribadian agung beliau dengan hanya menggunakan media akal,
pikiran, dan penalaran biasa. Beliau adalah keajaiban dari segenap sisi.
Imam Ali as pada dasarnya adalah miniatur dari gurunya, Nabi Besar
Muhammad saw. Sungguhpun begitu, pribadi agung Imam Ali yang terpampang
di depan kita, Imam yang merasa kerdil dan hina di depan gurunya ini,
ketika kita tatap dengan penalaran manusiawi maka yang terlihat ternyata
adalah suatu kepribadian dengan level yang berada di atas manusia.
Salah satu poin yang menarik untuk dibicarakan menyangkut Amirul
Mukminin as ialah keseimbangan dalam kepribadian Amirul Mukminin as.
Dalam diri beliau terdapat berbagai karakter yang sepintas lalu tampak
paradoksal atau saling bertentangan satu sama lain. Sedemikian
harmonisnya karakter-karakter ini sehingga menyuguhkan nuansa keindahan
yang amat sangat. Manusia sulit membayangkan karakter-karakter ini bisa
berintegrasi dalam satu pribadi. Banyak sekali karakter-karakter seperti
ini yang tertanam dalam diri Imam Ali as, bukan hanya satu atau dua
karakter saja. Dan kita di sini hanya akan menyebut beberapa karakter
saja.
Sekedar contoh, kelembutan dan kasih sayang
jelas tidak singkrun dengan keteguhan dan ketegasan. Namun, dalam diri
Imam Ali, kelembutan dan rasa kasih sayang tertanam sedemikian sempurna
sehingga sulit untuk mencari tandingannya. Hal ini antara lain tergambar
dalam kisah Imam Ali as ketika mendatangi rumah seorang janda yang
memiliki seorang anak kecil. Di rumah itu beliau sudi membantu janda itu
menghidupkan tungku api, membuatkan roti dan makanan. Usai itu beliau
tak segan-segan menyuapi anak kecil janda itu dengan tangannya sendiri.
Tak cukup dengan itu, beliau selalu mengajak anak yatim itu bercanda dan
bermain agar terhibur. Beliau memanggul dan membawanya berjalan keluar
sehingga anak yatim itu benar-benar terhibur.
Sedemikian penyayangnya Imam Ali as sehingga seorang tokoh besar saat
itu berkata, "Aku melihat sendiri bagaimana beliau menyuapkan madu ke
mulut anak-anak yatim dan fakir dengan jemari beliau sendiri sehingga
aku berkata dalam hati betapa senangnya seandainya aku adalah anak
yatim." (Biharul Anwar juz 41 hal.29)
Karakter beliau
juga tergambar dalam peristiwa Nahrawan. Saat itu ada sejumlah orang
berniat melakukan aksi makar untuk menggulingkan pemerintahan Imam Ali
as dengan berbagai macam dalih yang mengada-ada. Ketika mereka berada di
hadapan Imam Ali as, beliau bernasihat kepada mereka, tetapi ternyata
sia-sia. Argumentasi beliau juga tak didengar. Mediator pun didatangkan,
tetapi hasilnya tetap nihil. Beliau lalu memberikan bantuan keuangan
disertai janji menarik, tetapi hasilnya juga nol.
Suasana tetap panas dan berujung pada kondisi frontal. Imam Ali as
lagi-lagi mencoba memberi nasihat, tetapi hasilnya masih saja nol. Di
situ Imam Ali as akhirnya tak menemukan cara lain kecuali tindakan
tegas, karena lawan-lawannya sudah terbukti berniat makar dan busuk.
Mereka adalah kaum Khawarij. Khawarij seringkali digambarkan secara
tidak tepat. Saya prihatin ketika dalam berbagai diskusi, syair, pidato,
film, dan lain sebagainya, Khawarij digambarkan sebagai kelompok yang
mengindahkan kesucian yang kering. Ini jelas salah. Kesucian apa yang
bisa didapat dari mereka. Di zaman Imam Ali as banyak orang yang bekerja
hanya untuk dirinya sendiri. Kalau ingin mengetahui siapa Khawarij,
maka contohnya ada di zaman kita sekarang, yaitu kelompok Munafikin
Khalq. Anda tentu ingat.
Kenali Khawarij secara lebih
baik. Mereka adalah orang-orang yang hanya menampilkan kulit luar agama,
ayat-ayat al-Quran, menghafal al-Quran dan Nahjul Balaghah. Mereka
terkesan berpegang teguh pada bagian-bagian internal agama, tetapi
kenyataannya menolak hakikat dan prinsip dari agama itu sendiri. Mereka
fanatik pada cara ini. Mereka menyebut-nyebut nama Allah, tetapi
kenyataannya mereka diperbudak oleh setan. Kelompok Munafikin juga
demikian. Pada saat tertentu mengaku konsisten pada agama, tetapi ketika
ada kesempatan untuk merongrong revolusi, melawan Imam Khomaini dan
pemerintahan Republik Islam, mereka tak segan-segan bekerjasama dengan
AS, Zionis, Saddam, dan siapa saja yang mau bekerja dan melayani ambisi
mereka. Khawarij adalah manusia jenis ini.
Amirul Mukminin bertindak tegas di depan mereka, dan inilah sosok Ali as; "Keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS:48:29)
Dua karakter yang berbeda telah tertuang dalam diri Imam Ali as dengan
begitu indah. Sosok manusia dengan kelembutan dan kasih sayang
sedemikian rupa tidak sampai hati menyaksikan nasib anak yatim sehingga
berkata: "Aku tidak akan pergi sebelum aku dapat membuat anak ini
tertawa." Namun, ketika berhadapan dengan manusia-manusia pandir yang
jahat dan tak segan-segan membunuh orang yang tak berdosa, beliau
berdiri tegak menghadang.
Contoh lain ialah menyangkut
wara' dan pemerintahannya. Ini sungguh menakjubkan. Apa arti wara'?
Wara' ialah orang yang senantiasa menghindari segala syubhat yang
menebar aroma penentangan terhadap ajaran agama. Bertolak dari sini, apa
lantas arti pemerintahan? Apa mungkin orang yang berada dalam
pemerintahan bisa menjadi orang yang wara'? Kita sendiri sekarang berada
dalam pemerintahan, sehingga terasa penting sekali ketika karakteristik
ini tertanam dalam diri seseorang. Secara umum, orang yang berada dalam
pemerintahan selalu mengadapi berbagai macam persoalan. UU yang
dijalankan sudah pasti membawa banyak keuntungan, tetapi bukan tak
mungkin seseorang akan terjebak pada perbuatan zalim terhadap orang
lain. Bagaimana seorang manusia dapat menjaga ketakwaan sedemikian rupa
di depan persoalan-persoalan rumit dan tak terkirakan itu?
Sepintas lalu pemerintahan tidak akan pernah harmoni dengan ketakwaan.
Tapi Amirul Mukminin ternyata dapat memadukan keduanya dengan sempurna,
dan ini sungguh menakjubkan. Beliau tidak pernah terikat pada orang.
Beliau dapat dengan mudah mencopot bawahannya jika memang dinilai lemah
dan tidak layak. Muhammad bin Abu Bakar, anak tirinya, beliau perlakukan
seperti anak sendiri dan sangat beliau cintai. Muhammad bin Abu Bakar
juga memandang Imam Ali as seperti ayahnya sendiri. Muhammad adalah
putera bungsu Abu Bakar dan merupakan salah satu murid dan pengikut
setia Imam Ali. Dia besar di bawah asuhan Imam Ali as.
