Derajat Suci Imam Ali as
Pada dimensi spiritual dan malakut, ada serangkaian keagungan Imam Ali
as yang tentu sulit bagi kita untuk menjangkaunya dengan pemahaman kita
yang terbatas. Pengetahuan kita tidak akan dapat meliput secara memadai
hakikat-hakikat yang terpendam di kedalaman batin dan jatidirinya, yaitu
hakikat-hakikat yang memancar dan kemudian mengalir dari lisannya yang
mulia, hakikat kedekatannya dengan Allah, kekuatan zikirnya kepada Allah
yang telah menata semua perilaku, tutur kata, dan segenap keadaanya.
Meski begitu, kami tetap meyakini adanya hakikat tersebut, dan kami
bangga dengan ini karena keberadaannya telah kami dengar dari
sumber-sumber yang sudah terbukti kejujurannya.
Dari
sisi lain, ada pula serangkaian keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib as yang memang merupakan contoh dan teladan yang sudah menjadi
pusat perhatian segenap masyarakat sejarah. Keutamaan ini menjadi
barometer dan tolok ukur bagi manusia dalam berbuat sesuatu. Ia teladan
bukan hanya bagi kelompok tertentu, bahkan bukan pula teladan di mata
umat Islam saja. Amirul Mukminin memiliki daya tarik sedemikian besar di
atas panggung sejarah tak lain karena keutamaan-keutamaan tersebut.
Sebab itu, orang yang tidak menerima Islam atau pun tidak mempercayai
kepemimpinan (imamah)-nya tetap terkesima dan kagum terhadap keagungan
karakteristik Imam Ali as.
Atas dasar ini,
karakteristik Imam Ali as adalah teladan bagi semua orang, terutama bagi
kita yang sekarang memiliki pemerintahan Islam dan kita klaim sebagai
sebuah pemerintahan Alawi. Ungkapan rasa cinta dan kagum kepada Imam Ali
tak cukup dengan hanya menyebut Ali adalah Amirul Mukminin tanpa
mengikuti perilaku yang telah beliau ajarkan kepada kita dengan lisan
dan amal. Saya dan orang-orang seperti saya sebagai orang-orang yang
duduk di pemerintahan ini, kami jelas memiliki tanggungjawab yang lebih
besar, karena kami harus benar-benar meneladani Imam Ali as dan menjauhi
perbuatan yang dibencinya.
Bisa jadi orang
membanding-bandingkan siapa kamu dan siapa Amirul Mukminin; Kekuatan
beliau, kemampuan, keimanan, kesabaran, dan kekuatan ruhaninya,
sedangkan kamu siapa? Kata-kata seperti ini tentu saja benar. Kita jelas
bukan apa-apa bagi Imam Ali as. Bahkan kita tidak patut mengatakan
bahwa beliau lebih baik dan lebih mulia, sedangkan kita lebih rendah.
Pembandingan ini jelas salah. Imam Ali berada di atas bintang yang
tertinggi, sedangkan kita terperosok dalam kubangan lumpur yang kotor.
Dari segi apa saja kita melihat, akan tetap terlihat betapa jauhnya
jarak antara kita dan beliau. Namun begitu, kita tetap bisa memilih
arah, jejak, dan tujuan yang telah ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.
Keseimbangan Dalam Kepribadian Imam Ali as
Dari aspek manapun kepribadian Imam Ali as dilihat pasti menyuguhkan
keajaiban. Ini bukan ungkapan eksesif, melainkan ekspresi dari ketidak
berdayaan seseorang yang selama bertahun-tahun menghayati riwayat hidup
Amirul Mukminin Ali bin Thalib as. Ini adalah perasaan yang mengalir
dari dalam lubuk batin manusia ketika tidak berdaya menyelam jauh ke
dalam kepribadian agung beliau dengan hanya menggunakan media akal,
pikiran, dan penalaran biasa. Beliau adalah keajaiban dari segenap sisi.
Imam Ali as pada dasarnya adalah miniatur dari gurunya, Nabi Besar
Muhammad saw. Sungguhpun begitu, pribadi agung Imam Ali yang terpampang
di depan kita, Imam yang merasa kerdil dan hina di depan gurunya ini,
ketika kita tatap dengan penalaran manusiawi maka yang terlihat ternyata
adalah suatu kepribadian dengan level yang berada di atas manusia.
Salah satu poin yang menarik untuk dibicarakan menyangkut Amirul
Mukminin as ialah keseimbangan dalam kepribadian Amirul Mukminin as.
Dalam diri beliau terdapat berbagai karakter yang sepintas lalu tampak
paradoksal atau saling bertentangan satu sama lain. Sedemikian
harmonisnya karakter-karakter ini sehingga menyuguhkan nuansa keindahan
yang amat sangat. Manusia sulit membayangkan karakter-karakter ini bisa
berintegrasi dalam satu pribadi. Banyak sekali karakter-karakter seperti
ini yang tertanam dalam diri Imam Ali as, bukan hanya satu atau dua
karakter saja. Dan kita di sini hanya akan menyebut beberapa karakter
saja.
