Search

Saturday, February 16, 2013

Perspektif Rahbar tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as (Bagian Pertama)

Imam Ali as Teladan Sejati Umat Manusia

Derajat Suci Imam Ali as
Pada dimensi spiritual dan malakut, ada serangkaian keagungan Imam Ali as yang tentu sulit bagi kita untuk menjangkaunya dengan pemahaman kita yang terbatas. Pengetahuan kita tidak akan dapat meliput secara memadai hakikat-hakikat yang terpendam di kedalaman batin dan jatidirinya, yaitu hakikat-hakikat yang memancar dan kemudian mengalir dari lisannya yang mulia, hakikat kedekatannya dengan Allah, kekuatan zikirnya kepada Allah yang telah menata semua perilaku, tutur kata, dan segenap keadaanya. Meski begitu, kami tetap meyakini adanya hakikat tersebut, dan kami bangga dengan ini karena keberadaannya telah kami dengar dari sumber-sumber yang sudah terbukti kejujurannya.
Dari sisi lain, ada pula serangkaian keutamaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang memang merupakan contoh dan teladan yang sudah menjadi pusat perhatian segenap masyarakat sejarah. Keutamaan ini menjadi barometer dan tolok ukur bagi manusia dalam berbuat sesuatu. Ia teladan bukan hanya bagi kelompok tertentu, bahkan bukan pula teladan di mata umat Islam saja. Amirul Mukminin memiliki daya tarik sedemikian besar di atas panggung sejarah tak lain karena keutamaan-keutamaan tersebut. Sebab itu, orang yang tidak menerima Islam atau pun tidak mempercayai kepemimpinan (imamah)-nya tetap terkesima dan kagum terhadap keagungan karakteristik Imam Ali as.
Atas dasar ini, karakteristik Imam Ali as adalah teladan bagi semua orang, terutama bagi kita yang sekarang memiliki pemerintahan Islam dan kita klaim sebagai sebuah pemerintahan Alawi. Ungkapan rasa cinta dan kagum kepada Imam Ali tak cukup dengan hanya menyebut Ali adalah Amirul Mukminin tanpa mengikuti perilaku yang telah beliau ajarkan kepada kita dengan lisan dan amal. Saya dan orang-orang seperti saya sebagai orang-orang yang duduk di pemerintahan ini, kami jelas memiliki tanggungjawab yang lebih besar, karena kami harus benar-benar meneladani Imam Ali as dan menjauhi perbuatan yang dibencinya.
Bisa jadi orang membanding-bandingkan siapa kamu dan siapa Amirul Mukminin; Kekuatan beliau, kemampuan, keimanan, kesabaran, dan kekuatan ruhaninya, sedangkan kamu siapa? Kata-kata seperti ini tentu saja benar. Kita jelas bukan apa-apa bagi Imam Ali as. Bahkan kita tidak patut mengatakan bahwa beliau lebih baik dan lebih mulia, sedangkan kita lebih rendah. Pembandingan ini jelas salah. Imam Ali berada di atas bintang yang tertinggi, sedangkan kita terperosok dalam kubangan lumpur yang kotor. Dari segi apa saja kita melihat, akan tetap terlihat betapa jauhnya jarak antara kita dan beliau. Namun begitu, kita tetap bisa memilih arah, jejak, dan tujuan yang telah ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau.
Keseimbangan Dalam Kepribadian Imam Ali as
Dari aspek manapun kepribadian Imam Ali as dilihat pasti menyuguhkan keajaiban. Ini bukan ungkapan eksesif, melainkan ekspresi dari ketidak berdayaan seseorang yang selama bertahun-tahun menghayati riwayat hidup Amirul Mukminin Ali bin Thalib as. Ini adalah perasaan yang mengalir dari dalam lubuk batin manusia ketika tidak berdaya menyelam jauh ke dalam kepribadian agung beliau dengan hanya menggunakan media akal, pikiran, dan penalaran biasa. Beliau adalah keajaiban dari segenap sisi. Imam Ali as pada dasarnya adalah miniatur dari gurunya, Nabi Besar Muhammad saw. Sungguhpun begitu, pribadi agung Imam Ali yang terpampang di depan kita, Imam yang merasa kerdil dan hina di depan gurunya ini, ketika kita tatap dengan penalaran manusiawi maka yang terlihat ternyata adalah suatu kepribadian dengan level yang berada di atas manusia.
