Search

Saturday, March 16, 2013

Kebudayaan dan Peradaban Islam; Baitul Hikmah, Pusat Transformasi Ilmu Pengetahuan ke Bahasa Arab


Di masa khalifah kelima Dinasti Abbasiah, Harun al-Rashid, banyak aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan ilmu dan menerjemahkan berbagai karya. Yahya bin Khalid Barmaki, yang juga menteri saat itu, termasuk salah satu ilmuwan yang banyak menelaah karya-karya Yunani dan menerjemahkannya. Di masanya,  Yahya mengirim utusan ke Roma untuk membeli naskah-naskah asli Yunani.  Upaya inilah yang menyebabkan banyak buku Yunani yang berharga diangkut ke Baghdad. Selain itu, lalu-lalang para ilmuwan dan dokter India, Iran dan Suryani  kian menyemarakkan dunia ilmiah saat itu dan mendorong masyarakat supaya menaruh perhatian besar  pada berbagai ilmu dan dn naskah-naskah ilmiah.



Para ilmuwan saat itu juga memahami bahasa Arab, sehingga mereka mudah mendorong masyarakat setempat supaya menuntut ilmu. Berbeda dengan para penakluk sejarah sebelumnya, para penguasa muslim saat itu setelah berhasil menaklukkan wilayah, memindahkan perpustakaan wilayah yang dikuasai ke Baghdad dan menerjemahkan karya-karya berharga setempat ke bahasa Arab.

Harun al-Rasyid setelah berhasil menaklukkan Ankara, Amuriah dan kota-kota di Roma, mengangkut banyak buku kedokteran ke Baghdad. Setelah itu, buku-buku itu diserahkan ke seorang dokter yang bernama Yohana bin Masawiyah Suryani untuk diterjemahkan ke bahasa Arab.

Di masa Harun, sejumlah buku perbintangan juga diterjemahkan ke bahasa Arab. Di antara penerjemah ulung di bidang ilmu perbintangan adalah keluarga Fadhl bin Noubakht yang juga salah satu dari keluarga Noubakht. Harun juga mempercayakan jabatan pimpinan perpustakaan kepada Fadhl. Setelah itu, banyak ilmuwan muslim yang mengkaji buku itu dan menyampaikan pendapat-pendapat mereka. Bermula dari buku itu, ilmuwan muslim menciptakan berbagai inovasi dan  menyusun buku-buku baru.

Salah satu langkah penting di masa khalifah Manshur Abbasi adalah mengembangkan gerakan terjemah, Baitul Hikmah sebagai warisan peninggalan era Sasani. Di masa Sasani, Baitul Hikmah disebut-sebut sebagai lembaga dan pusat pendataan dokumen dan data-data. Di lembaga itu disimpan berbagai data sejarah, perang dan kisah-kisah asal Iran.

Baitul  Hikmah juga dibangun sebagai miniatur Sasani di Baghdad. Instansi ini bertugas menerjemahkan karya sejarah dan budaya dari bahasa Pahlavi ke bahasa Arab. Untuk itu, banyak penerjemah ulung yang dipekerjakan di instansi ini. Lebih dari itu, kelompok penjilid juga dikerahkan untuk menjaga buku.

Hingga masa Harun dan Barmakian, Baitul Hikmah terus bertahan. Akan tetapi di masa Makmun, aktivitas di Baitul Hikmah kian bertambah. Instansi itu selain berfungsi menjaga buku juga mengerahkan para peneliti dan ilmuwan supaya meriset berbagai ilmu  di bidang perbintangan dan matematika. Baitul Hikmah menjadi tempat yang layak untuk menerjemahkan karya-karya Yunani ke bahasa Arab.

Di masa Makmun, aktivitas Baitul Hikmah lebih marak. Apalagi didukung Makmun yang bersemangat mengumpulkan, menerjemahkan dan menyusun karya-karya, khususnya di bidang filsafat. Semua itu sengaja dilakukan penguasa Dinasti Abbasiah saat itu untuk memperkokoh pemikiran Muktazilah yang juga diyakini Makmun. Bahkan disebutkan dalam sejarah bahwa Baitul Hikmah sangat populer di masa Makmun hingga menyebabkan akademi Jundi-Shapour yang juga pusat ilmu saat itu kalah pamor dan tidak semarak lagi.

