Search

Sunday, January 6, 2013

Syahid Beheshti: Benarkah dalam Islam Kita Diminta Lebih Banyak Menangis?


Saya memulai pendidikan agama di awal masa balig. Di usia seperti ini manusia merasakan keceriaan tersendiri. Terkadang sebelum mubahatsah (istilah diskusi di kalangan santri hauzah) atau setelahnya dan atau sebelum pelajaran dimulai, kami saling bercerita dan kemudian tertawa bersama-sama. Seorang teman kami yang besar di acara-acara keagamaan dan beberapa tahun lebih tua dari saya serta teman mubahatsah mengingatkan ketika kami tertawa. Ia berkata, "Saat ini kita berada di awal periode pendidikan agama. Akan lebih baik bila kita jangan membiasakan untuk tertawa atau kurangi."

Saya bertanya, "Mengapa?"

Ia menjawab, "Karena ayat al-Quran ini."

Ia kemudian membaca surat at-Taubah ayat 82, "Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan."

Ia tidak lupa membacakan satu atau dua hadis yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakannya.

Saya masih kurang puas dan bertanya, "Apakah tertawa merupakan pekerjaan haram?"

Ia menjawab, "Tidak. Tidak haram."

Saya berkata kembali, "Kalau memang tidak haram, maka saya tetap akan tertawa."

Beberapa tahun berlalu dari peristiwa itu. Untuk pertama kalinya sebuah tema yang saya teliti secara terpisah berdasarkan al-Quran dan Sunnah adalah masalah hidup ceria. Untuk itu saya berusaha mengkaji al-Quran dari awal hingga akhir. Ketika saya tiba pada ayat ini, at-Taubah ayat 82, saya berkata dalam hati, "Sungguh aneh. Benar, ayat ini ada dalam al-Quran, tapi pemahamannya justru terbalik dengan yang dipahami oleh temanku selama ini. Ayat al-Quran itu terkait perintah Rasulullah Saw agar umat Islam memobilisasi segala kemampuannya untuk ikut dalam perjuangan melawan orang-orang Kafir dan Musyrikin yang menyerang negara Islam.

Sebagian orang dengan pelbagai alasan yang ada berusaha untuk tidak ikut dalam mobilisasi yang diperintah Nabi Saw itu. Allah Swt dalam ayat sebelumnya berfirman, "Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika mereka mengetahui."

Sebagai kelanjutan dari ayat 81 ini, Allah Swt mengutuk mereka dengan firman-Nya, "Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan."

Dengan demikian, dalam pandangan Islam kehidupan penuh ceria sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya, kehidupan yang isinya hanya menangis dan sedih justru bertentangan dengan rahmat ilahi.

Pada ayat 82 surat at-Taubah itu Allah Swt dalam posisi mencela sikap mereka yang tidak ingin berjuang melawan orang-orang Kafir dan Musyrik yang menyerang negara Islam. Sejak saat itu, sebagai balasannya mereka tidak dapat memanfaatkan nikmat tertawa dan keceriaan. Mereka senantiasa menangis dan sedih.

Di sisi lain, rekreasi dan bersenang-senang merupakan satu dari kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang dapat menguatkan kembali kekuatan manusia.

Allah Swt dalam surat al-‘Araf ayat 32 berfirman, "Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat". Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui."(1) (
Catatan:
1. Pidato Ayatullah Syahid Beheshti tentang Islam dan Rekreasi dalam Islam, Surat Kabar Jomhouri-e Eslami, 27 Khordad 1366, volume 2333, hal 9.
 

No comments:

Post a Comment