Salah satu poin yang menarik untuk dibicarakan menyangkut Amirul Mukminin as ialah keseimbangan dalam kepribadian Amirul Mukminin as. Dalam diri beliau terdapat berbagai karakter yang sepintas lalu tampak paradoksal atau saling bertentangan satu sama lain. Sedemikian harmonisnya karakter-karakter ini sehingga menyuguhkan nuansa keindahan yang amat sangat. Manusia sulit membayangkan karakter-karakter ini bisa berintegrasi dalam satu pribadi. Banyak sekali karakter-karakter seperti ini yang tertanam dalam diri Imam Ali as, bukan hanya satu atau dua karakter saja. Dan kita di sini hanya akan menyebut beberapa karakter saja.
Sekedar contoh, kelembutan dan kasih sayang jelas tidak singkrun dengan keteguhan dan ketegasan. Namun, dalam diri Imam Ali, kelembutan dan rasa kasih sayang tertanam sedemikian sempurna sehingga sulit untuk mencari tandingannya. Hal ini antara lain tergambar dalam kisah Imam Ali as ketika mendatangi rumah seorang janda yang memiliki seorang anak kecil. Di rumah itu beliau sudi membantu janda itu menghidupkan tungku api, membuatkan roti dan makanan. Usai itu beliau tak segan-segan menyuapi anak kecil janda itu dengan tangannya sendiri. Tak cukup dengan itu, beliau selalu mengajak anak yatim itu bercanda dan bermain agar terhibur. Beliau memanggul dan membawanya berjalan keluar sehingga anak yatim itu benar-benar terhibur.
Sedemikian penyayangnya Imam Ali as sehingga seorang tokoh besar saat itu berkata, "Aku melihat sendiri bagaimana beliau menyuapkan madu ke mulut anak-anak yatim dan fakir dengan jemari beliau sendiri sehingga aku berkata dalam hati betapa senangnya seandainya aku adalah anak yatim." (Biharul Anwar juz 41 hal.29)
Karakter beliau juga tergambar dalam peristiwa Nahrawan. Saat itu ada sejumlah orang berniat melakukan aksi makar untuk menggulingkan pemerintahan Imam Ali as dengan berbagai macam dalih yang mengada-ada. Ketika mereka berada di hadapan Imam Ali as, beliau bernasihat kepada mereka, tetapi ternyata sia-sia. Argumentasi beliau juga tak didengar. Mediator pun didatangkan, tetapi hasilnya tetap nihil. Beliau lalu memberikan bantuan keuangan disertai janji menarik, tetapi hasilnya juga nol.
Suasana tetap panas dan berujung pada kondisi frontal. Imam Ali as lagi-lagi mencoba memberi nasihat, tetapi hasilnya masih saja nol. Di situ Imam Ali as akhirnya tak menemukan cara lain kecuali tindakan tegas, karena lawan-lawannya sudah terbukti berniat makar dan busuk. Mereka adalah kaum Khawarij. Khawarij seringkali digambarkan secara tidak tepat. Saya prihatin ketika dalam berbagai diskusi, syair, pidato, film, dan lain sebagainya, Khawarij digambarkan sebagai kelompok yang mengindahkan kesucian yang kering. Ini jelas salah. Kesucian apa yang bisa didapat dari mereka. Di zaman Imam Ali as banyak orang yang bekerja hanya untuk dirinya sendiri. Kalau ingin mengetahui siapa Khawarij, maka contohnya ada di zaman kita sekarang, yaitu kelompok Munafikin Khalq. Anda tentu ingat.
Kenali Khawarij secara lebih baik. Mereka adalah orang-orang yang hanya menampilkan kulit luar agama, ayat-ayat al-Quran, menghafal al-Quran dan Nahjul Balaghah. Mereka terkesan berpegang teguh pada bagian-bagian internal agama, tetapi kenyataannya menolak hakikat dan prinsip dari agama itu sendiri. Mereka fanatik pada cara ini. Mereka menyebut-nyebut nama Allah, tetapi kenyataannya mereka diperbudak oleh setan. Kelompok Munafikin juga demikian. Pada saat tertentu mengaku konsisten pada agama, tetapi ketika ada kesempatan untuk merongrong revolusi, melawan Imam Khomaini dan pemerintahan Republik Islam, mereka tak segan-segan bekerjasama dengan AS, Zionis, Saddam, dan siapa saja yang mau bekerja dan melayani ambisi mereka. Khawarij adalah manusia jenis ini.
Amirul Mukminin bertindak tegas di depan mereka, dan inilah sosok Ali as; "Keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS:48:29)
Dua karakter yang berbeda telah tertuang dalam diri Imam Ali as dengan begitu indah. Sosok manusia dengan kelembutan dan kasih sayang sedemikian rupa tidak sampai hati menyaksikan nasib anak yatim sehingga berkata: "Aku tidak akan pergi sebelum aku dapat membuat anak ini tertawa." Namun, ketika berhadapan dengan manusia-manusia pandir yang jahat dan tak segan-segan membunuh orang yang tak berdosa, beliau berdiri tegak menghadang.
