Tangisan atas Imam Husain bukanlah tangisan kehinaan dan kekalahan,
namun adalah protes keras atas segala bentuk kebatilan dan sponsornya di
sepanjang masa. Orang-orang mukmin merasakan gelora dalam jiwanya
ketika mengenang terbunuhnya Imam Husain, bahkan Mahatma Ghandi
berkali-kali mengatakan semangat perjuangannya terinspirasi dari
revolusi Imam Husain ra.
Karbala,
nama hamparan sahara dekat sungai Eufrat yang menjadi panggung drama
nyata tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah. Sebuah padang
pasir yang di beritakan dalam Al-Kitab, bahwa di tempat ini terjadi
penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan pedang akan makan
sampai kenyang dan akan puas minum darah mereka (Yeremia 46:1).
Dari
sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi, tragedi di Karbalalah yang
terbesar. Bukan dilihat dari jumlah korban, melainkan siapa yang
telahmenjadi korban dan bergelimang darah. Jumlah mereka tidak seberapa,
'hanya' kurang lebih 72 orang. Yang menjadikan peristiwa ini sulit
untuk terlupakan adalah Karbala menjadi samudera pasir yang menyuguhkan
genangan darah dan air mata suci putera-puteri Rasul. 10 Muharram 61
Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di dalamnya
anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin
Muawiyyah di padang Karbala , Irak. Kepala Imam dan para syuhada
dipenggal dan diarak keliling kota .
Tragedi
Karbala merupakan tragedi terbesar sepanjang sejarah Islam. Meski telah
berlalu berabad-abad lamanya, namun masih sangat membekas dan
berpengaruh dalam benak umat manusia, seakan-akan peristiwa ini terjadi
kemarin sore. Kita tidak menemukan peristiwa apapun di dunia ini yang
dikenang sedemikian rupa melebihi kenangan atas tragedi Karbala. Tragedi
Karbala benar-benar menggelitik nalar dan nurani kita untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan; mengapa tragedi ini harus selalu dikenang ?
Mengapa kematian sekelompok orang yang sudah berlalu sekian abad masih
terus ditangisi? Mengapa perasaan benci terhadap para pembantai keluarga
Nabi masih terus dipelihara? Bukankah sebagai seorang muslim sudah
seharusnya melupakan masa lalu dan memaafkan segala kesalahan mereka?
Bukankah membahas peristiwa ini hanya akan menyulut benih-benih
perpecahan antara kaum muslimin, antara kelompok yang pro dengan
kebangkitan dan kesyahidan Imam Husain as, dengan kelompok yang kontra
dan menganggap Imam Husain as adalah agitor dan pemberontak terhadap
penguasa yang sah ?. Masihkah relevan kita memperbincangkan tentang
kesyahidan Imam Husain di padang Karbala di abad yang justru orang-orang
membincangkan perdebatan antar budaya dan peradaban melalui dunia maya?
Apa faedah kita mengungkit-ngungkit tragedi yang telah menjadi masa
lalu ini, dan buat apa kita menangisinya ?. Bukankah semestinya kita
berpikir tentang upaya mendirikan peradaban yang lebih manusiawi dan
membangun masyarakat yang inklusif-prularis di tengah perseteruan yang
tajam antar penganut agama?
Saya
pribadi, menganggap hal ini sangat penting untuk kita perbincangkan.
Terlepas dari tragedi Karbala, di Indonesia, atas nama suku, agama, ras
dan golongan, nyawa manusia tidak lebih mahal dari sebungkus rokok.
Aceh, Ambon , Sambas, Sampit, Poso, Papua adalah sebagian diatara
kota-kota yang telah menjadi saksi prahara itu. Kitapun menyaksikan
sampai detik ini, Jet-jet tempur Rezim Zionis Israel tak henti-hentinya
menggempur sejumlah kawasan di Jalur Gaza yang menjadikan ratusan orang
hancur menjadi debu dan darah dalam waktu singkat. Genangan darah,
tumpukan mayat diantara bangunan yang roboh, jerit tangis dan air mata
telah menjadi saksi atas kebiadaban segelintir manusia atas manusia
lainnya. Lalu, di manakah kemanusiaan kita? Tersentuhkah kita dengan
derita-derita mereka? Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah pernah berkata,
“Mereka yang tidak pernah tersentuh dengan tragedi Karbala, tidak akan
pernah tersentuh dengan tragedi kemanusiaan yang lain.” Tragedi Karbala
menjadi ukuran. Kepedulian kita atas tragedi kemanusiaan, khususnya di
bumi Nusantara maupun yang terjadi di Gaza saat ini akan terukur dari
kepedulian kita pada Karbala . Imam Ja;far Ash-Shadiq as pernah berkata,
“Sungguh kesyahidan Husain senantiasa membakar hati-hati orang-orang
yang beriman.” Dari sini, saya melihat tragedi Karbala sangat relevan
untuk kita kenang.
