Search

Thursday, January 10, 2013

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Kejahatan Muhammad bin Abdil Wahhab


Sebelumnya telah dijelaskan bahwa lima abad setelah kematian Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdil Wahhab menghidupkan kembali pemikiran-pemikirannya yang menyimpang dalam situasi yang tidak menentu. Saat itu, negeri-negeri Islam berada dalam kepungan kekuatan-kekuatan imperialis dunia.


Britania Raya sebagai kekuatan imperialis yang paling menonjol saat itu sedang bergerak memperluas daerah jajahannya ke wilayah selatan dan barat Iran. di bagian lain, pasukan Perancis yang dipimpin Napoleon yang sudah menguasai Mesir, Suriah dan Palestina berambisi untuk mencaplok India. Di saat yang sama, Rusia beberapa kali menyerang Iran dan imperium Ottoman berusaha melebarkan kekuasaan di Palestina dan negeri-negeri lain di Teluk Persia. Tak hanya itu, Amerika dari belahan dunia lain juga berpikir menguasai negeri-negeri Muslim di utara Afrika. Dalam kondisi seperti itu, umat Islam sangat memerlukan persatuan untuk menyusun kekuatan melawan pasukan imperialis yang mengepung mereka. Saat itulah Muhammad bin Abdil Wahhab muncul dengan pemikiran-pemikiran sesat untuk merusak keutuhan umat.

Tak diragukan bahwa dibanding kekuatan imperialis lainnya, pengaruh Inggris di negeri-negeri Muslim dan wilayah jajahannya lebih besar. Salah satu modus Inggris dalam menjajah dan memperkuat pengaruhnya adalah dengan menyibukkan bangsa-bangsa lain dengan pertikaian di antara mereka. Dengan cara itu, pemerintah Britania akan mudah menundukkan dan merampas kekayaan mereka. Karena itulah, Inggris selalu memanfaatkan setiap isu perselisihan di tengah umat Islam untuk menyulut api permusuhan di antara mereka. Tak heran jika para sejarawan meyakini bahwa lahirnya Wahhabisme tak lepas dari  skenario Inggris dalam memecah belah umat Islam. Dalam sejarah disebutkan adanya hubungan erat antara Mister Hamfer agen rahasia Inggris dengan Muhammad bin Abdil Wahhab.

Hamfer adalah agen rahasia Inggris yang menyamar sebagai Muslim dan menyusup ke berbagai negara Islam. misi yang diembannya adalah menebar perselisihan di tengah kaum muslimin. Dalam catatan hariannya dia mengaku bertemu dengan Muhammmad bin Abdil Wahhab di Basrah, Irak selatan. Mengenai pertemuan itu dia mengatakan, "Aku menemukan yang aku cari pada diri Muhammad bin Abdil Wahhab. Dia adalah pribadi yang tidak berkomitmen dengan ajaran agama, berperangai angkuh, dan menaruh rasa benci terhadap para ulama di zamannya sehingga memiliki kebebasan pemikiran dan tak peduli dengan kedudukan Khulafaur Rasyidin. Dia hanya mementingkan pemahamannya yang dangkal terhadap al-Quran dan Sunnah. Sifat-sifat ini adalah kelemahan-kelemahan menonjol pada dirinya yang membuatku bisa menanamkan pengaruah padanya." Hamfer menambahkan bahwa dia berhasil mendorong Muhammad bin Abdil Wahhab untuk membentuk aliran Wahhabisme dan menjanjikan dukungan dan bantuan pemerintah Britania kepadanya dan kepada Muhammad bin Saud.

Yang jelas, sejak awal pemikiran-pemikiran sesat dan menyimpang yang dipaparkan Muhammad bin Abdil Wahhab mendapat penentangan keras dari ayah dan kakak nya serta para ulama dan masyarakat di zaman itu. Karena derasnya arus penentangan itulah, ia baru memperoleh kesempatan menyebarkan ajarannya setelah sang ayah meninggal dunia. Di kota Huraimalah, Ibnu Abdil Wahhab menyebarkan ajaran Wahhabisme secara terbuka. Namun di kota itu ia mendapat perlawanan sengit sehingga terpaksa meninggalkan Huraimalah menuju kota Uyainah yang saat itu dipimpin oleh seorang penguasa bernama Utsman bin Ma'mar. Awalnya Utsman menerima Muhammad bin Abdil Wahhab dengan tangan terbuka. Sebagai imbalannya, pendiri aliran Wahhabisme itu menjanjikan kepada Utsman loyalitas dan kepatuhan warga Najed kepadanya. Akan tetapi tekanan dan peringatan keras yang disampaikan oleh penguasa wilayah Ahsa' memaksa Utsman bin Ma'mar untuk mengubah kebijakannya dan mengusir Ibnu Abdil Wahhab dari kota Uyainah.