Imam Ali as pernah mengirim Muhammad ke Mesir sebagai gubernur wilayah
ini. Tetapi di kemudian hari beliau melayangkan surat kepada Muhammad
berisikan pernyataan sebagai berikut; "Puteraku, aku menilai kamu tidak
layak menjabat di Mesir. Karena itu kamu aku tarik lagi dan aku gantikan
dengan Malik al-Asytar." Muhammad bin Abu Bakar tentu saja kecewa
dengan keputusan ini. Tapi ini tidak dipedulikan oleh Imam Ali as,
walaupun Muhammad adalah salah satu pribadi besar, cukup berjasa dalam
Perang Jamal, antusias dalam membaiat Imam Ali, serta merupakan putera
Abu Bakar dan adik Ummul Mukminin ‘Aisyah. Ketokohan Muhammad bukannya
tak bernilai di mata Imam Ali a, tetapi beliau tetap tidak mementingkan
masalah kekecewaan Muhammad bin Abu Bakar. Inilah bentuk ketakwaan dan
kewara'an dalam memerintah. Ketakwaan seperti ini sangat diperlukan bagi
manusia dan penting sekali bagi mentalitas pejabat pemerintah. Imam Ali
as telah memperagakan sifat wara' ini dengan sedemikian sempurna.
Contoh lain ialah kekuatan di sisi keteraniayaannya. Pada zamannya, tak
ada orang yang lebih perkasa dan pemberani di banding Imam Ali as.
Sampai akhir hayatnya, tak ada satupun orang yang mengaku berani
berhadapan dengan Imam Ali. Namun demikian, beliau ternyata adalah orang
yang paling teraniaya pada zamannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
dia adalah orang yang paling teraniaya sepanjang sejarah Islam.
Keperkasaan dan keteraniayaan adalah dua karakter yang bertolak belakang
satu sama lain. Orang kuat sepertinya mustahil akan teraniaya, tetapi
beliau ternyata malah teraniaya.
Contoh berikutnya
adalah kezuhudan di sisi progresifitas dan antusiasme untuk menggalang
pembangunan dan kemakmuran. -Mungkin dalam kitab Nahjul Balaghah masalah
zuhud adalag tema yang paling menonjol- Imam Ali as adalah sosok yang
paling zuhud dan tak berminat kepada kenikmatan duniawi. Tetapi di saat
yang sama, sepanjang 25 tahun kehidupannya sejak sepeninggal Rasulullah
saw sampai masa pemerintahannya, Imam Ali as tak jarang mengucurkan uang
pribadinya untuk menggalang kemakmuran. Beliau menggalakkan perkebunan,
pertanian, dan pengairan. Ajaibnya, semua itu beliau lakukan hanya di
jalan Allah Swt.
Patut diketahui, Imam Ali as pada
zamannya adalah salah satu orang yang paling besar penghasilannya.
Beliau sendiri pernah berkata, "Sedekahku hari ini seandainya aku
bagi-bagikan kepada Bani Hasyim niscaya akan menjangkau seluruh
anggotanya." (Biharul Anwar juz 41 hal. 43).
Keadilan
Imam Ali as juga sangat patut diteladani. Ketika kita mengatakan
keadilan melekat pada diri Imam Ali as, maka makna awalnya yang dapat
dimengerti ialah bahwa beliau menerapkan keadilan sosial di tengah
masyarakat. Ini memang keadilan, tetapi keadilan yang lebih bermutu lagi
ialah keseimbangan. "Langit dan bumi ditegakkan berdasarkan keadilan."
(‘Awali al-Laali juz 4 hal.103). Alam ciptaan tegak berdasarkan
keseimbangan. Inilah kebenaran. Keadilan dan kebenaran pada akhir adalah
satu makna dan satu hakikat. Karakteristik Imam Ali as adalah
manifestasi keadilan dan keseimbangan. Dalam diri beliau, segala
kebaikan telah ditata pada tempatnya masing-masing dengan begitu rapi
dan indah.
Keutamaan beliau yang lain ialah
keseringannya beristighfar. Doa-doa, munajat, dan istighfar beliau
sangat menarik. Beliau adalah pejuang yang terbiasa dengan medan laga
dan kancah politik. Hampir lima tahun beliau berkuasa atas negara-negara
besar pada masa itu. Wilayah pemerintahan beliau pada masa sekarang
mencakup sekitar 10 negara. Dengan wilayah teritorial sedemikian luas
beliau menjalani kesibukan yang sangat padat. Beliau adalah seorang
politisi besar dan handal. Saat itu, beliau pada dasarnya adalah orang
yang memerintah dunia. Beliau menggerakkan roda-roda besar dalam semua
lini politik, medan laga, masalah sosial, hukum dan hak masyarakat.
Semua ini jelas banyak menyita waktu. Kondisi demikian dapat mencetak
setiap orang menjadi manusia berdimensi tunggal. Begitu pula orang yang
hanya berkecimpung dalam doa dan ibadah. Kondisi kita juga demikian.
Kita berbuat sesuatu di jalan Allah. Tetapi Imam Ali as tidak berkata
dan berbuat demikian. Sebaliknya, beliau adalah pekerja keras dan gigih
sekaligus pengabdi Allah yang sejati.
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar pada 31/01/1997)
Karakteristik Pemerintahan Imam Ali as
Pertama, komitmen penuh kepada agama Allah Swt dan bersikukuh pada
perjuangan menegakkan agama Ilahi. Bukanlah pemerintahan Alawi jika
tidak berprinsipkan perjuangan menegakkan agama Allah Swt. Orang-orang
yang terjun ke medan laga dan terlibat dalam perang pertahanan suci Iran
melawan Irak selama delapan tahun tentu tahu persis apa yang sedang
saya bicarakan. Yang paling dipikirkan oleh setiap prajurit yang terjun
ke medan laga saat itu ialah bagaimana teknik menyerang musuh dan
bagaimana teknik bertahan dan membela diri.
Di tengah
kecamuk perang, seseorang pernah datang kepada Imam Ali as untuk
menanyakan suatu masalah Tauhid. Dia bertanya apa yang dimaksud dengan
kata-kata Ahad dalam surah al-Ikhlash. Ini tentu bukan masalah inti dan
primer, karena dia tidak menanyakan prinsip keberadaan Tuhan itu
sendiri. Dia menanyakan masalah yang masih bersifat sekunder sehingga
ada orang-orang datang menegurnya dan menganggap pertanyaan itu
dilontarkan bukan pada waktunya. Tetapi Imam Ali as sendiri lantas
berkata, "Biarkan saya menjawabnya. Kita berperang adalah dalam rangka
ini." Sikap Imam Ali as ini menandakan betapa peperangan yang diatur
oleh beliau serta darah yang mengalir di jantung Imam dan seluruh garis
besar pemerintahan beliau adalah demi menegakkan agama Allah Swt.
Pemerintahan apapun yang mendeklarasikan dirinya sebagai pemerintah dan
republik Islam tidak akan pernah menjadi pemerintahan Alawi selagi
tidak bertujuan menegakkan agama Allah, tidak peduli kepada pengamalan
agama masyarakat, tidak memikirkan akidah masyarakat, dan menganggap
semua ini tidak ada hubungan langsung dengan dirinya. Penegakan agama
Ilahi adalah ciri-ciri utama pemerintahahan Imam Ali. Ini adalah induk
dari segala keutamaan Imam Ali as lainnya dan menjalani kehidupan dan
menjalankan roda pemerintahan. Dari situ kemudian timbul keadilan dalam
pemerintahan beliau. Timbul pula semangat kerakyatan dan kepedulian
kepada masyarakat.