Sekedar contoh, kelembutan dan kasih sayang
jelas tidak singkrun dengan keteguhan dan ketegasan. Namun, dalam diri
Imam Ali, kelembutan dan rasa kasih sayang tertanam sedemikian sempurna
sehingga sulit untuk mencari tandingannya. Hal ini antara lain tergambar
dalam kisah Imam Ali as ketika mendatangi rumah seorang janda yang
memiliki seorang anak kecil. Di rumah itu beliau sudi membantu janda itu
menghidupkan tungku api, membuatkan roti dan makanan. Usai itu beliau
tak segan-segan menyuapi anak kecil janda itu dengan tangannya sendiri.
Tak cukup dengan itu, beliau selalu mengajak anak yatim itu bercanda dan
bermain agar terhibur. Beliau memanggul dan membawanya berjalan keluar
sehingga anak yatim itu benar-benar terhibur.
Sedemikian penyayangnya Imam Ali as sehingga seorang tokoh besar saat
itu berkata, "Aku melihat sendiri bagaimana beliau menyuapkan madu ke
mulut anak-anak yatim dan fakir dengan jemari beliau sendiri sehingga
aku berkata dalam hati betapa senangnya seandainya aku adalah anak
yatim." (Biharul Anwar juz 41 hal.29)
Karakter beliau
juga tergambar dalam peristiwa Nahrawan. Saat itu ada sejumlah orang
berniat melakukan aksi makar untuk menggulingkan pemerintahan Imam Ali
as dengan berbagai macam dalih yang mengada-ada. Ketika mereka berada di
hadapan Imam Ali as, beliau bernasihat kepada mereka, tetapi ternyata
sia-sia. Argumentasi beliau juga tak didengar. Mediator pun didatangkan,
tetapi hasilnya tetap nihil. Beliau lalu memberikan bantuan keuangan
disertai janji menarik, tetapi hasilnya juga nol.
Suasana tetap panas dan berujung pada kondisi frontal. Imam Ali as
lagi-lagi mencoba memberi nasihat, tetapi hasilnya masih saja nol. Di
situ Imam Ali as akhirnya tak menemukan cara lain kecuali tindakan
tegas, karena lawan-lawannya sudah terbukti berniat makar dan busuk.
Mereka adalah kaum Khawarij. Khawarij seringkali digambarkan secara
tidak tepat. Saya prihatin ketika dalam berbagai diskusi, syair, pidato,
film, dan lain sebagainya, Khawarij digambarkan sebagai kelompok yang
mengindahkan kesucian yang kering. Ini jelas salah. Kesucian apa yang
bisa didapat dari mereka. Di zaman Imam Ali as banyak orang yang bekerja
hanya untuk dirinya sendiri. Kalau ingin mengetahui siapa Khawarij,
maka contohnya ada di zaman kita sekarang, yaitu kelompok Munafikin
Khalq. Anda tentu ingat.
Kenali Khawarij secara lebih
baik. Mereka adalah orang-orang yang hanya menampilkan kulit luar agama,
ayat-ayat al-Quran, menghafal al-Quran dan Nahjul Balaghah. Mereka
terkesan berpegang teguh pada bagian-bagian internal agama, tetapi
kenyataannya menolak hakikat dan prinsip dari agama itu sendiri. Mereka
fanatik pada cara ini. Mereka menyebut-nyebut nama Allah, tetapi
kenyataannya mereka diperbudak oleh setan. Kelompok Munafikin juga
demikian. Pada saat tertentu mengaku konsisten pada agama, tetapi ketika
ada kesempatan untuk merongrong revolusi, melawan Imam Khomaini dan
pemerintahan Republik Islam, mereka tak segan-segan bekerjasama dengan
AS, Zionis, Saddam, dan siapa saja yang mau bekerja dan melayani ambisi
mereka. Khawarij adalah manusia jenis ini.
Amirul Mukminin bertindak tegas di depan mereka, dan inilah sosok Ali as; "Keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS:48:29)
Dua karakter yang berbeda telah tertuang dalam diri Imam Ali as dengan
begitu indah. Sosok manusia dengan kelembutan dan kasih sayang
sedemikian rupa tidak sampai hati menyaksikan nasib anak yatim sehingga
berkata: "Aku tidak akan pergi sebelum aku dapat membuat anak ini
tertawa." Namun, ketika berhadapan dengan manusia-manusia pandir yang
jahat dan tak segan-segan membunuh orang yang tak berdosa, beliau
berdiri tegak menghadang.