Ibnu Nadim dalam bukunya, al-Fehrest, menyebutkan, "Pada suatu malam, Makmun bermimpi Aristoteles. Dalam mimpi itu, ia bertanya banyak hal kepada Aristoteles. Setelah terjaga dari tidurnya, Makmun berkeinginan menerjemahkan karay-karya Aristoteles." Kemudian, Makmun menulis surat ke Raja Roma dan menyampaiakn keinginannya. Raja Roma pun mengabulkan permintaan Makmun.

Setelah itu, Makmun mengirim sejumlah utusan, termasuk Salman, Ketua Baitul Hikmah, mengumpulkan karya-karya ilmiah di Roma dan mengirimkannya ke pusat pemerintahan Dinasti Abbasiah. Kemudian Makmun juga mengutus Hunain bin Ishak yang dikenal sebagai "Sheikhul Mutarjimim" atau Pemuka Penerjemah.

Di masa Makmun, semua peninggalan Yunani, India, Iran dan Arab disentralkan ke Baitul Hikmah. Untuk memperkaya instansi ini, karya-karya dan data syair di masa Jahiliah juga dikumpulkan di Baitul Hikmah. Menerjemahkan karya-karya ke bahasa Arab dapat disebut sebagai pekerjaan utama di instansi ini. Banyak penerjemah ulung dari bahasa Yunani, Suryani, Roma, India dan Pahlavi yang ditugaskan untuk menerjemahkan berbagai karya ke bahasa Arab.

Dengan demikian, Baitul Hikmah dapat dipahami sebagai pusat terjemah dan aktivitas ilmiah. Bahkan observartiom disediakan di instansi itu. Seorang penulis asal Italia, Nalino, menyebut masa itu sebagai periode gemilang ilmu perbintangan Islam.

Baitul Hikmah dikelola oleh para ilmuwan yang saat itu dikenal sebagai "Shahib Baitil Hikmah" yang artinya pengelola Baitul Hikmah. Disebutkan pula, orang-orang Iran termasuk pengelola pertama Baitul Hikmah. Di antara mereka yang paling tersohor adalah Sahal bin Harun, Saeid bin Harun dan Salam atau Salman.

Sahal bin Harun berasal dari Dasht-i Mishan, Khozestan, sekitar wilayah Ahvaz. Di pertengahan awal abad ketiga hijriah, Sahal hidup di Baghdad yang juga dikenal sebagai ilmuwan dan sastrawan  besar pada periode itu. Disebutkan pula,  keluarga Barmak menjadikan Sahal sebagai pimpinan Baitul Hikmah. Sahal sangat diakui di bidang sastra dan juga dikenal sebagai penulis ulung. Karyanya yang terkenal berhubungan dengan  politik sipil dan etika manusia yang ditulis berlandaskan  gaya Kalilawa Dimna dari bahasa binatang dan burung.

Salam atau Salman juga disebut-sebut sebagai penerjemah dan  ilmuwan Iran yang mengelola Baitul Hikmah. Ia menerjemahkan buku-buku bahasa Persia ke Arab. Beberapa bagian buku Kalilawa Dimna berhasil diterjemahkan oleh  Salman. Ia juga termasuk salah satu ilmuwan yang mengunjungi Roma dan meminta izin kepada raja saat itu untuk membawa karya-karya filsafat dan perbintangan ke Baghdad dan menerjemahkannya ke bahasa Arab.

Akan tetapi popularitas Baitul Hikmah merosot karena perpindahan pusat pemerintah Islam dari Baghdad ke Samara di masa Mu'tasim Abbasi di abad 218 hingga 227 hijriah. Menurut para pakar sejarah, Baitul Hikmah bertahan hingga serangan Mongolia ke Bagdad pada tahun 656.

Karena kerja keras penerjemah di masa itu, banyak karya ilmiah yang bertahan di dunia ini. Tak dapat dipungkiri, kerja keras ilmuwan saat itu berpengaruh pada perkembangan ilmu setelah itu. Bahkan Baitul Hikmah juga menjadi tradisi para penguasa dari masa ke masa. Sebagai contoh, al-Mustanshir Billah, khalifah Bani Umayah Andalusia mengikuti Makmun dengan membangun perpustakaan besar di Qurtuba. Di Mesir, Dinasti Fatimi juga membangun perpustakaan besar.

