Search

Thursday, January 3, 2013

Menyingkap Hakikat Wahabisme, Mengenal Muhamad bin Abdul Wahhab


Sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai sejarah Ibnu Taimiyyah, ulama yang hidup antara abad 7 dan 8 H dan pemikirannya. Reaksi para ulama dan jawaban yang mereka berikan berhasil mengubur pemikiran sesat itu bersama dengan kematian pencetusnya yang meninggal dunia tahun 728 H. Akan tetapi, lima abad kemudian, pemikiran itu dihidupkan kembali oleh seorang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi di Jazirah Arab. Siapakah Muhammad bin Abdul Wahhab?



Muhammad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H di Jazirah Arab. Sejak masa remaja dia tertarik  pada pemikiran Ibnu Taimiyyah. Ketertarikan itu telah membawanya untuk mengambil jalan yang sama dengan yang ia idolakan dengan memaparkan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam yang hakiki. Untuk menyebarkan pemikirannya, ia dibantu oleh kekuatan pedang penguasa wilayah Najed. Ibnu Abdil Wahhab menyebarkan ajarannya di negeri yang paling dihormati oleh umat Islam, yaitu  Mekah dan Madinah.

Ayah Muhammad bin Abdil Wahhab sudah mengkhawatirkan masa depan putranya itu yang sejak kanak-kanak menunjukkan sikap dan perilaku yang menyimpang. Sejak masa pendidikan di kota Madinah, dia sering mengolok-olok kepercayaan umat Islam dan mencemoohnya. Tak jarang dia memaparkan pendapat yang aneh. Hal itu telah membuat para gurunya khawatir. Di Madinah dia mengecam ziarah ke makam Rasulullah Saw. Diceritakan bahwa sejak masa remaja, Muhammad bin Abdul Wahhab gemar membaca biografi nabi-nabi palsu seperti Musailamah al-Kadzdzab, Sajjaj, Aswad al-Ansi dan semisalnya bahkan mengagumi mereka. Meski demikian, tak dipungkiri bahwa pemikiran Ibnu Abdil Wahhab bersumber pada ajaran Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauzi.

Penentangan warga kota Madinah terhadap pemikirannya memaksa Muhammad bin Badil Wahhab meninggalkan kota suci itu dan kembali ke Najed. Tak lama setelah itu, ia bertolak ke Basrah. Di kota itu dia ditentang habis-habisan oleh para ulama  dan warga karena sikap dan pemikirannya. Ia pun diusir dari kota itu.

Menurut para ulama, pemikiran Muhammad bin Abdil Wahhab lebih ekstrim dibanding Ibnu Taimiyyah. Dia memiliki pandangan yang jauh keluar dari jalan lurus umat Islam sampai mengkafirkan seluruh umat Islam yang berbeda pandangan dengannya dan bahkan menghalalkan darah mereka. Dengan pemikirannya yang sesat itu, dia menyebut negeri-negeri Islam bahkan Mekah dan Madinah sebagai Darul Kufr dan Darul Harb lalu memerintahkan para pengikutnya untuk menghancurkan tempat-tempat suci. Kekerasan dan keberingasan merupakan ciri khas perilaku Muhammad bin Abdil Wahhab dan para pengikutnya.

Muhammad bin Abdil Wahhab bukan hanya ditentang oleh ayahnya saja, tetapi kakaknya yang bernama Sulaiman bin Abdil Wahhab juga bangkit melakukan perlawanan terhadap pemikiran adiknya. Ketika masih hidup, Abdul Wahhab menjadi tokoh utama yang menghalangi penyebaran pemikiran sesat putranya. Tahun 1153 H, Abdul Wahhab meninggal dunia, dan sang anak memperoleh kesempatan untuk mengajak masyarakat kepada pemikirannya. Dia mendapat penentangan dari para ulama termasuk kakaknya Syeikh Sulaiman yang menulis buku berjudul ‘Al-Shawaiq Al-Ilahiyah fi Al-Radd ‘ala Al-Wahhabiyah'.

Syeikh Sulaiman juga kerap menulis surat kepada saudaranya itu memperingatkan akan bidah yang dibuat oleh pemikiran Wahhabiyyah. Dalam salah satu suratnya Syeikh Sulaiman menulis, "Aku menuliskan apa-apa yang aku pelejari dari para ulama. Jika engkau menerima maka itu lebih baik dan saya bersyukur kepada Allah. Jika tidak, aku tetap bersyukur karena telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibanku. Ketahuilah bahwa Allah Swt telah mengutus Nabi-Nya, Muhammad Saw dengan al-Quran dan agama yang benar kepada dunia supaya agamanya unggul atas agama-agama yang lain. Dia telah menurunkan al-Quran untuk menjelaskan segala sesuatu. Allah Swt telah menepati janji-Nya dan mengunggulkan agamanya atas agama-agama yang lain."

Lebih lanjut Syeikh Sulaiman membawakan ayat-ayat suci al-Quran dan hadis yang menetapkan bahwa umat Nabi Muhammad Saw adalah sebaik-baik umat dan mengikuti ajaran agama ini adalah kewajiban bagi semua orang.  Dia mengingatkan saudaranya akan ayat 115 surat al-Nisa' yang menyebukan, "Siapa saja yang menentang Nabi setelah kebenaran menjadi jelas dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman maka Kami akan membawanya kepada jalan (kebatilan) itu dan memasukkannya ke dalam neraka dan dia akan itulah seburuk-buruk tempat kembali."

Muhammad bin Abdil Wahhab tidak menggubris nasehat saudaranya dengan tetap mempertahankan pemikiran sesatnya dan mengkafirkan mereka yang tidak sejalan dengannya. Di bagian lain, Syeikh Sulaiman mengingatkannya dan menyatakan, "Nabi Saw telah mengatakan kepada kita bahwa manusia yang bodoh tidak seharusnya bersikeras dengan pendapatnya. Jika tidak mengetahui permasalahan maka wajib baginya untuk bertanya kepada ulama. "Maka tanyakanlah kepada Ahlu Dzikr jika kalian tidak mengetahui. (Q.S. al-Anbiya: 7)."

Seluruh nasehat dan peringatan yang disampaikan oleh para ulama tidak membekas sama sekali di hati Muhammad bin Abdil Wahhab. Dia tetap menyebarkan pemikirannya dan berhasil mengajak banyak orang di wilayah Najed untuk mengikutinya. Para pengamat sosial meyakini bahwa salah satu faktor yang membuat warga Najed mengikuti ajaran Muhammad bin Abdil Wahhab adalah krisis budaya dan sosial yang menimpa masyarakat Najed di zaman itu. Sebab, mereka tak lebih dari masyarakat yang tinggal di wilayah gurun sahara yang kurang berperadaban, berpengetahuan agama minim dan relatif bodoh. Siapa saja akan mudah memperdaya dan menipu mereka. Apalagi, Muhammad bin Abdul Wahhab dikenal pandai berorasi dan tutur katanya dapat memikat orang awam. Tak heran jika dalam waktu yang reltif singkat, dia berhasil menarik banyak orang kepada pemikirannya. Hanya saja peran pedang dan kekerasan Muhammad bin Saud yang didukung kekuatan imperialis Inggris dalam penyebaran pemikiran Wahhabisme tidak bisa dianggap enteng.

No comments:

Post a Comment