Manusia, pada galibnya, selalu
menutup-nutupi dirinya dengan berbagai kebohongan. Manusia secara
terus-menerus bersembunyi di balik berbagai kedok untuk menyembunyikan
jati dirinya. Pelbagai alasan dapat diketemukan mengapa manusia ingin
menyembunyikan dirinya. Hanya ada dua keadaan di mana manusia mesti
membuka kedoknya, yaitu keadaan yang mencekamnya dan kematiannya. Sudah
pasti kematian adalah keadaan yang paling mencekam pada manusia. Dalam
kedua keadaan inilah seseorang bisa tampak secara telanjang dan kita
berkesempatan melihat wajah hakikinya.
Oleh: Musa Kazhim
Ketika mengetahui tanda-tanda kematian,
manusia menjadi tulus, murni, dan suci. Di saat sakaratul maut, setiap
orang adalah dirinya sendiri. Ketakutan akan kematian membuat manusia ngeri
sedemikian rupa sehingga tidak sempat lagi mencari-cari tutup dan
kedok yang dipakainya sepanjang hidupnya. Peristiwa itu sungguh besar
sehingga orang-orang besarpun menjadi kecil. Karena tersentak dan kagum,
ruh keluar dari persembunyian manusia.
Kematian itu sendiri merupakan suatu
seni yang perlu diketahui dan dipelajari. Ia merupakan suatu
pertunjukkan yang sangat indah dan dalam. Ia adalah suatu tontonan
spektakuler dalam kehidupan. Manakala kita membuka lembaran-lembaran
sejarah, maka kita akan menemukan bahwa ada beberapa orang yang
kematianya begitu luar biasa. Kematian Nabi, Imam Ali, Fathimah, Hasan
dan Husein dapat dikatakan sebagai pentas-pentas kematian yang sungguh
monumental.
Pembasmiannya terhadap si muda belia
tidak lebih lambat ketimbang terhadap orang tua bangka. Ada saat-saat di
mana maut menciptakan kisah horor yang sungguh menakutkan dan ada
saat-saat di mana maut menebarkan keharuan yang menyayat sukma.
Kehidupan ini adalah sebuah
pengkhianatan besar. Ia tidak pernah memberitahu kedatangan maut yang
menggerumit. Kehidupan ini tidak pernah mengalahkan para malaikat maut
yang berkelebat mencabut ruh manusia. Kematian jauh lebih berkuasa
ketimbang kehidupan, hingga semua isi kehidupan ini takluk di hadapan
kekuatannya dan pergi menghadapnya. Maut selalu menduduki segenap posisi
dalam kehidupan, tapi kehidupan tak pernah barang sekejappun melintas
di kerajaan maut.
Sungguh tak pernah ada yang kekal ihwal
kehidupan ini, tak pernah ada yang lolos dari tipu dayanya, aman dari
godanya, selesai dari tugasnya, tentram bhatinnya dan puas syahwatnya.
Kehidupan adalah gelombang laut kematian
yang selalu menerpa para penumpang kapal yang berlayar di atasnya.
Sekuat apa sebuah kapal dapat bertahan di lautan yang amat dahsyat
ombaknya. Lautan yang penuh dengan hiu, paus, karang dan badai besar
yang selalu datang menerpanya. Seberapa lama penumpang yang
terombang-ambing oleh ombak dan badai laut yang meyudutkan,
menggolengkan, menampar, melontarkan, membanjirkan dan membuang makanan
yang tersisa dapat bertahan lama di dalamnya?
Sejauh mana tujuan yang ingin dicapai
para penumpang dengan perahu tua yang sudah jenuh dipakai? Perahu yang
sudah banyak dirusak mereka sendiri. Perahu yang penuh dengan lubang dan
tambalan. Perahu yang bernahkodakan “banci-banci” yang berjiwa pengecut
dan berawakkan anak-anak yang berotak udang.
Sejarah menyebutkan bahwa bangsa-bangsa
terdahulu yang lebih panjang usianya, lebih kokoh tubuhnya, lebih garang
perawakannya, lebih makmur tempat tinggalnya, lebih banyak keahliannya
dan lebih hebat peninggalannya sama sekali tidak kuasa menghadapi
panah-panah kematian yang datang menghunjam.
Sungguh mengherankan, tidak pernah ada
yang mendahului tanda-tanda kematian secara pasti. Rahasia Tuhan yang
satu ini benar-benar terjaga rapi dalam khazanah-Nya. Beratus ribu tahun
lamanya makhluk yang satu ini berkeliaran di dunia tanpa ada seorangpun
mengenali wajahnya. Jelas bahwa kematian adalah makhluk Allah yang
mempunyai kedok yang tak terhingga jumlahnya.