Tahun 1160 H, setelah diusir dari Uyainah, Muhammad bin Abdil Wahhab bertolak menuju Dir'iyyah, salah satu kota terkenal di kawasan Najed yang saat itu dikendalikan oleh penguasa bernama Muhammad bin Saud. Dia mengajak penguasa Dir'iyyah untuk bekerjasama dan menerima ajarannya dengan menjanjikan perluasan wilayah kekuasaan keluarga Saud lewat pemikiran Wahhabisme. Tawaran itu diterima oleh Muhammad bin Saud. Akhirnya antara mereka berdua dibuat kesepakatan bahwa kekuasaan menjadi hak Muhammad bin Saud sementara Muhammad bin Abdil Wahhab mendapat dukungan dan bantuan penuh untuk menyebarkan ajarannya. Untuk memperkuat perjanjian dijalinlah ikatan perkawinan di antara kedua keluarga.

Dengan berbekal kekuatan dan kekuasaan keluarga Saud,Muhammad bin Abdil Wahhab leluasa menyebarkan ajarannya. Dengan cepatterjadilah serangan ke berbagai suku dan kabilah di kota-kota sekitar. Langkah pertama yang dilakukan Ibnu Abdil Wahhab adalah menghancurkan makam para sahabat dan orang-orang saleh di sekitar kota Uyainah. Diapun mengeluarkan fatwa yang mengkafirkan siapa saja yang berziarah dan bertawassul kepada para nabi dan shalilin karena menurutnya hal itu tidak berbeda dengan penyembahan berhala. Dia menghalalkan darah semua orang yang dianggapnya kafir dan mengizinkan para pengikutnya untuk membunuh mereka dan merampas kekayaan mereka sebagai ghanimah atau rampasan perang.

Fatwa yang menyimpang ini berakibat pada pembantaian terhadap ribuan orang tak berdosa. Warga Dir'iyyah yang sebelumnya hidup dalam kemiskinan mendadak kaya raya berkat perang dan serbuan ke berbagai kota dan daerah yang selalu disertai dengan pembantaian massal dan perampasan kekayaan. Sejarawan, Alusi yang punya keenderungan kepada pemikiran Salafiyah dalam bukunya Tarikh Najdi mengutip pernyataan sejarawan lain bernama Ibnu Busyr Najdi yang mengatakan, "Aku menyaksikan kemiskinan warga Dir'iyyah. Akan tetapi di masa pemerintahan Saud (cucu Muhammad bin Saud) mendadak kota itu menjadi kota orang-orang kaya. Sedemikian berlimpahnya kekayaan itu sampai mereka menghiasi pedang dan alat-alat perang dengan emas, menunggung kuda-kuda yang mahal, mengenakan pakaian mewah, dan memiliki segala simbol kekayaan yang tidak bisa diungkap dengan kata-kata."

Ibnu Busyr dalam bukunya tak menjelaskan darimana datangnya kekayaan yang berlimpah itu. Akan tetapi lembaran-lembaran sejarah menyebutkan bahwa kekayaan itu didapatkan melalui serangan terhadap suku-suku dan kota-kota di kawasan Najed yang warganya tak mau menerima ajaran Wahhabisme. Setelah melakukan pembunuhan dan penjarahan besar-besaran, para pengikut Wahhabisme menyerahkan harta hasil penjarahan kepada keluarga Saud. Muhammad bin Abdil Wahhab membagi-bagikan harta itu semaunya dan tak jarang semua hasil penjarahan diberikan hanya kepada dua atau tiga orang saja.

Dalam setiap serangan, pasukan Wahhabisme menawarkan ajarannya kepada suku-suku yang sasaran serangan. Siapa saja yang menerima seruannya akan selamat dan tidak harus menghadapi fatwa kafir, dan jiwa serta harta tak akan selamat dari kekejian mereka. Cara inilah yang dilakukan pasukan Wahhabisme dalam setiap serangannya ke berbagai kota di Najed, Hijaz, Suriah bahkan Irak. Untuk mereka yang bersedia menerima ajarannya Muhammad bin Abdil Wahhab akan meminta mereka berbaiat kepadanya sedangkan yahng menolak akan dihukum mati. Cara mereka memperlakukan korbannya sangat keji. Misalnya di desa Fushul di kota Ahsa', mereka membunuh lebih dari 300 pria dan merampas kekayaan mereka.

No comments:

Post a Comment