Dengan demikian dapat disimpukan bahwa gerakan serius untuk mengokohkan gerakan terjemah dan ilmiah dimulai dari masa Makmun. Kalangan Muktazilah juga seringkali menggunakan karya-karya filsafat Aristoteles dan mempelajarinya dengan detail untuk berdebat dengan lawan-lawan mereka. Dari sinilah ilmu teologi yang  juga dikenal dengan istilah ilmu kalam, berkembang pesat.

Baca Juga:
Kebudayaan dan Peradaban Islam; Masa Transisi dari Penerjemahan Menuju Produksi Ilmu
Kebudayaan dan Peradaban Islam; Masjid Pusat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Kebudayaan dan Peradaban Islam; Masa Transisi dari Penerjemahan Menuju Produksi Ilmu


Di masa Makmun, khalifah Bani Abbasiah, masyarakat terdorong menuntut ilmu. Pada masa itu, banyak penerjemah yang berasal dari Iran, Irak, India dan Syam (Suriah) berdatangan ke Baghdad. Para penerjemah juga mempunyai latar belakang agama dan suku yang beragam. Ada penerjemah yang beragama Nasturi, Zoroaster, Brahmani dan Rumi. Mereka menerjemahkan banyak buku dari bahasa Yunani, Persia, Suryani, India dan lain-lain. Georgi Zeidan, penulis Kristen asal Lebanon, menulis, "Di masa itu, toko buku, institusi ilmiah dan sastra meningkat di Baghdad."


Di masa Manshur, khalifah Bani Abbasiah, ada sejumlah orang yang secara independen menaruh perhatian pada pekerjaan terjemah. Di antaranya adalah keluarga asal Iran yang bernama Bani Shakir. Bani ini juga dikenal dengan nama Bani Mousa. Menurut data sejarah, Mousa bin Shakir dan anak-anaknya yang bernama Mohammad, Ahmad dan Hassan, berasal dari Khorasan atau kota Mashad, Iran barat saat ini.

Anak-anak Mousa mempelajari bidang arsitek, astronomi, matematika, ilmu alam dan mekanik di Baitul Hikmah. Tiga bersaudara ini juga menulis dan menerjemahkan banyak karya. Disebutkan pula, karya-karyanya juga diterjemahkan ke bahasa Latin dari bahasa Arab di negara-negara Eropa. Salah satu karya yang terkenal adalah ilmu mekanik pada tahun 246 hijriah. Disebutkan pula, karya ilmu mekanik itu merupakan buku pertama mekanik di masa Islam.

Penerjemah lainnya yang juga mempunyai peran penting dalam memajukan ilmu di dunia ini, adalah Mohammad bin Mousa Kharazmi (224 hijriah). Kharazmi disebut-sebut sebagai matematikawan, pakar astronomi, geografi dan pakar sejarah.

Kharazmi berasal dari Iran, tepatnya dari daerah Kharazm yang juga dikenal Khoy. Kharazmi setelah melewati masa kecil dan belajar, menjadi anggota Darul-Hikmah di masa khalifah Makmun. Di masa itu, Kharazmi dikenal sebagai pakar astronomi, bahkan sempat menjadi pimpinan perpustakaan di masa Makmun. Dalam sejarah disebutkan bahwa Kharazmi dalam berbagai karya dan bahah kuliahnya di Akademi Jundi Shapour, seringkali merujuk karya-karya yang diterjemahkan sebelumnya, khususnya dari bahasa India dan Iran.

Kharazmi juga dikenal sebagai ilmuwan pertama yang menulis aljabar(algebra). Bahkan ia juga termasuk sebagai pendiri ilmu aljabar dalam konteks ilmu independen. Bukunya yang terkenal dan bertahan hingga kini, berjudul Aljabra. Kata Algorithm yang merupakan salah satu seni berhitung, diambil dari kata Kharazmi yang kemudian disesuaikan dengan bahasa Latin di Eropa. Setelah disesuaikan dengan istilah latin, Khorazm menjadi Algorithm.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, aljabar (algebra) merupakan cabang matematika yang menggunakan tanda- tanda atau huruf-huruf untuk menggambarkan atau mewakili angka-angka.