Karakteristik kedua pemerintahan
Imam Ali ialah keadilan secara mutlak. Yaitu keadilan yang sama sekali
tidak bersentuhan dengan kepentingan pribadi. Keadilan yang tidak
mungkin akan dibayangi oleh ambisi pribadi. Beliau pernah berujar, "Demi
Allah, jangan harap kalian dapat menyuruhku untuk merebut kemenangan
dengan cara berbuat zalim." (Tuhaful ‘Uqul hal. 185) Beliau enggan
merebut kemenangan melalui cara-cara aniaya. Ini jelas merupakan satu
pernyataan yang sangat cemerlang. Di kancah politik, olimpiade sains,
kancah pemilu, ataupun medan laga, bagaimana sikap Anda apabila
kemenangan bisa dicapai hanya dengan menempuh cara-cara aniaya dan
licik. Imam Ali a.s menyikapinya dengan mengatakan tidak sudi dengan
kemenangan seperti ini. Lebih baik kalah daripada harus menzalimi orang
lain.
Inilah keadilan yang dapat disadap dari lisan
Imam Ali as. Porosnya ialah penegakan keadilan secara mutlak. Keadilan
untuk semua orang dan semua lini; keadilan ekonomi, politik, sosial, dan
moral. Ini adalah salah satu kriteria keadilan dalam pemerintahan
Amirul Mukminin. Beliau tak sudi berbuat zalim, karena ia merupakan
beban bagi beliau. Beliau sendiri juga pantang dizalimi, walaupun beliau
harus kehilangan kepentingannya. Salah satu kezaliman terbesar ialah
diskriminasi, baik dalam pelaksaan hukum ataupun maupun dalam penerapan
ketetapan. Imam Ali as sangat pantang terhadap kezaliman ini.
Satu lagi keistimewaan pemerintahan Imam Ali ialah ketakwaan. Segala
sesuatu ada simbol atau tandanya. Apa makna takwa? Takwa ialah
kecenderungan yang sangat kuat untuk menempuh jalan yang benar dalam
melakukan segala tindakannya. Singkatnya adalah orang yang benar-benar
menjaga dirinya dalam masalah harta, harga diri orang lain, berhati-hati
dalam menentukan pilihan, dan berhati-hati dalam bertutur kata agar
tidak menyimpang dari jalurnya yang wajar dan benar.
Coba perhatikan kitab Nahjul Balaghah dari awal hingga akhir, maka akan
terlihat bagaimana Nahjul Balaghah dari ujung ke ujung sangat sarat
dengan anjuran untuk bertakwa dan bersuci diri. Tanpa ketakwaan,
seseorang tidak akan dapat menegakkan agama. Orang yang berlumur dosa
tidak akan dapat menggapai hakikat, apalagi menyelaminya. Ketakwaan
adalah salah satu karakteristik pemerintahan Imam Ali as, dan inipun
sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Dalam kamus logika Imam Ali
as, meski mengaku sebagai manifestasi kebenaran dan berhak atas
kekhalifahan, beliau memilih menyendiri dari keramaian. Beliau baru
tampil lagi setelah masyarakat melancarkan tekanan kuat agar beliau
memegang kendali pemerintahan. Tentang ini berliau berkata: "Seandainya
masyarakat tidak menekan saya, tidak pula bersikeras dan tidak
mengajukan aspirasi yang begitu besar, maka saya tidak akan duduk
sebagai khalifah." Memiliki kekuasaan dan kekuatan bagi Imam Ali as
tidak memiliki daya tarik sama sekali. Angan-angan untuk menjadi
penguasa tidak memiliki daya tarik bagi orang yang berhasil
mengendalikan hawa nafsunya. Dia hanya akan mencari-cari
kewajiban-kewajibannya dalam syariat. Beliau berjuang menegakkan
kebenaran. Rakyat sudah menyerahkan segala urusan kepada beliau dan
beliaupun menerima lalu menjaga pemerintahan.
(Petikan
Khutbah Rahbar di depan masyarakat yang sedang berkumpul memperingati
hari lahir Imam Ali bin Abi Thalib as. 21/09/2002)
Pembangkangan Terhadap Pemerintahan Imam Ali as
Kekuatan sekaligus keteraniayaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as
tergambar jelas dalam beberapa peristiwa pemberontakan. Dalam kurun
waktu kurang dari lima tahun masa pemerintahan Imam Ali as terdapat tiga
kelompok pembangkang yang disebut Qasithin, Nakitsin, dan Mariqin.
Seperti diriwayatkan, baik oleh Syiah maupun Sunni, Imam Ali as
mengatakan, "Aku diperintahkan untuk memerangi Qasithin, Nakitsin, dan
Mariqin. (Da-a'imul Islam juz 1 hal.388). Tiga kelompok ini mendapatkan
nama-namanya dari Imam Ali as sendiri. Qasitin artinya ialah kaum
penindas. Kosa kata qasatha - yaqsithu - yang berarti berbuat zalim atau
menindas ketika digunakan dalam bentuk tunggal (mujarrad) sama artinya
dengan kata-kata jaara - yajuuru dan dzalama - yadzhlimu. Namun, ketika
digunakan dalam bentuk tsulatsi maziid, yaitu aqstha - yuqsithu - dengan
wazan if'aal maka artinya justru ‘berbuat seimbang atau adil'. Sebab
itu, qisth dalam bentuk (wazan) if'aal berarti ‘adil', sedangkan ketika
diubah menjadi qasatha - yaqsithu maka artinya berbalik menjadi ‘berbuat
zalim' atau ‘menindas'. Demikian asal kata-kata qasithin, yang artinya
tak lain ialah kaum penindas.
Siapa kaum qashitin?
Mereka adalah sekelompok orang memeluk Islam hanya sebagai baju luar
belaka sebagai bentuk kamuflase dalam memburu ambisi. Sebab itu mereka
sangat memusuhi pemerintahan ‘Alawi. Apapun yang dilakukan Imam Ali as
untuk membenahi mereka selalu berakhir sia-sia. Dengan demikian, pada
prinsipnya mereka itu adalah kelompok yang sama sekali tidak menerima
pemerintahan Alawi. Mereka menginginkan adanya pemerintahan yang lain
dan itupun harus di tangan mereka. Dan naifnya, dunia Islam di kemudian
hari jatuh ke tangan mereka. Di zaman Imam Ali as mereka tak lain adalah
kelompok yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Kepada sebagian
sahabat Nabi mereka takzim dan simpatik. Di kemudian hari mereka pun
berkuasa dan lantas melakukan berbagai penindasan. Di zaman pemerintahan
Yazid terjadilah tragedi Karbala. Pemerintahan berlanjut ke tangan
Marwan, Abdul Maluk, Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafi, dan Yusuf bin Umar
as-Tsaqafi. Sejarah mencatat pemerintahan mereka dalam lembaran-lembaran
kelam dan sarat dengan adegan-adegan yang menggidikkan bulu roma.
Pemerintahan Hajjaj -yang mengerikan itu- misalnya, adalah pemerintahan
yang benihnya ditanam oleh Muawiyah dengan mengobarkan perang melawan
Amirul Mukminin Ali as. Sejak awal memang sudah dapat dibaca apa
sebenarnya tujuan yang mereka buru. Mereka hanya memburu pemerintahan
duniawi semata. Mereka menjadikan ego dan kepentingan pribadi sebagai
poros. Pola ini menjadi stereotipe pemerintahan Bani Umayyah secara
turun temurun. Kita di sini tentu saja tidak sedang membahas persoalan
akidah dan teologi. Kita semata-mata hanya membahas naskah sejarah,
sejarah secara umum, bukan sejarah Syiah semata. Tarikh Ibnu al-Atsir,
tarikh Ibnu Qutaibah, dan riwayat-riwayat sejarah lainnya yang kebetulan
mencatatnya dengan baik dan bahkan saya ingat betul. Tapi pada dasarnya
kita sedang membicarakan masalah-masalah yang sudah diakui oleh umat
Islam, dan bukan masalah pemikiran yang diperdebatkan oleh Syiah dan
Sunni.
