Search

Saturday, March 16, 2013

Kebudayaan dan Peradaban Islam; Baitul Hikmah, Pusat Transformasi Ilmu Pengetahuan ke Bahasa Arab


Di masa khalifah kelima Dinasti Abbasiah, Harun al-Rashid, banyak aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan ilmu dan menerjemahkan berbagai karya. Yahya bin Khalid Barmaki, yang juga menteri saat itu, termasuk salah satu ilmuwan yang banyak menelaah karya-karya Yunani dan menerjemahkannya. Di masanya,  Yahya mengirim utusan ke Roma untuk membeli naskah-naskah asli Yunani.  Upaya inilah yang menyebabkan banyak buku Yunani yang berharga diangkut ke Baghdad. Selain itu, lalu-lalang para ilmuwan dan dokter India, Iran dan Suryani  kian menyemarakkan dunia ilmiah saat itu dan mendorong masyarakat supaya menaruh perhatian besar  pada berbagai ilmu dan dn naskah-naskah ilmiah.



Para ilmuwan saat itu juga memahami bahasa Arab, sehingga mereka mudah mendorong masyarakat setempat supaya menuntut ilmu. Berbeda dengan para penakluk sejarah sebelumnya, para penguasa muslim saat itu setelah berhasil menaklukkan wilayah, memindahkan perpustakaan wilayah yang dikuasai ke Baghdad dan menerjemahkan karya-karya berharga setempat ke bahasa Arab.

Harun al-Rasyid setelah berhasil menaklukkan Ankara, Amuriah dan kota-kota di Roma, mengangkut banyak buku kedokteran ke Baghdad. Setelah itu, buku-buku itu diserahkan ke seorang dokter yang bernama Yohana bin Masawiyah Suryani untuk diterjemahkan ke bahasa Arab.

Di masa Harun, sejumlah buku perbintangan juga diterjemahkan ke bahasa Arab. Di antara penerjemah ulung di bidang ilmu perbintangan adalah keluarga Fadhl bin Noubakht yang juga salah satu dari keluarga Noubakht. Harun juga mempercayakan jabatan pimpinan perpustakaan kepada Fadhl. Setelah itu, banyak ilmuwan muslim yang mengkaji buku itu dan menyampaikan pendapat-pendapat mereka. Bermula dari buku itu, ilmuwan muslim menciptakan berbagai inovasi dan  menyusun buku-buku baru.

Salah satu langkah penting di masa khalifah Manshur Abbasi adalah mengembangkan gerakan terjemah, Baitul Hikmah sebagai warisan peninggalan era Sasani. Di masa Sasani, Baitul Hikmah disebut-sebut sebagai lembaga dan pusat pendataan dokumen dan data-data. Di lembaga itu disimpan berbagai data sejarah, perang dan kisah-kisah asal Iran.

Baitul  Hikmah juga dibangun sebagai miniatur Sasani di Baghdad. Instansi ini bertugas menerjemahkan karya sejarah dan budaya dari bahasa Pahlavi ke bahasa Arab. Untuk itu, banyak penerjemah ulung yang dipekerjakan di instansi ini. Lebih dari itu, kelompok penjilid juga dikerahkan untuk menjaga buku.

Hingga masa Harun dan Barmakian, Baitul Hikmah terus bertahan. Akan tetapi di masa Makmun, aktivitas di Baitul Hikmah kian bertambah. Instansi itu selain berfungsi menjaga buku juga mengerahkan para peneliti dan ilmuwan supaya meriset berbagai ilmu  di bidang perbintangan dan matematika. Baitul Hikmah menjadi tempat yang layak untuk menerjemahkan karya-karya Yunani ke bahasa Arab.

Di masa Makmun, aktivitas Baitul Hikmah lebih marak. Apalagi didukung Makmun yang bersemangat mengumpulkan, menerjemahkan dan menyusun karya-karya, khususnya di bidang filsafat. Semua itu sengaja dilakukan penguasa Dinasti Abbasiah saat itu untuk memperkokoh pemikiran Muktazilah yang juga diyakini Makmun. Bahkan disebutkan dalam sejarah bahwa Baitul Hikmah sangat populer di masa Makmun hingga menyebabkan akademi Jundi-Shapour yang juga pusat ilmu saat itu kalah pamor dan tidak semarak lagi.

Ibnu Nadim dalam bukunya, al-Fehrest, menyebutkan, "Pada suatu malam, Makmun bermimpi Aristoteles. Dalam mimpi itu, ia bertanya banyak hal kepada Aristoteles. Setelah terjaga dari tidurnya, Makmun berkeinginan menerjemahkan karay-karya Aristoteles." Kemudian, Makmun menulis surat ke Raja Roma dan menyampaiakn keinginannya. Raja Roma pun mengabulkan permintaan Makmun.