Banyak masalah matematika yang tidak dapat langsung diselesaikan, khususnya masalah yang berkaitan dengan aljabar. Agar lebih mudah dalam menyelesaikannya, maka masalah tersebut harus diubah dahulu dalam bentuk aljabar. Sebagai contoh, kita ingin menentukan berapa banyak air yang harus ditambahkan ke 1 liter larutan asam 30% agar larutan asam tersebut menjadi larutan asam 20%.

Pakar Timur asal Italia , Aldomieli, dalam bukunya terkait sejarah Arab, menulis, "Kharazmi adalah pakar matematika Islam terbesar. Ia tidak hanya dikenal di Timur, tapi juga terkenal di Barat. Ia termasuk pakar matematika yang terkenal. Kharazmi telah menghadirkan dunia baru di bidang matematika. Buku-bukunya di bidang matematika dan arsitek sangat terkenal."

Penerjemah lainnya adalah Sabit bin Qurrah (221-288 hijriah). Ia juga disebut-sebut sebagai penerjemah terkenal di masa khalifah Makmun. Sabit bin Qurrah dikenal sebagai pakar matematika, kedokteran dan filsafat. Ia berasal dari Hurran. Wilayah itu hingga kini masih ada di selatan Turki. Pada awalnya, Sabit bin Qurrah berniaga, tapi setelah itu ia tetarik pada filsafat, kedokteran dan astronomi.

Di masaMu'taz,Khalifah Abbasiah, Sabit bin Qurrah juga termasuk pakar astronomi kerajaan. Selain itu, ia juga menulis berbagai karya di bidang matematika, kedokteran, logika, astronomi dan lain-lain. Bin Qurrah juga menulis buku terkait mazhab Sabit dengan bahasa Suryani. Lebih dari itu, ia juga menerjemahkan karya-karya Yunani di bidang astronomi dan terjemah.

Gerakan terjemah di Baghdad hanya bertahan tidak lebih dari dua abad. Di penghujung millenium kedua masehi, aktivitas gerakan terjemah berhenti total. Akan tetapi terhentinya aktivitas gerakan terjemah bukan berarti berkurangnya kecenderungan pada ilmu-ilmu dan berkurangnya para ilmuwan. Di masa itu juga terjadi perkembangan ilmiah yang dahsyat.

Pada abad 373 hijriah, Rumah Sakit Adzudi didirikan di Baghdad yang juga menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan, dokter dan penerjemah. Perkembangan ilmiah pada abad keempat bersamaan dengan masa Ali Buyeh. Di antara faktor yang menghentikan aktivitas gerakan terjemah adalah tidak adanya masalah ilmiah baru. Ini bukan berarti tidak ada kemampuan untuk menerjemahkan buku-buku ilmiah berbahasa Yunani. Akan tetapi tidak ada lagi buku-buku pertama yang ditulis oleh para pendiri ilmu dan ilmuwan. Dengan kata lain, semua buku ilmiah yang ada sudah diterjemahkan. Meski demikian, gerakan ini banyak kehilangan topik-topik yang bersangkutan dengan ilmu-ilmu sosial.

Banyak bidang ilmu yang diterjemahkan dan dikaji lebih lanjut sehingga kualitas ilmunya terus meningkat. Berbagai penjelasan terkait buku-buku utama terus meningkatkan kualitas ilmu yang lebih tinggi. Dengan demikian, karya-karya yang sudah diterjemahkan kehilangan keaktualan ilmiahnya. Untuk itu, banyak permintaan untuk melakukan riset baru. bukan lagi menerjemahkan buku-buku dari bahasa lain. Para ilmuwan dan pihak-pihak yang tertarik pada perkembangan ilmu lebih cenderung memesan karya dan inovasi baru. Kondisi ini sudah mulai muncul sebelum abad ketiga hijriah, tapi praktek semacam ini mulai nampak mengemuka pada abad ketiga.

Di masa Ali Buyeh banyak permintaan untuk melakukan riset dan karya baru. Untuk itu, tidak ada lagi upaya untuk menerjemahkan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Dari sinilah gerakan terjemah tutup buku dan tidak melanjutkan aktivitasnya.