Kematian adalah fenomena yang jauh lebih
sederhana daripada kehidupan, hingga jauh lebih halus daripadanya.
Wajah kematian tak lain adalah wajah dari jiwa manusia itu sendiri.
Wajah kematian tampil sebagai titik paling terang dalam kehidupan
manusia yang membongkar semua kegelapan, kesamaran dan kedok-kedok hidup
manusia.
Benar bila ada yang berkata bahwa kalau
kita ingin mengenali seseorang secara sempurna, maka saksikan di saat
maut merambat kepadanya. Apakah maut itu adalah sahabatnya yang datang
dengan wajah berseri atau musuhnya yang datang bermuka masam.
Namun demikian, sejarah telah memampang
wajah-wajah kematian yang mengundang takjub dan kesima kita semua. Wajah
kematian yang datang pada Nabi Muhammad adalah wajah yang datang dengan
senyum lebar dan kilauan cahaya yang memancar. Wajah kematian Muhammad
sungguh tiada tara dan tiada terlukiskan. Muhammad adalah manusia yang
tiada dapat dibinasakan oleh apa pun. Bahkan, kematian datang untuk menghidupkannya bukan untuk membunuhnya. Dengan gemetaran, kematian mengapit kedua tangannya dan mengantarkannya menjumpai kekasihnya yang abadi.
Keagungan yang luar biasa memancar dari
kepribadian Imam Ali pada detik-detik akhir menjelang kematiannya.
Kematiannya yang begitu indah terlukis dalam berbagai wasiat akhir yang
diucapkannya. Dalam wasiatnya beliau berpesan, “Perlakukanlah
tawananmu (Ibnu Muljam) dengan baik wahai anak-anak Abdul Muththalib!
Sepeninggalkau, jangan kalian ribut dan berperang dengan masyarakat.
Janganlah kalian menuduh atau menunjuk si fulan dan si fulan sebagai
biang keladi atau turut serta dalam pembunuhan. Ingatlah bahwa
pembunuhku telah berhasil kalian tangkap!”
Pada saat yang berbeda, Imam Ali berpesan kepada Imam Hasan demikian, “Anakku
Hasan! Setelah aku tiada, kuserahkan Ibnu Muljam padamu. Bila kau ingin
membebaskannya, bebaskanlah. Bila tidak dan kau ingin meng-qishash-nya,
maka ingatlah bahwa dia memukul ayahmu dengan satu pukulan. Karenanya,
pukullah dia sekali saja, jika dia mati dengan sekali pukulan, maka
biarkanlah ia, jika tidak, maka biarkanlah dia bebas pergi!”
Pada saat-saat yang menyentuh
hati tersebut, semua berkumpul mengitari tikar tempat Imam Ali
dibaringkan. Lambat laun, racun semakin melemahkan badan beliau. Beliau
selalu dalam keaadan sebentar sadar sebentar pingsan. Dalam keadaan
sadarnya, mengalirlah kata-kata mutiara, nasihat, saran dan mau’zhah
dari mulut suci beliau.
Setelah selesai mengutarakan semua
pesannya, orang-orang yang berada di sekeliling beliau memusatkan
padangannya ke bibirnya yang suci. Mereka semua menyaksikan begitu
banyak keringat yang mengucur dari tubuhnya yang menandakan bahwa reaksi
racun telah merebak ke sekujur peredaran darahnya.
Imam Ali mulai memejamkan matanya. Mereka semua terdiam seribu bahasa. Tak seorangpun dari mereka yang sanggup membuka mulut. Tiba-tiba, syahadah Ali bin Abi Thalib dan terangkatnya ruh suci beliau serta-merta memecah keheningan tersebut. Suara tangisan membumbung ke angkasa raya. Dan berakhirlah kisah seorang manusia sempurna ini dengan suatu kesempurnaan yang memaksa kita untuk selalu mengingatnya. Sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa salah satu tanda kesempurnaan manusia adalah bagaimana sikap dan sambutannya saat menyongsong maut. Orang besar bukan hanya tidak takut menghadapi kematian, tapi bahkan dengan senang hati menjemputnya. Jika mau mendatanginya saat dia melaksanakan tanggungjawabnya, maka baginya itulah kebahagiaan dan keberuntungan tertinggi.
No comments:
Post a Comment