Setelah itu, Makmun mengirim sejumlah utusan, termasuk Salman, Ketua Baitul Hikmah, mengumpulkan karya-karya ilmiah di Roma dan mengirimkannya ke pusat pemerintahan Dinasti Abbasiah. Kemudian Makmun juga mengutus Hunain bin Ishak yang dikenal sebagai "Sheikhul Mutarjimim" atau Pemuka Penerjemah.

Di masa Makmun, semua peninggalan Yunani, India, Iran dan Arab disentralkan ke Baitul Hikmah. Untuk memperkaya instansi ini, karya-karya dan data syair di masa Jahiliah juga dikumpulkan di Baitul Hikmah. Menerjemahkan karya-karya ke bahasa Arab dapat disebut sebagai pekerjaan utama di instansi ini. Banyak penerjemah ulung dari bahasa Yunani, Suryani, Roma, India dan Pahlavi yang ditugaskan untuk menerjemahkan berbagai karya ke bahasa Arab.

Dengan demikian, Baitul Hikmah dapat dipahami sebagai pusat terjemah dan aktivitas ilmiah. Bahkan observartiom disediakan di instansi itu. Seorang penulis asal Italia, Nalino, menyebut masa itu sebagai periode gemilang ilmu perbintangan Islam.

Baitul Hikmah dikelola oleh para ilmuwan yang saat itu dikenal sebagai "Shahib Baitil Hikmah" yang artinya pengelola Baitul Hikmah. Disebutkan pula, orang-orang Iran termasuk pengelola pertama Baitul Hikmah. Di antara mereka yang paling tersohor adalah Sahal bin Harun, Saeid bin Harun dan Salam atau Salman.

Sahal bin Harun berasal dari Dasht-i Mishan, Khozestan, sekitar wilayah Ahvaz. Di pertengahan awal abad ketiga hijriah, Sahal hidup di Baghdad yang juga dikenal sebagai ilmuwan dan sastrawan  besar pada periode itu. Disebutkan pula,  keluarga Barmak menjadikan Sahal sebagai pimpinan Baitul Hikmah. Sahal sangat diakui di bidang sastra dan juga dikenal sebagai penulis ulung. Karyanya yang terkenal berhubungan dengan  politik sipil dan etika manusia yang ditulis berlandaskan  gaya Kalilawa Dimna dari bahasa binatang dan burung.

Salam atau Salman juga disebut-sebut sebagai penerjemah dan  ilmuwan Iran yang mengelola Baitul Hikmah. Ia menerjemahkan buku-buku bahasa Persia ke Arab. Beberapa bagian buku Kalilawa Dimna berhasil diterjemahkan oleh  Salman. Ia juga termasuk salah satu ilmuwan yang mengunjungi Roma dan meminta izin kepada raja saat itu untuk membawa karya-karya filsafat dan perbintangan ke Baghdad dan menerjemahkannya ke bahasa Arab.

Akan tetapi popularitas Baitul Hikmah merosot karena perpindahan pusat pemerintah Islam dari Baghdad ke Samara di masa Mu'tasim Abbasi di abad 218 hingga 227 hijriah. Menurut para pakar sejarah, Baitul Hikmah bertahan hingga serangan Mongolia ke Bagdad pada tahun 656.

Karena kerja keras penerjemah di masa itu, banyak karya ilmiah yang bertahan di dunia ini. Tak dapat dipungkiri, kerja keras ilmuwan saat itu berpengaruh pada perkembangan ilmu setelah itu. Bahkan Baitul Hikmah juga menjadi tradisi para penguasa dari masa ke masa. Sebagai contoh, al-Mustanshir Billah, khalifah Bani Umayah Andalusia mengikuti Makmun dengan membangun perpustakaan besar di Qurtuba. Di Mesir, Dinasti Fatimi juga membangun perpustakaan besar.

Dengan demikian dapat disimpukan bahwa gerakan serius untuk mengokohkan gerakan terjemah dan ilmiah dimulai dari masa Makmun. Kalangan Muktazilah juga seringkali menggunakan karya-karya filsafat Aristoteles dan mempelajarinya dengan detail untuk berdebat dengan lawan-lawan mereka. Dari sinilah ilmu teologi yang  juga dikenal dengan istilah ilmu kalam, berkembang pesat.

Baca Juga:
Kebudayaan dan Peradaban Islam; Masa Transisi dari Penerjemahan Menuju Produksi Ilmu
Kebudayaan dan Peradaban Islam; Masjid Pusat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam

No comments:

Post a Comment