Hakikat Tangisan
Pertama-tama,
kami tegaskan bahwa masalah memperingati tragedi Karbala (10 Muharram)
bukanlah masalah khas Syi'ah saja, tetapi masalah islami. Meskipun
muslim yang bermadhzab Syi'ah lebih memberikan prioritas terhadap
peristiwa ini dibanding kelompok muslim lainnya. Sebab, Imam Husain ra
tokoh utama dibalik tragedi ini, bukanlah pelita bagi kaum Syi'ah saja,
melainkan lentera hati setiap mukmin, apapun madhzabnya. Karenanya, kami
tegaskan lagi, apapun yang berkaitan dengan peristiwa karbala pada
hakikatnya adalah fenomena islami. Yang akan saya ketengahkan adalah,
tangisan dan perilakunya terhadap manusia. Kami berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan kritis seputar tangisan yang biasa dilakukan
orang-orang Syi'ah saat mengenang peristiwa Karbala. Peringatan akan
tragedi Karbala dengan tangisan dan ratapan yang mereka lakukan bagi
sebagian muslim yang lain adalah bid'ah bahkan cenderung kepada
kesyirikan. Manusia manapun pasti mengalami kegetiran hidup yang
membuatnya harus menangis. Bahkan lembaran kehidupan manusia diawali
dengan tangisan dan diakhiri pula dengan tangisan perpisahan. Tangisan
sesuatu yang alamiah, sesuatu yang telah menjadi fitrah kemanusiaan.
Menurut Syaikh Taqi Misbah Yazdi, menangis disebabkan empat tingkatan
spiritual : keridhaan (ar-rida'), kebenaran (ash-shidiq), petunjuk
(al-hidayah) dan pemilihan (al-isthifa'). Dan para nabi telah mencapai
empat tingkatan spiritual yang tinggi ini. "Sesungguhnya orang-orang
yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an al-Karim dibacakan
kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan
mereka berkata, "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami
pasti dipenuhi." Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis
dan mereka bertambah khusyuk." (Qs. Al-Isra' : 107-109). Melalui ayat
ini, disimpulkan bahwa ilmu dan makrifat adalah penyebab timbulnya
tangisan. Setiap orang yang mengetahui hakikat sesuatu, mengetahui
hakikat kenabian Rasulullah SAW dan mengetahui hakikat kesyahidan Imam
Husain as, maka hatinya sangat peka dan matanya muda mengucurkan air
mata. Rasul bersabda, "Seandainya kalian mengetahui apa yang aku
ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis." Di
ayat lain Allah SWT berfirman, "Dan apabila mereka mendengarkan apa yang
diturunkan kepada Rasul, kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata
disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (Qs. Al-Maidah : 83).
Seseorang
yang menjadikan Imam Husain sebagai kekasihnya dan mendengar sang
kekasih mengalami musibah dan bencana, apa layak hanya menanggapinya
dengan dingin dan tidak menangis ?. Imam Husain adalah adalah kekasih
bagi setiap muslim, beliau gugur dalam keadaan kehausan dan tidak cukup
dibantai, tapi kepala beliau dipisahkan dari tubuhnya dan ditancapkan di
atas tombak serta di bawa untuk dipersembahkan kepada raja Yazid yang
bermukim di Syuriah. Oleh karenanya bagi yang ingin menziarahi tubuh
Imam Husain, maka hendaknya pergi ke Karbala Irak dan bagi yang ingin
menziarahi kepalanya, maka hendaknya pergi ke Suriah. Ini bukan cerita
dongeng, sejarahnya sangat masyhur dan ditulis dalam kitab-kitab ahli
sejarah. Tidak ada yang memungkiri, Imam Husain adalah cucu kesayangan
nabi, dan berkali-kali menyampaikan kepada para sahabat untuk juga
menyayanginya. Abu Hurairah bercerita, “Rasulullah SAW datang kepada
kami bersama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain. Yang pertama di bahu
beliau yang satu, yang kedua di bahu beliau yang lain. Kemudian beliau
bersabda, ‘Barang siapa mencintai keduanya (Hasan dan Husain) berarti
juga mencintai daku; barang siapa membenci keduanya berarti juga
membenci daku.” Imam Husain adalah kekasih setiap mukmin dan mukminah
dan teman dekat setiap Muslim dan Muslimah, sehingga setiap orang mukmin
akan merasa sedih atas kepergiannya. Tidak sedikit rakyat Pakistan yang
menangisi kematian Benazir Bhutto yang tragis ataupun mahasiswa
Makassar yang tidak bosan-bosannya memperingati tragedi AMARAH tiap
tahunnya, maka bagaimana mungkin kita tidak menangis atas kematian Imam
Husain yang mengajari dan menjaga nilai-nilai dan prinsip-prinsip
kebenaran! Seandainya kalau bukan karena jihad sucinya, niscaya Islam
akan lenyap bahkan namanya pun tidak akan terdengar. "Jikalau raga
diciptakan untuk menyongsong kematian, maka kematian di ujung pedang di
jalan Allah jauh lebih baik dan mulia ketimbang mati di atas ranjang."
(Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib).
Menangis atas Imam Husain, Sunnah atau Bid'ah?
Allah
SWT berfirman tentang nabi Yaqub as yang menangisi kepergian anaknya,
Nabi Yusuf as, "…Aduhai duka citaku terhadap Yusuf; dan kedua matanya
menjadi putih (buta) karena kesedihan dan dialah yang menahan amarahnya
(terhadap anak-anaknya)." (Qs. Yusuf : 85). Dari ayat ini, kita bisa
bertanya, apakah tangisan Nabi Yaqub as karena terpisah dengan anaknya
sampai matanya menjadi buta adalah bentuk jaza' (keluh kesah) yang
dilarang ? apakah Nabi Yaqub as melakukan sesuatu yang menjemuruskan dia
dalam kebinasaan sampai anak-anaknya bertanya, " Demi Allah, senantiasa
kamu mengingat Yusuf, sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau
termasuk orang yang binasa ?" (Qs. Yusuf : 86). Alhasil, Al-Qur'an
menceritakan bahwa ketika Yusuf dijauhkan Allah SWT dari pandangan Yaqub
serta merta Yaqub menangis sampai air matanya mengering karena sangat
sedihnya. Tentu saja tangisan Nabi Yaqub as bukanlah tangisan keluh
kesah yang sia-sia, melainkan ungkapan kesedihan atas kebenaran yang
telah dikotori, atas anaknya Yusuf yang telah di dzalimi. Hakim
an-Naisaburi dalam Mustadrak Shahih Muslim dan Bukhari meriwayatkan,
bahwa Rasulullah keluar menemui para sahabatnya setelah malaikat Jibril
memberitahunya tentang terbunuhnya Imam Husain dan ia membawa tanah
Karbala. Beliau menangis tersedu-sedu di hadapan para sahabatnya
sehingga mereka menanyakan hal tersebut. Beliau memberitahu mereka,
"Beberapa saat yang lalu Jibril mendatangiku dan membawa tanah Karbala ,
lalu ia mengatakan kepadaku bahwa di tanah itulah anakku Husain akan
terbunuh." Kemudian beliau menangis lagi, dan para sahabatpun ikut
menangis. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa inilah acara
ma'tam (acara kesedihan dan belasungkawa untuk Imam Husain).
Jika
ketika mendengar kisah terbunuhnya Imam Husain lalu tidak mengucurkan
air mata, maka kitapun akan dingin terhadap tragedi-tragedi kemanusiaan
lainnya. Karenanya wajar, hati masyarakat kita tidak tersentuh ketika
mendengar berita seorang suami membakar istrinya, seseorang membunuh
dengan dalih yang sepele dan sebagainya. Mayoritas kita kehilangan
kepekaan kemanusiaan dan empati sosial ketika menatap korban-korban di
Jalur Gaza yang berlumuran darah dan debu bangunan. Masyarakat kita
tidak terbiasa menangis tetapi terbiasa untuk tertawa. Hati kita
cenderung keras dan menganggap tangisan adalah bentuk kekalahan.
Tangisan atas Imam Husain bukanlah tangisan kehinaan dan kekalahan,
namun adalah protes keras atas segala bentuk kebatilan dan sponsornya di
sepanjang masa. Orang-orang mukmin merasakan gelora dalam jiwanya
ketika mengenang terbunuhnya Imam Husain, bahkan Mahatma Ghandi
berkali-kali mengatakan semangat perjuangannya terinspirasi dari
revolusi Imam Husain ra.
Kullu
Yaumin As-Syura , Kullu ardin Karbala, semua hari adalah As-Syura,
semua tempat adalah Karbala. Hari asy-Syura sesungguhnya termasuk
hari-hari Allah, tentangnya Allah berfirman: "Keluarkanlah kaummu dari
kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada
hari-hari Allah." (Qs. 14:5). Meskipun ada usaha-usaha untuk memadamkan
gelora perlawanan akan ketertindasan dan kedzaliman. Tetapi Allah Maha
Perkasa, Dia tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun musuh-musuh-Nya
tidak suka. Allah tetap menjaga gelora spiritual itu tetap menyala di
hati-hati orang mukmin dan tidak akan pernah padam sampai hari kiamat.
Semua mukminin wajib mengenang tragedi ini dan menangis atasnya, "Apakah
kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan
tidak menangis?" (QS. An-Najm: 59-60)
Wallahu'alam bishshawwab
No comments:
Post a Comment