Contoh lain ialah menyangkut wara' dan pemerintahannya. Ini sungguh menakjubkan. Apa arti wara'? Wara' ialah orang yang senantiasa menghindari segala syubhat yang menebar aroma penentangan terhadap ajaran agama. Bertolak dari sini, apa lantas arti pemerintahan? Apa mungkin orang yang berada dalam pemerintahan bisa menjadi orang yang wara'? Kita sendiri sekarang berada dalam pemerintahan, sehingga terasa penting sekali ketika karakteristik ini tertanam dalam diri seseorang. Secara umum, orang yang berada dalam pemerintahan selalu mengadapi berbagai macam persoalan. UU yang dijalankan sudah pasti membawa banyak keuntungan, tetapi bukan tak mungkin seseorang akan terjebak pada perbuatan zalim terhadap orang lain. Bagaimana seorang manusia dapat menjaga ketakwaan sedemikian rupa di depan persoalan-persoalan rumit dan tak terkirakan itu?
Sepintas lalu pemerintahan tidak akan pernah harmoni dengan ketakwaan. Tapi Amirul Mukminin ternyata dapat memadukan keduanya dengan sempurna, dan ini sungguh menakjubkan. Beliau tidak pernah terikat pada orang. Beliau dapat dengan mudah mencopot bawahannya jika memang dinilai lemah dan tidak layak. Muhammad bin Abu Bakar, anak tirinya, beliau perlakukan seperti anak sendiri dan sangat beliau cintai. Muhammad bin Abu Bakar juga memandang Imam Ali as seperti ayahnya sendiri. Muhammad adalah putera bungsu Abu Bakar dan merupakan salah satu murid dan pengikut setia Imam Ali. Dia besar di bawah asuhan Imam Ali as.
Imam Ali as pernah mengirim Muhammad ke Mesir sebagai gubernur wilayah ini. Tetapi di kemudian hari beliau melayangkan surat kepada Muhammad berisikan pernyataan sebagai berikut; "Puteraku, aku menilai kamu tidak layak menjabat di Mesir. Karena itu kamu aku tarik lagi dan aku gantikan dengan Malik al-Asytar." Muhammad bin Abu Bakar tentu saja kecewa dengan keputusan ini. Tapi ini tidak dipedulikan oleh Imam Ali as, walaupun Muhammad adalah salah satu pribadi besar, cukup berjasa dalam Perang Jamal, antusias dalam membaiat Imam Ali, serta merupakan putera Abu Bakar dan adik Ummul Mukminin ‘Aisyah. Ketokohan Muhammad bukannya tak bernilai di mata Imam Ali a, tetapi beliau tetap tidak mementingkan masalah kekecewaan Muhammad bin Abu Bakar. Inilah bentuk ketakwaan dan kewara'an dalam memerintah. Ketakwaan seperti ini sangat diperlukan bagi manusia dan penting sekali bagi mentalitas pejabat pemerintah. Imam Ali as telah memperagakan sifat wara' ini dengan sedemikian sempurna.
Contoh lain ialah kekuatan di sisi keteraniayaannya. Pada zamannya, tak ada orang yang lebih perkasa dan pemberani di banding Imam Ali as. Sampai akhir hayatnya, tak ada satupun orang yang mengaku berani berhadapan dengan Imam Ali. Namun demikian, beliau ternyata adalah orang yang paling teraniaya pada zamannya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia adalah orang yang paling teraniaya sepanjang sejarah Islam. Keperkasaan dan keteraniayaan adalah dua karakter yang bertolak belakang satu sama lain. Orang kuat sepertinya mustahil akan teraniaya, tetapi beliau ternyata malah teraniaya.
Contoh berikutnya adalah kezuhudan di sisi progresifitas dan antusiasme untuk menggalang pembangunan dan kemakmuran. -Mungkin dalam kitab Nahjul Balaghah masalah zuhud adalag tema yang paling menonjol- Imam Ali as adalah sosok yang paling zuhud dan tak berminat kepada kenikmatan duniawi. Tetapi di saat yang sama, sepanjang 25 tahun kehidupannya sejak sepeninggal Rasulullah saw sampai masa pemerintahannya, Imam Ali as tak jarang mengucurkan uang pribadinya untuk menggalang kemakmuran. Beliau menggalakkan perkebunan, pertanian, dan pengairan. Ajaibnya, semua itu beliau lakukan hanya di jalan Allah Swt.
