Mencermati
kondisi ummat Islam yang secara eksternal mendapatkan serangan dan
permusuhan dari musuh-musuhnya dan secara internal teramat rapuh dengan
jauhnya mereka dari cahaya risalah kenabian, Shalahuddin Al-Ayyubi (1138-1193 M) pahlawan legendaris Muslim dalam Perang Salib mencetuskan ide Peringatan Hari Kelahiran Nabi Saw dan menjadikannya sebagai wasilah
yang dapat mengobarkan kembali kecintaan kepada agama, meneriakkan
kebenaran Ilahi yang tampak senyap, menyulut api spritualitas yang
sempat meredup sekaligus merajut kembali secara rapi tali ukhuwah yang kusut
dan bercerai berai dengan mengingat kembali keteladanan yang
dicontohkan Rasululullah Saw dalam berbagai aspek kehidupan. Dan
hasilnya, ternyata memuaskan, semangat jihad berkobar, api
spritualitas menyala terang, ukhuwah terjalin dan ummat Islam yang
diambang kehancuran berbalik arah ditaburi kemenangan dan sejarah
keagungan yang tak terlupakan.
Lewat
peringatan maulid yang berhasil menggelorakan kembali semangat pantang
hina umat Islam, pasukan Shalahudin Al Ayyubi berhasil memukul mundur
tentara gabungan salib dari Eropa yang dikomandani Raja Inggris Richard Lion Heart dan merebut kembali Palestina dan Masjidil Aqsha dari genggaman para penjajah.
Karenanya,
jika kita di bulan ini memperingati Maulid Nabi Saw, hendaknya
termotivasi sebagaimana Shalahuddin Al Ayyubi melakukannya, yaitu untuk membangkitkan
kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw, serta meningkatkan semangat juang
kaum muslimin saat ini. Terlebih lagi, bumi Palestina dan Masjid al
Aqsha kembali dalam penguasaan kaum kuffar. Momentum peringatan
kelahiran Nabi mestinya menjadi media pemersatu ummat bukan malah
menjadi ajang salih berselisih.
Hukum Peringatan Maulid
Meskipun
di negeri ini secara resmi hari Maulid Nabi ditetapkan sebagai hari
besar keagamaan, kita tidak bisa memungkiri keberadaan kelompok Islam
yang enggan untuk turut memperingatinya. Keengganan itu patut kita
apresiasi sebagai bentuk kecintaan juga. Sebab keengganan mereka
dikhawatirkan bahwa perbuatan tersebut terkategorikan bid'ah yang
dilarang Islam. Atau
minimal menyerupai perayaan kelompok Nashrani yang memperingati
kelahiran Yesus Kristus. Sebab Nabi Saw telah mewanti-wanti, “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dalam golongan kaum itu” (Sunan abu Dawud Juz 4/78). Tentu pendapat tersebut patut dihargai, bukan dijadikan dalih untuk saling bermusuhan dan berpecah belah.
Namun tetap patut diketahui, setidaknya oleh dua ulama besar Islam, Syaikh Ibnu
Hajar al Atsqalani dan Imam Jalaluddin as-Suyuti meskipun tetap
menyebut peringatan Maulid Nabi sebagai amalan bid'ah namun tidak
mengkategorikannya sebagai bid'ah yang terlarang melainkan bid'ah hasanah (inovasi yang baik). Keduanya mengatakan bahwa status hukum maulid Nabi adalah bid’ah mahmudah (bid’ah terpuji). Karenanya
bisa dikatakan, bahwa tidak semua yang tidak dilakukan Nabi itu
tertolak dan dipastikan sebagai bid'ah sesat. Untuk menguatkan
pendapatnya, Ibnu Hajar menukil hadits Nabi Saw, “Siapa
saja yang membuat suatu tradisi yang baik (tidak bertentangan dengan
syariat) maka dia mendapatkan pahala dan pahala orang yang
mengerjakannya” (Shahih Bukhari).
Beragama : Penghayatan dan Kesemarakan
Tidak
ada seorang muslimpun yang mengingkari wajibnya memberikan kecintaan
kepada Nabi bahkan diharuskan melebihi dari kecintaan terhadap diri
sendiri. Para sahabat mengapresiasikan kecintaannya kepada Nabi dengan
mencintai apa saja yang datang dari beliau, hatta ludah sekalipun.
Karena kecintaan kepada Nabi Saw, para sahabat berebutan mengambil
lembaran rambut, tetesan air wudhu, keringat, atau apa saja yang
ditinggalkan Rasul. Salah satu ungkapan cinta ialah mengenang dan
memuliakan atsar, yakni apa
saja –waktu, peristiwa, tempat- yang berkaitan dengan yang kita cintai.