Contoh lain ialah menyangkut
wara' dan pemerintahannya. Ini sungguh menakjubkan. Apa arti wara'?
Wara' ialah orang yang senantiasa menghindari segala syubhat yang
menebar aroma penentangan terhadap ajaran agama. Bertolak dari sini, apa
lantas arti pemerintahan? Apa mungkin orang yang berada dalam
pemerintahan bisa menjadi orang yang wara'? Kita sendiri sekarang berada
dalam pemerintahan, sehingga terasa penting sekali ketika karakteristik
ini tertanam dalam diri seseorang. Secara umum, orang yang berada dalam
pemerintahan selalu mengadapi berbagai macam persoalan. UU yang
dijalankan sudah pasti membawa banyak keuntungan, tetapi bukan tak
mungkin seseorang akan terjebak pada perbuatan zalim terhadap orang
lain. Bagaimana seorang manusia dapat menjaga ketakwaan sedemikian rupa
di depan persoalan-persoalan rumit dan tak terkirakan itu?
Sepintas lalu pemerintahan tidak akan pernah harmoni dengan ketakwaan.
Tapi Amirul Mukminin ternyata dapat memadukan keduanya dengan sempurna,
dan ini sungguh menakjubkan. Beliau tidak pernah terikat pada orang.
Beliau dapat dengan mudah mencopot bawahannya jika memang dinilai lemah
dan tidak layak. Muhammad bin Abu Bakar, anak tirinya, beliau perlakukan
seperti anak sendiri dan sangat beliau cintai. Muhammad bin Abu Bakar
juga memandang Imam Ali as seperti ayahnya sendiri. Muhammad adalah
putera bungsu Abu Bakar dan merupakan salah satu murid dan pengikut
setia Imam Ali. Dia besar di bawah asuhan Imam Ali as.
Imam Ali as pernah mengirim Muhammad ke Mesir sebagai gubernur wilayah
ini. Tetapi di kemudian hari beliau melayangkan surat kepada Muhammad
berisikan pernyataan sebagai berikut; "Puteraku, aku menilai kamu tidak
layak menjabat di Mesir. Karena itu kamu aku tarik lagi dan aku gantikan
dengan Malik al-Asytar." Muhammad bin Abu Bakar tentu saja kecewa
dengan keputusan ini. Tapi ini tidak dipedulikan oleh Imam Ali as,
walaupun Muhammad adalah salah satu pribadi besar, cukup berjasa dalam
Perang Jamal, antusias dalam membaiat Imam Ali, serta merupakan putera
Abu Bakar dan adik Ummul Mukminin ‘Aisyah. Ketokohan Muhammad bukannya
tak bernilai di mata Imam Ali a, tetapi beliau tetap tidak mementingkan
masalah kekecewaan Muhammad bin Abu Bakar. Inilah bentuk ketakwaan dan
kewara'an dalam memerintah. Ketakwaan seperti ini sangat diperlukan bagi
manusia dan penting sekali bagi mentalitas pejabat pemerintah. Imam Ali
as telah memperagakan sifat wara' ini dengan sedemikian sempurna.
Contoh lain ialah kekuatan di sisi keteraniayaannya. Pada zamannya, tak
ada orang yang lebih perkasa dan pemberani di banding Imam Ali as.
Sampai akhir hayatnya, tak ada satupun orang yang mengaku berani
berhadapan dengan Imam Ali. Namun demikian, beliau ternyata adalah orang
yang paling teraniaya pada zamannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
dia adalah orang yang paling teraniaya sepanjang sejarah Islam.
Keperkasaan dan keteraniayaan adalah dua karakter yang bertolak belakang
satu sama lain. Orang kuat sepertinya mustahil akan teraniaya, tetapi
beliau ternyata malah teraniaya.
Contoh berikutnya
adalah kezuhudan di sisi progresifitas dan antusiasme untuk menggalang
pembangunan dan kemakmuran. -Mungkin dalam kitab Nahjul Balaghah masalah
zuhud adalag tema yang paling menonjol- Imam Ali as adalah sosok yang
paling zuhud dan tak berminat kepada kenikmatan duniawi. Tetapi di saat
yang sama, sepanjang 25 tahun kehidupannya sejak sepeninggal Rasulullah
saw sampai masa pemerintahannya, Imam Ali as tak jarang mengucurkan uang
pribadinya untuk menggalang kemakmuran. Beliau menggalakkan perkebunan,
pertanian, dan pengairan. Ajaibnya, semua itu beliau lakukan hanya di
jalan Allah Swt.
Patut diketahui, Imam Ali as pada
zamannya adalah salah satu orang yang paling besar penghasilannya.
Beliau sendiri pernah berkata, "Sedekahku hari ini seandainya aku
bagi-bagikan kepada Bani Hasyim niscaya akan menjangkau seluruh
anggotanya." (Biharul Anwar juz 41 hal. 43).