Kelompok kedua yang memerangi Imam Ali adalah
Nakitsin yang artinya ialah kaum pengingkar janji. Maksudnya ialah bahwa
mereka telah mengingkari baiat. Mereka tadinya membaiat Imam Ali tetapi
kemudian melanggar baiat. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok
kedua ini tadinya adalah muslim dan merupakan golongan Imam Ali sendiri.
Namun, mereka ternyata juga memendam sifat ego sehingga hanya sudi
menerima pemerintahan Imam Ali as selagi mereka mendapatkan bagian yang
memuaskan dalam kekuasaan, selagi mereka diajak musyawarah, dilimpahi
tanggungjawab, diberi kekuasaan, dan harta benda yang masuk ke kantung
mereka tidak lagi diusik atau dipertanyakan.
Memang,
Saad bin Abi Waqqas dan beberapa tokoh lainnya sejak awal tidak berbaiat
kepada Imam Ali as. Tetapi, sejumlah tokoh sahabat lain termasuk,
Talhah dan Zubair, berbaiat kepada beliau. Sayangnya, selang tiga atau
empat bulan kemudian mereka menolak dan membangkang. Ini karena
pemerintahan Imam Ali bukanlah pemerintahan nepotis dan kumpulan para
kroni. Orang yang memerintah harus siap menanggalkan ego dan mengabaikan
haknya sendiri dan keluarganya. Para pendahulu Islam harus lebih
mengedepankan hak orang lain daripada haknya sendiri. Tidak ragu-ragu
dalam menerapkan hukum Ilahi.
Pemerintahan inilah yang
mengecewakan para lawan Imam Ali as. Mereka memilih keluar dari
pemerintahan beliau dan bahkan mengobarkan perang Jamal terhadap beliau.
Ini jelas petaka besar. Apalagi Ummul Mukminin Aisyah ikut memerangi
Imam Ali as. Tapi tentu saja Imam Ali as berhasil memenangi pertempuran
dan menjernihkan duduk persoalan. Banyak yang tewas dalam perang ini.
Inilah kelompok kedua yang selama beberapa waktu mengusik pemerintahan
Imam Ali as.
Kelompok ketiga, yaitu Mariqin, berarti
kaum yang melarikan diri. Dalam penamaan ini, keluarnya mereka dari
Islam digambarkan persis seperti anak panah yang melesat jauh dari
busurnya. Hanya saja, mereka tetap mengenakan jubah Islam dan selalu
membawa-bawa nama Islam. Merekalah yang juga disebut Khawarij. Mereka
adalah komoditas yang fondasinya hanyalah pemahaman-pemahaman menyimpang
dan beracun. Imam Ali as juga berhasil mengatasi mereka. Mereka kalah
telak melawan pasukan Imam Ali as dalam perang Nahrawan. Namun,
sisa-sisa mereka masih berkeliaran di tengah masyarakat hingga mereka
berhasil membunuh Imam Ali as.
Sebagian orang menyebut
Khawarij sebagai kelompok yang menjalankan agama secara kaku dan
kering. Ini tidak tepat, karena yang dibahas bukan soal kering atau
basahnya pola suatu kelompok dalam menjalankan ajaran agama. Ini tidak
ada sangkut pautnya dengan arti stigma Khawarij. Khawarij adalah
kelompok yang terjun ke lapangan hanya untuk melancarkan pemberontakan
dan menyulut api krisis. Masalah yang kita bahas adalah perang melawan
Imam Ali as, yaitu perang yang dilandasi dengan misi, media, dan tujuan
yang salah.
Buramnya Barisan Umat, Perbedaan Pemerintahan Ali as Dengan Pemerintahan Nabi Saw.
Perbedaan utama antara era pemerintahan Imam Ali as dan era
pemerintahan Nabi Muhammad Saw ialah bahwa pada era Nabi Saw barisan
yang ada sudah jelas; satu barisan kaum beriman dan yang lain barisan
kaum kafir. Keberadaan kaum munafik di tengah umat sering disebut dalam
al-Quran sebagai peringatan bagi umat Islam agar waspada. Peringatan
adalah untuk menguatkan mental umat Islam sekaligus melemahkan nyali
lawan. Jadi, di era pemerintahan Nabi Saw, segala sesuatu sudah terang;
satu kubu musuh yang terdiri atas kaum kafir, para taghut, dan
orang-orang jahiliah, sedangkan kubu lainnya terdiri atas kaum beriman,
pemeluk Islam, pengibar bendera tauhid dan spiritualitas.
Pada dua era yang berbeda ini, masyarakatnya tentu saja terdiri atas
berbagai watak dan tipe manusia. Tapi pada prinsipnya barisan mereka
sudah jelas. Berbeda dengan masyarakat pada era pemerintahan Imam Ali
as, barisan mereka buram, sebab pada kelompok kedua yang bernama
Nakitsin ada tokoh-tokoh sahabat ternama. Orang akan ragu atau bingung
dalam mengambil sikap ketika berhadapan dengan tokoh-tokoh semisal
Talhah dan Zubair. Zubair pada zaman Nabi Saw adalah salah satu nama
besar, anak dari bibi Nabi Saw, dan terhitung dekat dengan beliau. Tak
hanya itu, pasca wafat Nabi Saw, Zubair termasuk orang yang datang ke
Saqifaf Bani Saidah untuk membela Imam Ali as.
Tapi
inilah rupanya putaran dalam perjalanan hidup. Semoga kita semua dijaga
oleh Allah Swt dari buruknya suatu akibat. Manusia adakalanya mudah
terpancing oleh ambisi duniawi. Kondisi-kondisi tertentu dan
faktor-faktor profan mudah merasuk, memengaruhi, dan mengubah
kepribadian seseorang, tak terkecuali para pemuka dan apalagi orang
awam. Kondisi seperti ini menimbulkan situasi yang serba delematis pada
era Imam Ali. Sebab itu, tak terbayangkan lagi betapa cerdas dan
cemerlangnya pikiran orang-orang yang tetap teguh dan setia berada di
sisi Imam Ali as dan membelanya. Imam Ali as berkata, "Ilmu ini tidak
akan dapat dipikul kecuali oleh orang yang cerdas dan sabar." (Bihar
al-Anwar juz 34 hal. 249) Pada tahap awal kecerdasan memang sangat
diperlukan. Dalam kondisi demikian, bisa dibayangkan betapa runyamnya
konflik dan problema yang dihadapi Imam Ali as. Mereka yang memerangi
Imam Ali as adalah para penderita kedangkalan dalam berpikir.
Di awal-awal Islam, pikiran-pikiran menyimpang sering mencuat ke
permukaan, tetapi al-Quran secara tegas menolaknya, baik pada episode
Mekkah maupun pada episode Madinah. Surah al-Baqarah yang turun di
Madinah, banyak menjelaskan tantangan yang dihadapi Nabi saw ketika
berinteraksi dengan kaum munafik dan Yahudi. Al-Quran, bahkan
menyebutkan berbagai rincian masalah ini diantaranya pada surah
al-Baqarah ayat 104 yang berbunyi ‘jangan katakan; "Raa'iina", hal
itulah yang dilakukan yahudi Madinah dalam strateginya mengganggu
psikologi Nabi Saw. Surah al-A'raf yang turun di Mekkah juga menyebutkan
soal ini secara cukup rinci sambil memerangi khurafat.
Al-Quran menyebutkan masalah penghalalan dan pengharaman benda-benda
yang bersifat lahir seperti daging-daging tertentu maupun hal-hal yang
bersifat batin seperti berbohong dan berbuat sesuatu yang sia-sia. Allah
berfirman, "Katakanlah; Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi."