Di abad kempat hijriah terjadi perkembangan politik baru. Pemetaan politik di masa Ali Buyeh yang berlandaskan persemakmuran dinasti Islam kian menyemarakkan perkembangan ilmiah dan filsafat dari pusat pemerintah, yakni Baghdad. Kondisi inilah membuat perkembangan ilmiah menyebar di segala penjuru dunia. Bersamaan dengan berkembangnya pusat-pusat pemerintah dan politik, banyak instansi yang memberikan dukungan untuk pengembangan ilmu dan filsafat. Di masa itu, aktivitas ilmu dan filsafat kian berkembang pesat. Bahkan dapat dikatakan bahwa dinasti Ali Buyeh merupakan era renaissance atau penghidupan budaya.

 Baca Juga:
1. Kebudayaan dan Peradaban Islam; Masjid Pusat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
2. Kebudayaan dan Peradaban Islam; Baitul Hikmah, Pusat Transformasi Ilmu Pengetahuan ke Bahasa Arab

Kebudayaan dan Peradaban Islam; Masjid Pusat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam


Dalam peradaban Islam, institusi dan pusat-pusat ilmiah menjadi perhatian luar biasa. Peninggalan budaya yang sangat berharga dari abad ke abad mencerminkan kecemerlangan peradaban Islam. Bahkan lembaga-lembaga itu dapat dikatakan sebagai pondasi utama masyarakat Islam.

Pusat-pusat agama dan sosial seperti masjid, sekolah, akademi, perpustakaan dan Baitul Hikmah dapat berdiri kokoh di tengah masyarakat, dan bahkan menjadi simbol perdamaian dan kemajuan. Karena peradaban tinggi Islam itu, akademi-akademi dan perpustakaan berkembang cepat. Selain itu, lembaga-lembaga yang ada menjadi pusat budaya di masa itu. Tujuan utama pendirian pusat–pusat budaya adalah menjadikan seseorang muslim sebenarnya yang berwawasan luas.

Masjid menurut peradaban Islam, dapat disebut sebagai pusat sosial agama bagi umat Islam. Rasulullah Saw membangun masjid pertama di kota Madinah dengan tujuan mencerahkan umat dan mengenalkan risalah ilahiah. Untuk pertama kalinya, masjid dibangun di Madinah untuk pusat kegiatan pendidikan, pencerahan, pengadilan dan pemerintahan untuk urusan politik, militer dan budaya.

Setelah Rasulullah Saw, Imam Ali as juga melakukan hal yang sama dan menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan dan pencerahan. Imam Ali as dalam berbagai kesempatan menyampaikan pencerahan keislaman dan melakukan diskusi ilmiah. Setelah Imam Ali as gugur syahid, tradisi menghidupkan pusat-pusat pendidikan seperti perpustakaan dan sekolah dilanjutkan para pengikut Ahlul Bait as. Tradisi ilmiah secara bertahap mengalami perkembangan di Baghdad dengan berdirinya berbagai akademi, perpustakaan dan institusi pendidikan seperti Baitul Hikmah.

Di masa Imam Jakfar Shadiq as, berbagai ilmu berkembang pesat. Bahkan Imam Jakfar Shadiq as mempunyai banyak murid di bidang masing-masing. Sebagai contoh, Aban bin Taghlab adalah murid Imam Jakfar yang pakar di bidang fikih. Imam Jakfar juga mempunyai murid yang pakar di bidang teologi seperti Hisyam bin Hakam. Murid lain Imam Jakfar adalah Jabir bin Hayyan yang merupakan pakar di berbagai bidang termasuk ilmu kimia. Semua murid Imam itu beraktivitas di masjid dengan memberikan penjelasan sesuai dengan bidang masing-masing.

Imam Jakfar Shadiq as dapat disebut sebagai pendiri Mazhab Jakfari. Di Madinah, Imam Jakfar mempunyai ribuan murid yang menuntut ilmu di berbagai bidang. Dalam sejarah disebutkan bahwa lebih dari 4 ribu orang menjadi Imam Jakfar di bidang fikih dan ilmu-ilmu Islam.

Yang menariknya, Imam Jakfar pada umumnya, menyampaikan kajian di masjid. Para murid Imam Jakfar juga menjadikan masjid sebagai tempat berdiskusi. Mereka biasanya membentuk lingkaran-lingkaran diskusi di masjid dan masing-masing membahas kajian-kajian yang disampaikan dalam kuliah Imam Jakfar. Masjid  di masa itu merupakan pusat pendidikan dan kajian ilmiah. Bahkan setelah itu, sekolah-sekolah yang dibangun mempunyai bentuk seperti masjid. Ini menunjukkan hubungan erat antara sekolah dan masjid.