Keadilan
Imam Ali as juga sangat patut diteladani. Ketika kita mengatakan
keadilan melekat pada diri Imam Ali as, maka makna awalnya yang dapat
dimengerti ialah bahwa beliau menerapkan keadilan sosial di tengah
masyarakat. Ini memang keadilan, tetapi keadilan yang lebih bermutu lagi
ialah keseimbangan. "Langit dan bumi ditegakkan berdasarkan keadilan."
(‘Awali al-Laali juz 4 hal.103). Alam ciptaan tegak berdasarkan
keseimbangan. Inilah kebenaran. Keadilan dan kebenaran pada akhir adalah
satu makna dan satu hakikat. Karakteristik Imam Ali as adalah
manifestasi keadilan dan keseimbangan. Dalam diri beliau, segala
kebaikan telah ditata pada tempatnya masing-masing dengan begitu rapi
dan indah.
Keutamaan beliau yang lain ialah
keseringannya beristighfar. Doa-doa, munajat, dan istighfar beliau
sangat menarik. Beliau adalah pejuang yang terbiasa dengan medan laga
dan kancah politik. Hampir lima tahun beliau berkuasa atas negara-negara
besar pada masa itu. Wilayah pemerintahan beliau pada masa sekarang
mencakup sekitar 10 negara. Dengan wilayah teritorial sedemikian luas
beliau menjalani kesibukan yang sangat padat. Beliau adalah seorang
politisi besar dan handal. Saat itu, beliau pada dasarnya adalah orang
yang memerintah dunia. Beliau menggerakkan roda-roda besar dalam semua
lini politik, medan laga, masalah sosial, hukum dan hak masyarakat.
Semua ini jelas banyak menyita waktu. Kondisi demikian dapat mencetak
setiap orang menjadi manusia berdimensi tunggal. Begitu pula orang yang
hanya berkecimpung dalam doa dan ibadah. Kondisi kita juga demikian.
Kita berbuat sesuatu di jalan Allah. Tetapi Imam Ali as tidak berkata
dan berbuat demikian. Sebaliknya, beliau adalah pekerja keras dan gigih
sekaligus pengabdi Allah yang sejati.
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar pada 31/01/1997)
Karakteristik Pemerintahan Imam Ali as
Pertama, komitmen penuh kepada agama Allah Swt dan bersikukuh pada
perjuangan menegakkan agama Ilahi. Bukanlah pemerintahan Alawi jika
tidak berprinsipkan perjuangan menegakkan agama Allah Swt. Orang-orang
yang terjun ke medan laga dan terlibat dalam perang pertahanan suci Iran
melawan Irak selama delapan tahun tentu tahu persis apa yang sedang
saya bicarakan. Yang paling dipikirkan oleh setiap prajurit yang terjun
ke medan laga saat itu ialah bagaimana teknik menyerang musuh dan
bagaimana teknik bertahan dan membela diri.
Di tengah
kecamuk perang, seseorang pernah datang kepada Imam Ali as untuk
menanyakan suatu masalah Tauhid. Dia bertanya apa yang dimaksud dengan
kata-kata Ahad dalam surah al-Ikhlash. Ini tentu bukan masalah inti dan
primer, karena dia tidak menanyakan prinsip keberadaan Tuhan itu
sendiri. Dia menanyakan masalah yang masih bersifat sekunder sehingga
ada orang-orang datang menegurnya dan menganggap pertanyaan itu
dilontarkan bukan pada waktunya. Tetapi Imam Ali as sendiri lantas
berkata, "Biarkan saya menjawabnya. Kita berperang adalah dalam rangka
ini." Sikap Imam Ali as ini menandakan betapa peperangan yang diatur
oleh beliau serta darah yang mengalir di jantung Imam dan seluruh garis
besar pemerintahan beliau adalah demi menegakkan agama Allah Swt.
Pemerintahan apapun yang mendeklarasikan dirinya sebagai pemerintah dan
republik Islam tidak akan pernah menjadi pemerintahan Alawi selagi
tidak bertujuan menegakkan agama Allah, tidak peduli kepada pengamalan
agama masyarakat, tidak memikirkan akidah masyarakat, dan menganggap
semua ini tidak ada hubungan langsung dengan dirinya. Penegakan agama
Ilahi adalah ciri-ciri utama pemerintahahan Imam Ali. Ini adalah induk
dari segala keutamaan Imam Ali as lainnya dan menjalani kehidupan dan
menjalankan roda pemerintahan. Dari situ kemudian timbul keadilan dalam
pemerintahan beliau. Timbul pula semangat kerakyatan dan kepedulian
kepada masyarakat.