(QS.7.33) Hal-hal tersebutlah yang diharamkan Allah, bukan hal-hal yang
berkaitan bepergian ke Saibah, Buhairah, dan sebagainya yang
dibikin-bikin semaunya. Pikiran seperti ini gencar diperangi oleh Allah.
Uniknya, di era Imam Ali as, para pemberontak bahkan memakai al-Quran
untuk menjustifikasi tindakan mereka. Mereka mencari-cari celah dari
ayat-ayat al-Quran sehingga memperberat kesulitan yang dihadapi Imam Ali
as pada masa pemerintahannya yang relatif singkat.
Di
luar kubu-kubu tersebut terdapat kubu Imam Ali as sendiri. Kubu ini
sangat kuat karena di dalamnya terdapat orang-orang hebat semisal Ammar
bin Yasir, Malik al-Asytar, Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Abu Bakar,
Meitsam Tammar, dan Hujr bin Addi. Mereka adalah para tokoh mukmin yang
cerdas, tanggap, dan berperan besar dalam upaya mengarahkan opini
masyarakat. Mereka menyuguhkan berbagai adegan heroisme dengan begitu
menawan. Derita dan pahitnya gerakan perjuangan mereka menjadi seni
altruisme yang sangat romantis. Diantaranya ialah ketika bergerak menuju
Kufah dan Basrah. Saat Talhah dan Zubair mengadakan gerakan
pembangkangan dengan mendatangi Basrah dan Kufah, Imam Ali as mengirim
puteranya, Imam Hasan as, dan sejumlah sahabat Imam Ali as ke dua kota
ini. Sejarah mencatat bagaimana negosiasi dan argumentasi mereka dengan
warga di masjid mengalir dengan sangat indah dan memukau. Kepiawan
negosiasi dan ketajaman argumentasi mereka membuat pihak lawan terpojok
di mata publik sehingga mereka pun juga menjadi incaran utama serangan
pihak lawan. Pihak lawan mengincar Malik al-Asytar, Ammar bin Yasir, dan
Muhammad bin Abu Bakar. Mereka mengincar para kader Imam Ali as yang
sudah terbukti tangguh dan cerdas tersebut. Tak hanya sekedar
melemparkan tuduhan, pihak lawan bahkan mengincar nyawa mereka. Sebab
itu, sejumlah besar kader Imam Ali as gugur syahid. Ammar gugur dalam
pertempuran, Muhammad bin Abu Bakar dan Malik al-Asytar dibunuh melalui
intrik penduduk Syam. Sejumlah kader Imam Ali as masih tersisa, tetapi
kemudian dihabisi pula dengan cara yang lebih sadis.
Inilah kondisi kehidupan dan pemerintahan Imam Ali as. Kesimpulannya
ialah bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan yang kuat, tetapi di
saat yang sama telah menjadi obyek kezaliman sampai kemudian berhasil
menjadi pemenang. Imam Ali as berhasil menekuk lutut pihak lawan, tetapi
pada akhirnya beliau gugur sebagai syahid dan menjadi simbol perjuangan
dalam kanvas sejarah. Derita batin Imam Ali as menjadi bagian dari
kisah yang paling dramatis dalam sejarah.
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar di Teheran pada 08/01/1999)
Baca Juga :
Perspektif Rahbar tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as (Bagian Kedua, Habis)
Baca Juga :
Perspektif Rahbar tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as (Bagian Kedua, Habis)
LPPI Makassar Penebar Fitnah dan Perusak Pluralitas
Menurut Kantor Berita ABNA, setelah sebelumnya menyebar video rekayasa
untuk memperolok-olok ulama Iran, LPPI (Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam) Wilayah Indonesia Timur yang bermarkas di Makassar
kembali menyebar fitnah baru. Dalam salah satu postingannya, LPPI
Makassar yang diketuai H. Said Abdusshamad, Lc tersebut mengaitkan logo
dalam bendera nasional Republik Islam Iran dengan simbol agama Sikh.
Sekilas kedua gambar tersebut memang tampak sama namun ketika
diperhatikan lebih seksama akan Nampak dengan jelas perbedaan keduanya.
Dalam postingannya yang diberi tajuk, "Sejarah Desain Bendera Republik Syiah Iran", LPPI menulis beberapa pertanyaan yang perlu diberi tanggapan oleh tim redaksi ABNA.
Pertama, LPPI menulis, "Tak bisa dipungkiri, Syiah dengan negara Iran-nya telah memalingkan hati sebagian kaum Muslimin. Dulu, mereka mencintai dua kota suci Islam, Makkah dan Madinah, sehingga tiap kali mereka mengingatnya, mereka rindu untuk menziarahinya dengan tujuan umrah atau haji."
Tanggapan ABNA:
Siapa sebagian kaum muslimin yang dimaksud LPPI telah terpalingkan hatinya dari mencintai dua kota suci Islam Makah dan Madinah? Bagaimana LPPI bisa memastikan bahwa hati sebagian kaum muslimin itu telah berpaling? Apakah setiap mereka yang melakukan perjalanan ziarah ke kota-kota di Iran dan Irak telah berarti berpaling hatinya dari Makah dan Madinah?.
Kedua, LPPI menulis, "Namun dengan adanya Syiah dan juga dengan Republik Iran telah membuat sebagian dari mereka tersilaukan, kesatuan mereka terpecah. Kecintaan mereka terhadap dua kota suci Islam sedikit demi sedikit menjadi pudar. Digantikan oleh kota-kota 'suci' di Iran seperti Qom, Najaf dan Teheran. Setiap kali mereka ingat kepada 'kota-kota suci' itu, mereka niatkan untuk berangkat kesana."
Iran menjadi segalanya dalam hati mereka.
Tanggapan ABNA:
Pernyataan LPPI, "Kecintaan mereka terhadap dua kota suci Islam sedikit demi sedikit menjadi pudar" adalah pernyataan yang sarat dengan fitnah. Apakah jumlah Jemaah haji dan mereka yang umrah ke Haramain setiap tahunnya berkurang karena lebih memilih berziarah ke kota-kota yang dianggap suci di Iran?. Dilansir dari www.jurnalhaji.com, disebutkan jumlah peminat haji khusus terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan disebutkan, sejak beberapa tahun terakhir calon jamaah yang ingin berangkat dengan menggunakan jasa layanan haji plus juga harus masuk daftar waiting list sebagaimana pada layanan haji reguler. Pengguna jasa layanan haji plus harus menunggu antrian rata-rata 2-3 tahun sementara pengguna haji reguler sendiri masa tunggunya berkisar 4-12 tahun. Masa tunggu tersebut terpaksa diperlakukan karena pihak Arab Saudi hanya memberikan kuota satu persen saja dari total jumlah penduduknya di setiap Negara. Mengenai peminat umrah, situs tersebut menuliskan, Pada 2010, jumlah jamaah yang pergi umrah hanya ada 160 ribu orang. Tahun berikutnya, versi data Himpuh (Himpunan Penyelenggara Umroh dan Haji Indonesia ) ada 260 ribu orang. Sedangkan data dari kedutaan besar Indonesia ada 300 ribu. Dan tahun berikutnya tentu diperkirakan jumlah peminat akan menembus angka diatas 300 ribu.
Menyikapi fenomena tersebut http://suarapengusaha.com/ menurunkan berita, "Jumlah jamaah naik pesat pengusaha perjalanan haji umrah menjamur". Sementara muslimdaily.net melansir berita adanya peningkatan jamaah haji Cina yang meningkat pesat. Untuk tahun 2012, 3 juta muslim Cina berkeinginan menunaikan ibadah haji, namun yang bisa diberi izin oleh pemerintah Cina hanya 13.800 orang menyusul permintaan dari pihak Arab Saudi yang membatasi jumlah calon jamaah haji.