Patut diketahui, Imam Ali as pada zamannya adalah salah satu orang yang paling besar penghasilannya. Beliau sendiri pernah berkata, "Sedekahku hari ini seandainya aku bagi-bagikan kepada Bani Hasyim niscaya akan menjangkau seluruh anggotanya." (Biharul Anwar juz 41 hal. 43).
Keadilan Imam Ali as juga sangat patut diteladani. Ketika kita mengatakan keadilan melekat pada diri Imam Ali as, maka makna awalnya yang dapat dimengerti ialah bahwa beliau menerapkan keadilan sosial di tengah masyarakat. Ini memang keadilan, tetapi keadilan yang lebih bermutu lagi ialah keseimbangan. "Langit dan bumi ditegakkan berdasarkan keadilan." (‘Awali al-Laali juz 4 hal.103). Alam ciptaan tegak berdasarkan keseimbangan. Inilah kebenaran. Keadilan dan kebenaran pada akhir adalah satu makna dan satu hakikat. Karakteristik Imam Ali as adalah manifestasi keadilan dan keseimbangan. Dalam diri beliau, segala kebaikan telah ditata pada tempatnya masing-masing dengan begitu rapi dan indah.
Keutamaan beliau yang lain ialah keseringannya beristighfar. Doa-doa, munajat, dan istighfar beliau sangat menarik. Beliau adalah pejuang yang terbiasa dengan medan laga dan kancah politik. Hampir lima tahun beliau berkuasa atas negara-negara besar pada masa itu. Wilayah pemerintahan beliau pada masa sekarang mencakup sekitar 10 negara. Dengan wilayah teritorial sedemikian luas beliau menjalani kesibukan yang sangat padat. Beliau adalah seorang politisi besar dan handal. Saat itu, beliau pada dasarnya adalah orang yang memerintah dunia. Beliau menggerakkan roda-roda besar dalam semua lini politik, medan laga, masalah sosial, hukum dan hak masyarakat. Semua ini jelas banyak menyita waktu. Kondisi demikian dapat mencetak setiap orang menjadi manusia berdimensi tunggal. Begitu pula orang yang hanya berkecimpung dalam doa dan ibadah. Kondisi kita juga demikian. Kita berbuat sesuatu di jalan Allah. Tetapi Imam Ali as tidak berkata dan berbuat demikian. Sebaliknya, beliau adalah pekerja keras dan gigih sekaligus pengabdi Allah yang sejati.
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar pada 31/01/1997)
Karakteristik Pemerintahan Imam Ali as
Pertama, komitmen penuh kepada agama Allah Swt dan bersikukuh pada perjuangan menegakkan agama Ilahi. Bukanlah pemerintahan Alawi jika tidak berprinsipkan perjuangan menegakkan agama Allah Swt. Orang-orang yang terjun ke medan laga dan terlibat dalam perang pertahanan suci Iran melawan Irak selama delapan tahun tentu tahu persis apa yang sedang saya bicarakan. Yang paling dipikirkan oleh setiap prajurit yang terjun ke medan laga saat itu ialah bagaimana teknik menyerang musuh dan bagaimana teknik bertahan dan membela diri.
Di tengah kecamuk perang, seseorang pernah datang kepada Imam Ali as untuk menanyakan suatu masalah Tauhid. Dia bertanya apa yang dimaksud dengan kata-kata Ahad dalam surah al-Ikhlash. Ini tentu bukan masalah inti dan primer, karena dia tidak menanyakan prinsip keberadaan Tuhan itu sendiri. Dia menanyakan masalah yang masih bersifat sekunder sehingga ada orang-orang datang menegurnya dan menganggap pertanyaan itu dilontarkan bukan pada waktunya. Tetapi Imam Ali as sendiri lantas berkata, "Biarkan saya menjawabnya. Kita berperang adalah dalam rangka ini." Sikap Imam Ali as ini menandakan betapa peperangan yang diatur oleh beliau serta darah yang mengalir di jantung Imam dan seluruh garis besar pemerintahan beliau adalah demi menegakkan agama Allah Swt.
Pemerintahan apapun yang mendeklarasikan dirinya sebagai pemerintah dan republik Islam tidak akan pernah menjadi pemerintahan Alawi selagi tidak bertujuan menegakkan agama Allah, tidak peduli kepada pengamalan agama masyarakat, tidak memikirkan akidah masyarakat, dan menganggap semua ini tidak ada hubungan langsung dengan dirinya. Penegakan agama Ilahi adalah ciri-ciri utama pemerintahahan Imam Ali. Ini adalah induk dari segala keutamaan Imam Ali as lainnya dan menjalani kehidupan dan menjalankan roda pemerintahan. Dari situ kemudian timbul keadilan dalam pemerintahan beliau. Timbul pula semangat kerakyatan dan kepedulian kepada masyarakat.