Meski sekolah-sekolah berkembang pesat dan berubah menjadi inostansi pendidikan independen, masjid tetap tidak kehilangan aspek mutifungsinya, termasuk pendidikan. Sebagai contoh, ada sebuah masjid di Sistan yang dibangun di abad pertama hijriah. Pada masa itu, masjid Sistan juga menjadi pusat pendidikan agama.

Di Bukhara juga ada beberapa masjid yang berfungsi untuk pendidikan hukum dan berbagai ilmu agama. Adapun di Neishabour ada sejumlah masjid jami seperti Masjid Matarzi, Masjid Aqil dan Masjid Qadim yang juga berfungsi sebagai pusat pendidikan.

Di awal perkembangan Islam, masjid-masjid dibangun di berbagai kota yang juga dilengkapi dengan perpustakaan. Di antaranya adalah masjid-masjid seperti Masjid al-Aqsha, Masjid Jami Umawi Damaskus, Masjid Jami al-Kabir Tunisia dan Masjid Jami al-Azhar Kairo. Semua masjid itu mempunyai perpustakaan yang kemudian dikenal dengan Masjid Peradaban Islam.

Di kota-kota suci juga terdapat perpustakaan-perpustakaan besar. Diantara kota suci yang juga diistilahkan dengan haram adalah Haram Makkah atau Masjidul Haram, Haram Nabawi di Madinah, Haram Imam Ali as di Najaf, Haram Imam Musa bin Jakfar as di Kazhimain, dan Haram Imam Ali ar-Ridho as di Mashad. Di samping itu ada perpustakaan besar di samping makam-makam tokoh besar seperti makam Mowlana di Qunieh, makam Ghazan Khan di Tbriz, makam Sheikh Ahmad Jaam di Turbat-e Jam. Tempat-tempat peribadatan sufi juga seringkali difasilitasi dengan perpustakaan.

Selain pusat pendidikan, rumah sakit juga menjadi salah satu pusat peradaban sosial. Rumah sakit selain berfungsi menyembuhkan para pasien, juga menjadi tempat riset para dokter. Lebih dari itu, rumah sakit saat itu juga dillengkapi fasilitas perpustakaan. Rumah Sakit Qosath di Mesir, AlKabir Mansouri di Kairo, Motadari di Baghdad dan Rumah Sakit Rey adalah di antara rumah sakit terkenal dalam peradaban Islam.

Sekolah juga termasuk pusat pendidikan dunia Islam. Sekolah di berbagai negara Islam selalu dilengkapi perpustakaan. Bahkan dapat dipastikan bahwa sekolah selalu dilengkapi perpustakaan. Sekolah Nizamiya di Baghdad, Shamisatiah, dan Khasrawiyah di Damaskus, Halawiyah dan Sharafiah di Halab, Soltaniyeh di Kairo dan ratusan sekolah lain adalah sekolah-sekolah terkenal dalam peradaban Islam.

Meksi banyak perpustakaan menjadi bagian dari fasilitas masjid dan sekolah, tapi banyak juga perpustakaan yang berdiri secara independen. Di antara perpustakaan terkenal di peradaban Islam adalah Perpustakaan Darul Kutub dan Khazanah Al-Hikmah. Perpustakaan-perpustakaan itu menjadi fasilitas umum yang melayani masyarakat. Khazanah al-Hikam milik Ali bin Yahya Munajim.

Bersamaan dengan gerakan terjemah, ilmu-ilmu Islam juga berkembang pesat. Banyak peninggalan berupa karya dan buku-buku hasil rampasan perang atau ghanimah di masa peradaban Islam. Kondisi masa itu membuat pesatnya tradisi keilmuan di negara-negara Islam.

Baca Juga: 
1. Kebudayaan dan Peradaban Islam; Masa Transisi dari Penerjemahan Menuju Produksi Ilmu  
2. Kebudayaan dan Peradaban Islam; Baitul Hikmah, Pusat Transformasi Ilmu Pengetahuan ke Bahasa Arab