Disitus http://haji.kemenag.go.id/, berdasarkan laporan kementerian Haji Arab Saudi untuk tahun 2012 ada 5,5 juta orang yang melakukan umrah, sementara pada tahun 2005 hanya 2,5 juta peziarah. Jadi, dari mana LPPI bisa menyimpulkan bahwa hati sebagian umat Islam telah berpaling dari dua kota suci Makah dan Madinah dengan keberadaaan Syiah dan Iran sementara data-data yang ada menyebutkan jumlah kaum muslimin yang berminat untuk menziarahi dua kota suci itu setiap tahunnya semakin meningkat?. Kalau yang dimaksud LPPI sebagian kaum muslimin itu adalah umat Syiah, tentu LPPI harus menjilat ludahnya sendiri yang dalam beberapa tulisannya menyebutkan Syiah itu kafir dan bukan bagian dari umat Islam.
LPPI selanjutnya menulis, "Digantikan oleh kota-kota 'suci' di Iran seperti Qom, Najaf dan Teheran. Setiap kali mereka ingat kepada 'kota-kota suci' itu, mereka niatkan untuk berangkat kesana." Disini LPPI melakukan kesalahan fatal. Kota Najaf bukan di Iran, melainkan di Irak. Muslim Syiahpun tidak pernah menyebut Teheran sebagai kota suci. Yang disebut kota suci di Iran hanyalah Masyhad dan Qom. Masyhad disebut suci karena keberadaan makam Imam Ridha as (Imam kedelapan Syiah) dan Qom disebabkan karena di kota itu terdapat makam Sayyidah Fatimah Maksumah (Adik perempuan Imam Ridha as). Sangat disayangkan sebuah lembaga yang mengklaim diri sebagai lembaga penelitian dan pengkajian namun menuliskan artikel tanpa data dan fakta bahkan melakukan kesalahan yang sangat fatal. Apakah dasar LPPI menuliskan artikel-artikelnya adalah kebencian dan sikap permusuhan sehingga tidak lagi bisa berlaku adil? Semoga firman Allah SWT berikut bisa menjadi pengingat, "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Qs. Al-Maidah: 8).
Selanjutnya LPPI memosting beberapa gambar yang dicopy paste dari situs www.fnoor.com yang banyak memuat materi-materi yang menjelek-jelekkan Syiah dan Iran. LPPI hendak menyamakan logo Bendera Nasional Iran dengan simbol agama Sikh padahal tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Tentu saja yang lebih mengetahui sejarah dan makna logo bendera Iran adalah orang Iran sendiri.
Berikut kami nukil dari IRIB Indonesia yang pernah menurunkan artikel, "Sejarah Disain Bendera dan Lambang Republik Islam Iran". Artikel ini juga adalah bantahan atas postingan LPPI yang tidak memiliki unsur keilmiahan sama sekali.
Pasca kemenangan Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini ra mengeluarkan perintah untuk menghapus segala bentuk simbol rezim taghut dan menggantikannya dengan lambang dan simbol Islam-syiah. Salah satu perubahan penting adalah lambang dan bendera Republik Islam Iran.
Pada 10 Isfand 1357 Hs, Imam Khomeini ra meminta agar dilakukan perubahan pada lambang negara, yakni singa dan matahari. Beliau mengumumkan, "Kita telah mendirikan sebuah negara Muhammadi. Bendera Iran tidak boleh sama dengan bendera Shahanshahi. Lambang Iran harus berbeda dari lambang Shahanshahi dan lambang ini harus menunjukkan keislaman. Semua kementerian dan kantor harus mencabut simbol singa dan matahari lalu menggantinya dengan bendera Islam. Bekas-bekas taghut harus dilenyapkan. Semua ini merupakan peninggalan taghut. Yang ada harus karya-karya Islam. (Sahifeh Imam, jilid 6, hal 275).
Setelah itu pemerintah sementara membuka sayembara disain baru lambang Iran. Banyak disain yang dikirim ke kantor perdana menteri dan yang diterima adalah lambang Republik Islam Iran saat ini yang didisain oleh Hamid Nadimi.
Setelah mendengarkan ucapan Imam Khomeini ra, Hamid Nadimi dengan penuh semangat mulai menggoreskan disainnya. Setelah menyelesaikan desain lambang Iran, Nadimi membawanya ke kantor Imam Khomeini ra di Qom. Sekalipun pada awalnya desain lambang Iran dilombakan, tapi ada desain lainnya yang juga disetujui dan akhirnya dicetak di uang kertas masa itu. Tapi tidak berapa lama, suatu malam Hujjatul Islam Hashemi Rafsanjani menelpon Nadimi dan mengabarkan Imam Khomeini ra menyetujui desainnya pada 19 Ordibehesht 1359 Hs dan meminta Nadimi untuk menyempurnakan disainnya.
Lambang ini memiliki banyak makna di benaknya. Ada kesederhanaan dan kelebihan khusus dalam desainnya yang memiliki banyak makna. Hamid Nadimi ketika memberikan penjelasan makna karyanya kepada majalan Pasdar Islam pada tahun 1362 mengatakan:
"Saya punya keinginan untuk membuat lambang bagi dunia Islam. Ketika Imam Khomeini ra mengatakan bahwa simbol singa dan matahari harus diganti dan negara membutuhkan lambang baru, saya mulai kembali memikirkan ide yang selama ini ada dalam pikiranku. Saya mulai menerawang kembali sketsa yang pernah saya buat. Dalam disain ini ada tiga prinsip penting pemerintahan Islam dalam al-Quran; kitab, timbangan dan besi yang menjadi simbol dari al-Quran, mizan dan hadid. Bagian yang berdiri di tengah dalam disain ini dalam bahasa Persia dan Arab menunjukkan kekuatan dan pedang. Simbol ini berdiri tegak yang berarti kekuatan dan kekokohan. Ini merupakan penafsiran dari kata hadid (besi) dalam al-Quran (... Anzalna al-Hadid Fiihi Ba'sun Syadidun).
Komposisi yang sangat ideal antara garis dan lengkungan yang ada berada dalam kondisi seimbang dan ini memberikan makna timbangan, seperti kata mizan dalam al-Quran (Wassamaa' Rafa'aha wa Wadha'al Mizan). Lima bagian yang menjadi bentuk asli disain ini, sekalipun bermakna lima prinsip agama dan prinsip tauhid berada di tengah dan tegak di antara lengkungan yang ada. Selain itu, secara keseluruhan, komposisi yang ada ini menjadi simbol dari kata Allah dan menjadi inti dan tersembunyi dari kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah.
Garis-garis lengkung yang membentuk lingkaran adalah setengah dari bola bumi dan merepresentasikan universalnya dakwah Islam. Kata Allah didisain berbentuk bola guna menunjukkan pesan universalitas Islam. Garis-garis lengkung seperti bulan sabit dalam disain ini diambil dari gambar dari Nabi Muhammad Saw yang berkali-kali dilakukannya dengan pedang beliau sebagai paraf di atas pasir."
Setelah itu Nadimi juga mendesain bendera. Saat menjelaskan disainnya ini, Nadimi menjelaskan, "Bendera ini memberikan harapan akan pemerintahan Imam Mahdi af. Warna hijau, putih dan merah merupakan tanda khusus Republik Islam Iran dan slogan Allahu Akbar semuanya berasal dari prinsip yang telah ditetapkan dalam UUD."