Karakteristik kedua pemerintahan
Imam Ali ialah keadilan secara mutlak. Yaitu keadilan yang sama sekali
tidak bersentuhan dengan kepentingan pribadi. Keadilan yang tidak
mungkin akan dibayangi oleh ambisi pribadi. Beliau pernah berujar, "Demi
Allah, jangan harap kalian dapat menyuruhku untuk merebut kemenangan
dengan cara berbuat zalim." (Tuhaful ‘Uqul hal. 185) Beliau enggan
merebut kemenangan melalui cara-cara aniaya. Ini jelas merupakan satu
pernyataan yang sangat cemerlang. Di kancah politik, olimpiade sains,
kancah pemilu, ataupun medan laga, bagaimana sikap Anda apabila
kemenangan bisa dicapai hanya dengan menempuh cara-cara aniaya dan
licik. Imam Ali a.s menyikapinya dengan mengatakan tidak sudi dengan
kemenangan seperti ini. Lebih baik kalah daripada harus menzalimi orang
lain.
Inilah keadilan yang dapat disadap dari lisan
Imam Ali as. Porosnya ialah penegakan keadilan secara mutlak. Keadilan
untuk semua orang dan semua lini; keadilan ekonomi, politik, sosial, dan
moral. Ini adalah salah satu kriteria keadilan dalam pemerintahan
Amirul Mukminin. Beliau tak sudi berbuat zalim, karena ia merupakan
beban bagi beliau. Beliau sendiri juga pantang dizalimi, walaupun beliau
harus kehilangan kepentingannya. Salah satu kezaliman terbesar ialah
diskriminasi, baik dalam pelaksaan hukum ataupun maupun dalam penerapan
ketetapan. Imam Ali as sangat pantang terhadap kezaliman ini.
Satu lagi keistimewaan pemerintahan Imam Ali ialah ketakwaan. Segala
sesuatu ada simbol atau tandanya. Apa makna takwa? Takwa ialah
kecenderungan yang sangat kuat untuk menempuh jalan yang benar dalam
melakukan segala tindakannya. Singkatnya adalah orang yang benar-benar
menjaga dirinya dalam masalah harta, harga diri orang lain, berhati-hati
dalam menentukan pilihan, dan berhati-hati dalam bertutur kata agar
tidak menyimpang dari jalurnya yang wajar dan benar.
Coba perhatikan kitab Nahjul Balaghah dari awal hingga akhir, maka akan
terlihat bagaimana Nahjul Balaghah dari ujung ke ujung sangat sarat
dengan anjuran untuk bertakwa dan bersuci diri. Tanpa ketakwaan,
seseorang tidak akan dapat menegakkan agama. Orang yang berlumur dosa
tidak akan dapat menggapai hakikat, apalagi menyelaminya. Ketakwaan
adalah salah satu karakteristik pemerintahan Imam Ali as, dan inipun
sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Dalam kamus logika Imam Ali
as, meski mengaku sebagai manifestasi kebenaran dan berhak atas
kekhalifahan, beliau memilih menyendiri dari keramaian. Beliau baru
tampil lagi setelah masyarakat melancarkan tekanan kuat agar beliau
memegang kendali pemerintahan. Tentang ini berliau berkata: "Seandainya
masyarakat tidak menekan saya, tidak pula bersikeras dan tidak
mengajukan aspirasi yang begitu besar, maka saya tidak akan duduk
sebagai khalifah." Memiliki kekuasaan dan kekuatan bagi Imam Ali as
tidak memiliki daya tarik sama sekali. Angan-angan untuk menjadi
penguasa tidak memiliki daya tarik bagi orang yang berhasil
mengendalikan hawa nafsunya. Dia hanya akan mencari-cari
kewajiban-kewajibannya dalam syariat. Beliau berjuang menegakkan
kebenaran. Rakyat sudah menyerahkan segala urusan kepada beliau dan
beliaupun menerima lalu menjaga pemerintahan.
(Petikan
Khutbah Rahbar di depan masyarakat yang sedang berkumpul memperingati
hari lahir Imam Ali bin Abi Thalib as. 21/09/2002)
Pembangkangan Terhadap Pemerintahan Imam Ali as
Kekuatan sekaligus keteraniayaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as
tergambar jelas dalam beberapa peristiwa pemberontakan. Dalam kurun
waktu kurang dari lima tahun masa pemerintahan Imam Ali as terdapat tiga
kelompok pembangkang yang disebut Qasithin, Nakitsin, dan Mariqin.