Lihatlah, dinegara manapun selalu ada monumen-monumen besar untuk
mengenang peristiwa besar, tempat-tempat bersejarah dan momen-momen
penting dari pemimpin negara yang mereka cintai, setiap Negara bahkan
termasuk Kerajaan Arab Saudi sekalipun setiap tahunnya memperingati
ulang tahun negaranya. Karena itulah, sangat sulit orang untuk melarang
kaum muslimin untuk memperingati maulid nabi, peristiwa Hijrah, Isra’
Miraj, Nuzulul Qur’an dan momen-momen penting lainnya yang berkaitan
dengan sang kekasih Muhammad Saw meskipun peringatan tersebut dikatakan
bid’ah. Selama kaum muslimin mencintai Nabi, selama itu pula peringatan
dan ziarah ke makam, gua Hira dan sebagainya akan terus berlangsung.
Imam
As-Suyuti mengapresiasi peringatan maulid sebagai ungkapan syukur atas
diutusnya Nabi Muhammad Saw ke muka bumi. Penuturan ini dapat dilihat
dalam Kitab Al-Ni’mah Al-Kubra Ala Al-Alam fi Maulid Sayyid Wuld Adam. Memperingati
maulid Nabi adalah ungkapan kecintaan sekaligus kesyukuran atas
kehadiran beliau di muka bumi menghidayai ummat manusia dan
menyelematkannya dari lembah kesesatan. Karenanya, peringatan ceremonial
semacam maulid sangatlah dibutuhkan umat akhir-akhir ini, sebagai
momentum untuk membincangkan keagungan dan kemuliaan nabi Muhammad Saw,
untuk menyiarkan banyak dari sunnah-sunnah nabi yang terabaikan, untuk
lebih memperkenalkan kemulian akhlak Rasulullah kepada mereka yang
memendam dendam dan kebencian karena ketidak tahuan. Saya rasa kita
punya kaidah penetapan hukum untuk itu, bahwa setiap yang menjadi
perantara pelaksanaan amalan yang wajib maka wajib pula pelaksanaannya.
Membeli baju hukumnya mubah, namun menjadi wajib jika kita tidak
memiliki baju untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat. Mengenang
apapun yang berkenaan dengan Rasulullah menjadi wajib hukumnya karena
menjadi syarat untuk menimbulkan kecintaan kepada Rasulullah Saw yang
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Hari kelahiran Nabi sesungguhnya
termasuk hari-hari Allah tentangnya Allah berfirman, "Keluarkanlah
kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah
mereka kepada hari-hari Allah." (Qs. Ibrahim: 5).
Mari
kita jadikan Rabiul Awal (yang masyhur dikenal sebagai bulan lahir dan
wafatnya Rasulullah Muhammad Saw) sebagai momentum untuk
memperingatinya, sebagai ungkapan kecintaan kita kepada Rasulullah Saw,
untuk menghidupkan ghirah keislaman kita, membina semangat profetis agar
bulan-bulan selanjutnya sampai ke bulan Rabiul Awal selanjutnya yang
kita lakukan adalah kerja-kerja kenabian. Secara sosiologis, dengan
asumsi kehidupan manusia di abad ini, dengan kecenderungan bergaya hidup
konsumeristik, hedonistik, dan materialistik, punya andil cukup besar
terhadap terkikisnya tingkat kesadaran seseorang termasuk
kecenderungannya dalam beragama, maka peringatan maulid Nabi menjadi
tuntutan religius yang penting. Kita berupaya menumbuhkan kecintaan
kepada Rasulullah agar membuat takjub kaum muslimin dan pada saat yang
sama membuat murka musuh-musuh Islam. Kesemarakan yang terjadi dalam
setiap peringatan Maulid bukanlah untuk dilarang, tetapi untuk
diluruskan penyimpangan yang terjadi di dalamnya, untuk diarahkan kepada
penghayatan makna peringatan perjalanan nabi sesungguhnya. Kesemarakan
adalah bagian dari syiar agama, sementara syiar sendiri bagian dari
pendalaman agama. Dengan syiar para ulama atau tokoh agama bisa berperan
dalam membina masyarakat.
“Dan
tetaplah mengadakan peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Adz Dzariyat : 55)
Wallahu 'alam Bishshawwab
*Ismail Amin
*Mahasiwa Universitas Internasional al Mostafa Qom Islamic Republic of Iran
No comments:
Post a Comment