Doktor Nadimi mencontoh slogan Allahu Akbar dan mengulanginya. Slogan ini sebelas kali dalam warna merah dan sebelas kali dalam warga hijau, yakni kedua warna ini diulanginya sebanyak 22 kali dan ini merupakan simbol dari tanggal 22 Bahman 1357 Hs, Hari Kemenangan Revolusi Islam Iran. Bentuk di sudut sebelah kanan ada tulisan Allahu Akbar mengingatkan slogan penuh pengaruh ini dan ini merupakan huruf yang dipakai di kubah, menara dan masjid-masjid, dan kini tertulis di bendera Iran. Kata Allah yang berwarna merah di bendera Iran menunjukkan asal penciptaan dan semua akan kembali kepada Allah. Hal ini menunjukkan tujuan akhir pemerintahan Islam.
Doktor Hamid Nadimi adalah dosen arsitektur Universitas Shahid Beheshti dan memberikan mata kulian teori dan metode disain. Ia mendapat gelar doktor arsiteknya dari Inggris. Sekalipun karyanya akan senantiasa diingat oleh bangsa Iran, tapi tidak pernah punya keinginan untuk terkenal. Menurutnya, "Manusia yang fana jangan sampai menyambungkan dirinya dengan hal-hal yang abadi. Saya tidak ingin melekatkan diri dengan masalah-masalah seperti ini. Masyarakat tidak mengetahui wajah saya akan lebih baik buat saya. Karena bendera ini suci. Apa yang terjadi bila suatu hari saya berubah menjadi anti Revolusi? Oleh karenanya, sudah biarkan saja semua berlalu begitu saja."
Doktor Nadimi dalam hidupnya pernah sekali bertemu dengan Imam Khomeini ra dan menjelaskan pertemuan itu sebagai berikut, "Saya tidak bertemu dengan Imam dengan motivasi sebagai pembuat disain bendera Iran. Beberapa tahun saya pergi ke Huseiniyah Jamaran dan meminta beliau membacakan akad nikahku."
**
Berikut link postingan LPPI yang sarat dengan kebencian dan permusuhan terhadap Republik Islam Iran: http://www.lppimakassar.com/2013/01/sejarah-desain-bendera-republik-syiah.html
Sumber: Abna.ir
Dalam postingannya yang diberi tajuk, "Sejarah Desain Bendera Republik Syiah Iran", LPPI menulis beberapa pertanyaan yang perlu diberi tanggapan oleh tim redaksi ABNA.
Pertama, LPPI menulis, "Tak bisa dipungkiri, Syiah dengan negara Iran-nya telah memalingkan hati sebagian kaum Muslimin. Dulu, mereka mencintai dua kota suci Islam, Makkah dan Madinah, sehingga tiap kali mereka mengingatnya, mereka rindu untuk menziarahinya dengan tujuan umrah atau haji."
Tanggapan ABNA:
Siapa sebagian kaum muslimin yang dimaksud LPPI telah terpalingkan hatinya dari mencintai dua kota suci Islam Makah dan Madinah? Bagaimana LPPI bisa memastikan bahwa hati sebagian kaum muslimin itu telah berpaling? Apakah setiap mereka yang melakukan perjalanan ziarah ke kota-kota di Iran dan Irak telah berarti berpaling hatinya dari Makah dan Madinah?.
Kedua, LPPI menulis, "Namun dengan adanya Syiah dan juga dengan Republik Iran telah membuat sebagian dari mereka tersilaukan, kesatuan mereka terpecah. Kecintaan mereka terhadap dua kota suci Islam sedikit demi sedikit menjadi pudar. Digantikan oleh kota-kota 'suci' di Iran seperti Qom, Najaf dan Teheran. Setiap kali mereka ingat kepada 'kota-kota suci' itu, mereka niatkan untuk berangkat kesana."
Iran menjadi segalanya dalam hati mereka.
Tanggapan ABNA:
Pernyataan LPPI, "Kecintaan mereka terhadap dua kota suci Islam sedikit demi sedikit menjadi pudar" adalah pernyataan yang sarat dengan fitnah. Apakah jumlah Jemaah haji dan mereka yang umrah ke Haramain setiap tahunnya berkurang karena lebih memilih berziarah ke kota-kota yang dianggap suci di Iran?. Dilansir dari www.jurnalhaji.com, disebutkan jumlah peminat haji khusus terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan disebutkan, sejak beberapa tahun terakhir calon jamaah yang ingin berangkat dengan menggunakan jasa layanan haji plus juga harus masuk daftar waiting list sebagaimana pada layanan haji reguler. Pengguna jasa layanan haji plus harus menunggu antrian rata-rata 2-3 tahun sementara pengguna haji reguler sendiri masa tunggunya berkisar 4-12 tahun. Masa tunggu tersebut terpaksa diperlakukan karena pihak Arab Saudi hanya memberikan kuota satu persen saja dari total jumlah penduduknya di setiap Negara. Mengenai peminat umrah, situs tersebut menuliskan, Pada 2010, jumlah jamaah yang pergi umrah hanya ada 160 ribu orang. Tahun berikutnya, versi data Himpuh (Himpunan Penyelenggara Umroh dan Haji Indonesia ) ada 260 ribu orang. Sedangkan data dari kedutaan besar Indonesia ada 300 ribu. Dan tahun berikutnya tentu diperkirakan jumlah peminat akan menembus angka diatas 300 ribu.
Menyikapi fenomena tersebut http://suarapengusaha.com/ menurunkan berita, "Jumlah jamaah naik pesat pengusaha perjalanan haji umrah menjamur". Sementara muslimdaily.net melansir berita adanya peningkatan jamaah haji Cina yang meningkat pesat. Untuk tahun 2012, 3 juta muslim Cina berkeinginan menunaikan ibadah haji, namun yang bisa diberi izin oleh pemerintah Cina hanya 13.800 orang menyusul permintaan dari pihak Arab Saudi yang membatasi jumlah calon jamaah haji.
Disitus http://haji.kemenag.go.id/, berdasarkan laporan kementerian Haji Arab Saudi untuk tahun 2012 ada 5,5 juta orang yang melakukan umrah, sementara pada tahun 2005 hanya 2,5 juta peziarah. Jadi, dari mana LPPI bisa menyimpulkan bahwa hati sebagian umat Islam telah berpaling dari dua kota suci Makah dan Madinah dengan keberadaaan Syiah dan Iran sementara data-data yang ada menyebutkan jumlah kaum muslimin yang berminat untuk menziarahi dua kota suci itu setiap tahunnya semakin meningkat?. Kalau yang dimaksud LPPI sebagian kaum muslimin itu adalah umat Syiah, tentu LPPI harus menjilat ludahnya sendiri yang dalam beberapa tulisannya menyebutkan Syiah itu kafir dan bukan bagian dari umat Islam.
LPPI selanjutnya menulis, "Digantikan oleh kota-kota 'suci' di Iran seperti Qom, Najaf dan Teheran. Setiap kali mereka ingat kepada 'kota-kota suci' itu, mereka niatkan untuk berangkat kesana." Disini LPPI melakukan kesalahan fatal. Kota Najaf bukan di Iran, melainkan di Irak. Muslim Syiahpun tidak pernah menyebut Teheran sebagai kota suci. Yang disebut kota suci di Iran hanyalah Masyhad dan Qom. Masyhad disebut suci karena keberadaan makam Imam Ridha as (Imam kedelapan Syiah) dan Qom disebabkan karena di kota itu terdapat makam Sayyidah Fatimah Maksumah (Adik perempuan Imam Ridha as). Sangat disayangkan sebuah lembaga yang mengklaim diri sebagai lembaga penelitian dan pengkajian namun menuliskan artikel tanpa data dan fakta bahkan melakukan kesalahan yang sangat fatal. Apakah dasar LPPI menuliskan artikel-artikelnya adalah kebencian dan sikap permusuhan sehingga tidak lagi bisa berlaku adil? Semoga firman Allah SWT berikut bisa menjadi pengingat, "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Qs. Al-Maidah: 8).