Seperti diriwayatkan, baik oleh Syiah maupun Sunni, Imam Ali as
mengatakan, "Aku diperintahkan untuk memerangi Qasithin, Nakitsin, dan
Mariqin. (Da-a'imul Islam juz 1 hal.388). Tiga kelompok ini mendapatkan
nama-namanya dari Imam Ali as sendiri. Qasitin artinya ialah kaum
penindas. Kosa kata qasatha - yaqsithu - yang berarti berbuat zalim atau
menindas ketika digunakan dalam bentuk tunggal (mujarrad) sama artinya
dengan kata-kata jaara - yajuuru dan dzalama - yadzhlimu. Namun, ketika
digunakan dalam bentuk tsulatsi maziid, yaitu aqstha - yuqsithu - dengan
wazan if'aal maka artinya justru ‘berbuat seimbang atau adil'. Sebab
itu, qisth dalam bentuk (wazan) if'aal berarti ‘adil', sedangkan ketika
diubah menjadi qasatha - yaqsithu maka artinya berbalik menjadi ‘berbuat
zalim' atau ‘menindas'. Demikian asal kata-kata qasithin, yang artinya
tak lain ialah kaum penindas.
Siapa kaum qashitin?
Mereka adalah sekelompok orang memeluk Islam hanya sebagai baju luar
belaka sebagai bentuk kamuflase dalam memburu ambisi. Sebab itu mereka
sangat memusuhi pemerintahan ‘Alawi. Apapun yang dilakukan Imam Ali as
untuk membenahi mereka selalu berakhir sia-sia. Dengan demikian, pada
prinsipnya mereka itu adalah kelompok yang sama sekali tidak menerima
pemerintahan Alawi. Mereka menginginkan adanya pemerintahan yang lain
dan itupun harus di tangan mereka. Dan naifnya, dunia Islam di kemudian
hari jatuh ke tangan mereka. Di zaman Imam Ali as mereka tak lain adalah
kelompok yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Kepada sebagian
sahabat Nabi mereka takzim dan simpatik. Di kemudian hari mereka pun
berkuasa dan lantas melakukan berbagai penindasan. Di zaman pemerintahan
Yazid terjadilah tragedi Karbala. Pemerintahan berlanjut ke tangan
Marwan, Abdul Maluk, Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafi, dan Yusuf bin Umar
as-Tsaqafi. Sejarah mencatat pemerintahan mereka dalam lembaran-lembaran
kelam dan sarat dengan adegan-adegan yang menggidikkan bulu roma.
Pemerintahan Hajjaj -yang mengerikan itu- misalnya, adalah pemerintahan
yang benihnya ditanam oleh Muawiyah dengan mengobarkan perang melawan
Amirul Mukminin Ali as. Sejak awal memang sudah dapat dibaca apa
sebenarnya tujuan yang mereka buru. Mereka hanya memburu pemerintahan
duniawi semata. Mereka menjadikan ego dan kepentingan pribadi sebagai
poros. Pola ini menjadi stereotipe pemerintahan Bani Umayyah secara
turun temurun. Kita di sini tentu saja tidak sedang membahas persoalan
akidah dan teologi. Kita semata-mata hanya membahas naskah sejarah,
sejarah secara umum, bukan sejarah Syiah semata. Tarikh Ibnu al-Atsir,
tarikh Ibnu Qutaibah, dan riwayat-riwayat sejarah lainnya yang kebetulan
mencatatnya dengan baik dan bahkan saya ingat betul. Tapi pada dasarnya
kita sedang membicarakan masalah-masalah yang sudah diakui oleh umat
Islam, dan bukan masalah pemikiran yang diperdebatkan oleh Syiah dan
Sunni.
Kelompok kedua yang memerangi Imam Ali adalah
Nakitsin yang artinya ialah kaum pengingkar janji. Maksudnya ialah bahwa
mereka telah mengingkari baiat. Mereka tadinya membaiat Imam Ali tetapi
kemudian melanggar baiat. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok
kedua ini tadinya adalah muslim dan merupakan golongan Imam Ali sendiri.
Namun, mereka ternyata juga memendam sifat ego sehingga hanya sudi
menerima pemerintahan Imam Ali as selagi mereka mendapatkan bagian yang
memuaskan dalam kekuasaan, selagi mereka diajak musyawarah, dilimpahi
tanggungjawab, diberi kekuasaan, dan harta benda yang masuk ke kantung
mereka tidak lagi diusik atau dipertanyakan.
Memang,
Saad bin Abi Waqqas dan beberapa tokoh lainnya sejak awal tidak berbaiat
kepada Imam Ali as. Tetapi, sejumlah tokoh sahabat lain termasuk,
Talhah dan Zubair, berbaiat kepada beliau. Sayangnya, selang tiga atau
empat bulan kemudian mereka menolak dan membangkang. Ini karena
pemerintahan Imam Ali bukanlah pemerintahan nepotis dan kumpulan para
kroni. Orang yang memerintah harus siap menanggalkan ego dan mengabaikan
haknya sendiri dan keluarganya. Para pendahulu Islam harus lebih
mengedepankan hak orang lain daripada haknya sendiri. Tidak ragu-ragu
dalam menerapkan hukum Ilahi.