Selanjutnya LPPI memosting beberapa gambar yang dicopy paste dari situs www.fnoor.com yang banyak memuat materi-materi yang menjelek-jelekkan Syiah dan Iran. LPPI hendak menyamakan logo Bendera Nasional Iran dengan simbol agama Sikh padahal tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Tentu saja yang lebih mengetahui sejarah dan makna logo bendera Iran adalah orang Iran sendiri.
Berikut kami nukil dari IRIB Indonesia yang pernah menurunkan artikel, "Sejarah Disain Bendera dan Lambang Republik Islam Iran". Artikel ini juga adalah bantahan atas postingan LPPI yang tidak memiliki unsur keilmiahan sama sekali.
Pasca kemenangan Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini ra mengeluarkan perintah untuk menghapus segala bentuk simbol rezim taghut dan menggantikannya dengan lambang dan simbol Islam-syiah. Salah satu perubahan penting adalah lambang dan bendera Republik Islam Iran.
Pada 10 Isfand 1357 Hs, Imam Khomeini ra meminta agar dilakukan perubahan pada lambang negara, yakni singa dan matahari. Beliau mengumumkan, "Kita telah mendirikan sebuah negara Muhammadi. Bendera Iran tidak boleh sama dengan bendera Shahanshahi. Lambang Iran harus berbeda dari lambang Shahanshahi dan lambang ini harus menunjukkan keislaman. Semua kementerian dan kantor harus mencabut simbol singa dan matahari lalu menggantinya dengan bendera Islam. Bekas-bekas taghut harus dilenyapkan. Semua ini merupakan peninggalan taghut. Yang ada harus karya-karya Islam. (Sahifeh Imam, jilid 6, hal 275).
Setelah itu pemerintah sementara membuka sayembara disain baru lambang Iran. Banyak disain yang dikirim ke kantor perdana menteri dan yang diterima adalah lambang Republik Islam Iran saat ini yang didisain oleh Hamid Nadimi.
Setelah mendengarkan ucapan Imam Khomeini ra, Hamid Nadimi dengan penuh semangat mulai menggoreskan disainnya. Setelah menyelesaikan desain lambang Iran, Nadimi membawanya ke kantor Imam Khomeini ra di Qom. Sekalipun pada awalnya desain lambang Iran dilombakan, tapi ada desain lainnya yang juga disetujui dan akhirnya dicetak di uang kertas masa itu. Tapi tidak berapa lama, suatu malam Hujjatul Islam Hashemi Rafsanjani menelpon Nadimi dan mengabarkan Imam Khomeini ra menyetujui desainnya pada 19 Ordibehesht 1359 Hs dan meminta Nadimi untuk menyempurnakan disainnya.
Lambang ini memiliki banyak makna di benaknya. Ada kesederhanaan dan kelebihan khusus dalam desainnya yang memiliki banyak makna. Hamid Nadimi ketika memberikan penjelasan makna karyanya kepada majalan Pasdar Islam pada tahun 1362 mengatakan:
"Saya punya keinginan untuk membuat lambang bagi dunia Islam. Ketika Imam Khomeini ra mengatakan bahwa simbol singa dan matahari harus diganti dan negara membutuhkan lambang baru, saya mulai kembali memikirkan ide yang selama ini ada dalam pikiranku. Saya mulai menerawang kembali sketsa yang pernah saya buat. Dalam disain ini ada tiga prinsip penting pemerintahan Islam dalam al-Quran; kitab, timbangan dan besi yang menjadi simbol dari al-Quran, mizan dan hadid. Bagian yang berdiri di tengah dalam disain ini dalam bahasa Persia dan Arab menunjukkan kekuatan dan pedang. Simbol ini berdiri tegak yang berarti kekuatan dan kekokohan. Ini merupakan penafsiran dari kata hadid (besi) dalam al-Quran (... Anzalna al-Hadid Fiihi Ba'sun Syadidun).
Komposisi yang sangat ideal antara garis dan lengkungan yang ada berada dalam kondisi seimbang dan ini memberikan makna timbangan, seperti kata mizan dalam al-Quran (Wassamaa' Rafa'aha wa Wadha'al Mizan). Lima bagian yang menjadi bentuk asli disain ini, sekalipun bermakna lima prinsip agama dan prinsip tauhid berada di tengah dan tegak di antara lengkungan yang ada. Selain itu, secara keseluruhan, komposisi yang ada ini menjadi simbol dari kata Allah dan menjadi inti dan tersembunyi dari kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah.
Garis-garis lengkung yang membentuk lingkaran adalah setengah dari bola bumi dan merepresentasikan universalnya dakwah Islam. Kata Allah didisain berbentuk bola guna menunjukkan pesan universalitas Islam. Garis-garis lengkung seperti bulan sabit dalam disain ini diambil dari gambar dari Nabi Muhammad Saw yang berkali-kali dilakukannya dengan pedang beliau sebagai paraf di atas pasir."
Setelah itu Nadimi juga mendesain bendera. Saat menjelaskan disainnya ini, Nadimi menjelaskan, "Bendera ini memberikan harapan akan pemerintahan Imam Mahdi af. Warna hijau, putih dan merah merupakan tanda khusus Republik Islam Iran dan slogan Allahu Akbar semuanya berasal dari prinsip yang telah ditetapkan dalam UUD."
Doktor Nadimi mencontoh slogan Allahu Akbar dan mengulanginya. Slogan ini sebelas kali dalam warna merah dan sebelas kali dalam warga hijau, yakni kedua warna ini diulanginya sebanyak 22 kali dan ini merupakan simbol dari tanggal 22 Bahman 1357 Hs, Hari Kemenangan Revolusi Islam Iran. Bentuk di sudut sebelah kanan ada tulisan Allahu Akbar mengingatkan slogan penuh pengaruh ini dan ini merupakan huruf yang dipakai di kubah, menara dan masjid-masjid, dan kini tertulis di bendera Iran. Kata Allah yang berwarna merah di bendera Iran menunjukkan asal penciptaan dan semua akan kembali kepada Allah. Hal ini menunjukkan tujuan akhir pemerintahan Islam.
Doktor Hamid Nadimi adalah dosen arsitektur Universitas Shahid Beheshti dan memberikan mata kulian teori dan metode disain. Ia mendapat gelar doktor arsiteknya dari Inggris. Sekalipun karyanya akan senantiasa diingat oleh bangsa Iran, tapi tidak pernah punya keinginan untuk terkenal. Menurutnya, "Manusia yang fana jangan sampai menyambungkan dirinya dengan hal-hal yang abadi. Saya tidak ingin melekatkan diri dengan masalah-masalah seperti ini. Masyarakat tidak mengetahui wajah saya akan lebih baik buat saya. Karena bendera ini suci. Apa yang terjadi bila suatu hari saya berubah menjadi anti Revolusi? Oleh karenanya, sudah biarkan saja semua berlalu begitu saja."
Doktor Nadimi dalam hidupnya pernah sekali bertemu dengan Imam Khomeini ra dan menjelaskan pertemuan itu sebagai berikut, "Saya tidak bertemu dengan Imam dengan motivasi sebagai pembuat disain bendera Iran. Beberapa tahun saya pergi ke Huseiniyah Jamaran dan meminta beliau membacakan akad nikahku."
**
Berikut link postingan LPPI yang sarat dengan kebencian dan permusuhan terhadap Republik Islam Iran: http://www.lppimakassar.com/2013/01/sejarah-desain-bendera-republik-syiah.html
Sumber: Abna.ir
Subscribe to:
Posts (Atom)