Pemerintahan inilah yang
mengecewakan para lawan Imam Ali as. Mereka memilih keluar dari
pemerintahan beliau dan bahkan mengobarkan perang Jamal terhadap beliau.
Ini jelas petaka besar. Apalagi Ummul Mukminin Aisyah ikut memerangi
Imam Ali as. Tapi tentu saja Imam Ali as berhasil memenangi pertempuran
dan menjernihkan duduk persoalan. Banyak yang tewas dalam perang ini.
Inilah kelompok kedua yang selama beberapa waktu mengusik pemerintahan
Imam Ali as.
Kelompok ketiga, yaitu Mariqin, berarti
kaum yang melarikan diri. Dalam penamaan ini, keluarnya mereka dari
Islam digambarkan persis seperti anak panah yang melesat jauh dari
busurnya. Hanya saja, mereka tetap mengenakan jubah Islam dan selalu
membawa-bawa nama Islam. Merekalah yang juga disebut Khawarij. Mereka
adalah komoditas yang fondasinya hanyalah pemahaman-pemahaman menyimpang
dan beracun. Imam Ali as juga berhasil mengatasi mereka. Mereka kalah
telak melawan pasukan Imam Ali as dalam perang Nahrawan. Namun,
sisa-sisa mereka masih berkeliaran di tengah masyarakat hingga mereka
berhasil membunuh Imam Ali as.
Sebagian orang menyebut
Khawarij sebagai kelompok yang menjalankan agama secara kaku dan
kering. Ini tidak tepat, karena yang dibahas bukan soal kering atau
basahnya pola suatu kelompok dalam menjalankan ajaran agama. Ini tidak
ada sangkut pautnya dengan arti stigma Khawarij. Khawarij adalah
kelompok yang terjun ke lapangan hanya untuk melancarkan pemberontakan
dan menyulut api krisis. Masalah yang kita bahas adalah perang melawan
Imam Ali as, yaitu perang yang dilandasi dengan misi, media, dan tujuan
yang salah.
Buramnya Barisan Umat, Perbedaan Pemerintahan Ali as Dengan Pemerintahan Nabi Saw.
Perbedaan utama antara era pemerintahan Imam Ali as dan era
pemerintahan Nabi Muhammad Saw ialah bahwa pada era Nabi Saw barisan
yang ada sudah jelas; satu barisan kaum beriman dan yang lain barisan
kaum kafir. Keberadaan kaum munafik di tengah umat sering disebut dalam
al-Quran sebagai peringatan bagi umat Islam agar waspada. Peringatan
adalah untuk menguatkan mental umat Islam sekaligus melemahkan nyali
lawan. Jadi, di era pemerintahan Nabi Saw, segala sesuatu sudah terang;
satu kubu musuh yang terdiri atas kaum kafir, para taghut, dan
orang-orang jahiliah, sedangkan kubu lainnya terdiri atas kaum beriman,
pemeluk Islam, pengibar bendera tauhid dan spiritualitas.
Pada dua era yang berbeda ini, masyarakatnya tentu saja terdiri atas
berbagai watak dan tipe manusia. Tapi pada prinsipnya barisan mereka
sudah jelas. Berbeda dengan masyarakat pada era pemerintahan Imam Ali
as, barisan mereka buram, sebab pada kelompok kedua yang bernama
Nakitsin ada tokoh-tokoh sahabat ternama. Orang akan ragu atau bingung
dalam mengambil sikap ketika berhadapan dengan tokoh-tokoh semisal
Talhah dan Zubair. Zubair pada zaman Nabi Saw adalah salah satu nama
besar, anak dari bibi Nabi Saw, dan terhitung dekat dengan beliau. Tak
hanya itu, pasca wafat Nabi Saw, Zubair termasuk orang yang datang ke
Saqifaf Bani Saidah untuk membela Imam Ali as.
Tapi
inilah rupanya putaran dalam perjalanan hidup. Semoga kita semua dijaga
oleh Allah Swt dari buruknya suatu akibat. Manusia adakalanya mudah
terpancing oleh ambisi duniawi. Kondisi-kondisi tertentu dan
faktor-faktor profan mudah merasuk, memengaruhi, dan mengubah
kepribadian seseorang, tak terkecuali para pemuka dan apalagi orang
awam. Kondisi seperti ini menimbulkan situasi yang serba delematis pada
era Imam Ali. Sebab itu, tak terbayangkan lagi betapa cerdas dan
cemerlangnya pikiran orang-orang yang tetap teguh dan setia berada di
sisi Imam Ali as dan membelanya. Imam Ali as berkata, "Ilmu ini tidak
akan dapat dipikul kecuali oleh orang yang cerdas dan sabar." (Bihar
al-Anwar juz 34 hal. 249) Pada tahap awal kecerdasan memang sangat
diperlukan. Dalam kondisi demikian, bisa dibayangkan betapa runyamnya
konflik dan problema yang dihadapi Imam Ali as. Mereka yang memerangi
Imam Ali as adalah para penderita kedangkalan dalam berpikir.
Di awal-awal Islam, pikiran-pikiran menyimpang sering mencuat ke
permukaan, tetapi al-Quran secara tegas menolaknya, baik pada episode
Mekkah maupun pada episode Madinah. Surah al-Baqarah yang turun di
Madinah, banyak menjelaskan tantangan yang dihadapi Nabi saw ketika
berinteraksi dengan kaum munafik dan Yahudi. Al-Quran, bahkan
menyebutkan berbagai rincian masalah ini diantaranya pada surah
al-Baqarah ayat 104 yang berbunyi ‘jangan katakan; "Raa'iina", hal
itulah yang dilakukan yahudi Madinah dalam strateginya mengganggu
psikologi Nabi Saw. Surah al-A'raf yang turun di Mekkah juga menyebutkan
soal ini secara cukup rinci sambil memerangi khurafat.
Al-Quran menyebutkan masalah penghalalan dan pengharaman benda-benda
yang bersifat lahir seperti daging-daging tertentu maupun hal-hal yang
bersifat batin seperti berbohong dan berbuat sesuatu yang sia-sia. Allah
berfirman, "Katakanlah; Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi."
(QS.7.33) Hal-hal tersebutlah yang diharamkan Allah, bukan hal-hal yang
berkaitan bepergian ke Saibah, Buhairah, dan sebagainya yang
dibikin-bikin semaunya. Pikiran seperti ini gencar diperangi oleh Allah.
Uniknya, di era Imam Ali as, para pemberontak bahkan memakai al-Quran
untuk menjustifikasi tindakan mereka. Mereka mencari-cari celah dari
ayat-ayat al-Quran sehingga memperberat kesulitan yang dihadapi Imam Ali
as pada masa pemerintahannya yang relatif singkat.
Di
luar kubu-kubu tersebut terdapat kubu Imam Ali as sendiri. Kubu ini
sangat kuat karena di dalamnya terdapat orang-orang hebat semisal Ammar
bin Yasir, Malik al-Asytar, Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Abu Bakar,
Meitsam Tammar, dan Hujr bin Addi. Mereka adalah para tokoh mukmin yang
cerdas, tanggap, dan berperan besar dalam upaya mengarahkan opini
masyarakat. Mereka menyuguhkan berbagai adegan heroisme dengan begitu
menawan. Derita dan pahitnya gerakan perjuangan mereka menjadi seni
altruisme yang sangat romantis. Diantaranya ialah ketika bergerak menuju
Kufah dan Basrah. Saat Talhah dan Zubair mengadakan gerakan
pembangkangan dengan mendatangi Basrah dan Kufah, Imam Ali as mengirim
puteranya, Imam Hasan as, dan sejumlah sahabat Imam Ali as ke dua kota
ini. Sejarah mencatat bagaimana negosiasi dan argumentasi mereka dengan
warga di masjid mengalir dengan sangat indah dan memukau. Kepiawan
negosiasi dan ketajaman argumentasi mereka membuat pihak lawan terpojok
di mata publik sehingga mereka pun juga menjadi incaran utama serangan
pihak lawan. Pihak lawan mengincar Malik al-Asytar, Ammar bin Yasir, dan
Muhammad bin Abu Bakar. Mereka mengincar para kader Imam Ali as yang
sudah terbukti tangguh dan cerdas tersebut. Tak hanya sekedar
melemparkan tuduhan, pihak lawan bahkan mengincar nyawa mereka. Sebab
itu, sejumlah besar kader Imam Ali as gugur syahid. Ammar gugur dalam
pertempuran, Muhammad bin Abu Bakar dan Malik al-Asytar dibunuh melalui
intrik penduduk Syam. Sejumlah kader Imam Ali as masih tersisa, tetapi
kemudian dihabisi pula dengan cara yang lebih sadis.
Inilah kondisi kehidupan dan pemerintahan Imam Ali as. Kesimpulannya
ialah bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan yang kuat, tetapi di
saat yang sama telah menjadi obyek kezaliman sampai kemudian berhasil
menjadi pemenang. Imam Ali as berhasil menekuk lutut pihak lawan, tetapi
pada akhirnya beliau gugur sebagai syahid dan menjadi simbol perjuangan
dalam kanvas sejarah. Derita batin Imam Ali as menjadi bagian dari
kisah yang paling dramatis dalam sejarah.
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar di Teheran pada 08/01/1999)
Baca Juga :
Perspektif Rahbar tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as (Bagian Kedua, Habis)
Baca Juga :
Perspektif Rahbar tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as (Bagian Kedua, Habis)
No comments:
Post a Comment