Karakteristik kedua pemerintahan Imam Ali ialah keadilan secara mutlak. Yaitu keadilan yang sama sekali tidak bersentuhan dengan kepentingan pribadi. Keadilan yang tidak mungkin akan dibayangi oleh ambisi pribadi. Beliau pernah berujar, "Demi Allah, jangan harap kalian dapat menyuruhku untuk merebut kemenangan dengan cara berbuat zalim." (Tuhaful ‘Uqul hal. 185) Beliau enggan merebut kemenangan melalui cara-cara aniaya. Ini jelas merupakan satu pernyataan yang sangat cemerlang. Di kancah politik, olimpiade sains, kancah pemilu, ataupun medan laga, bagaimana sikap Anda apabila kemenangan bisa dicapai hanya dengan menempuh cara-cara aniaya dan licik. Imam Ali a.s menyikapinya dengan mengatakan tidak sudi dengan kemenangan seperti ini. Lebih baik kalah daripada harus menzalimi orang lain.
Inilah keadilan yang dapat disadap dari lisan Imam Ali as. Porosnya ialah penegakan keadilan secara mutlak. Keadilan untuk semua orang dan semua lini; keadilan ekonomi, politik, sosial, dan moral. Ini adalah salah satu kriteria keadilan dalam pemerintahan Amirul Mukminin. Beliau tak sudi berbuat zalim, karena ia merupakan beban bagi beliau. Beliau sendiri juga pantang dizalimi, walaupun beliau harus kehilangan kepentingannya. Salah satu kezaliman terbesar ialah diskriminasi, baik dalam pelaksaan hukum ataupun maupun dalam penerapan ketetapan. Imam Ali as sangat pantang terhadap kezaliman ini.
Satu lagi keistimewaan pemerintahan Imam Ali ialah ketakwaan. Segala sesuatu ada simbol atau tandanya. Apa makna takwa? Takwa ialah kecenderungan yang sangat kuat untuk menempuh jalan yang benar dalam melakukan segala tindakannya. Singkatnya adalah orang yang benar-benar menjaga dirinya dalam masalah harta, harga diri orang lain, berhati-hati dalam menentukan pilihan, dan berhati-hati dalam bertutur kata agar tidak menyimpang dari jalurnya yang wajar dan benar.
Coba perhatikan kitab Nahjul Balaghah dari awal hingga akhir, maka akan terlihat bagaimana Nahjul Balaghah dari ujung ke ujung sangat sarat dengan anjuran untuk bertakwa dan bersuci diri. Tanpa ketakwaan, seseorang tidak akan dapat menegakkan agama. Orang yang berlumur dosa tidak akan dapat menggapai hakikat, apalagi menyelaminya. Ketakwaan adalah salah satu karakteristik pemerintahan Imam Ali as, dan inipun sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat. Dalam kamus logika Imam Ali as, meski mengaku sebagai manifestasi kebenaran dan berhak atas kekhalifahan, beliau memilih menyendiri dari keramaian. Beliau baru tampil lagi setelah masyarakat melancarkan tekanan kuat agar beliau memegang kendali pemerintahan. Tentang ini berliau berkata: "Seandainya masyarakat tidak menekan saya, tidak pula bersikeras dan tidak mengajukan aspirasi yang begitu besar, maka saya tidak akan duduk sebagai khalifah." Memiliki kekuasaan dan kekuatan bagi Imam Ali as tidak memiliki daya tarik sama sekali. Angan-angan untuk menjadi penguasa tidak memiliki daya tarik bagi orang yang berhasil mengendalikan hawa nafsunya. Dia hanya akan mencari-cari kewajiban-kewajibannya dalam syariat. Beliau berjuang menegakkan kebenaran. Rakyat sudah menyerahkan segala urusan kepada beliau dan beliaupun menerima lalu menjaga pemerintahan.
(Petikan Khutbah Rahbar di depan masyarakat yang sedang berkumpul memperingati hari lahir Imam Ali bin Abi Thalib as. 21/09/2002)
Pembangkangan Terhadap Pemerintahan Imam Ali as
Kekuatan sekaligus keteraniayaan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as tergambar jelas dalam beberapa peristiwa pemberontakan. Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun masa pemerintahan Imam Ali as terdapat tiga kelompok pembangkang yang disebut Qasithin, Nakitsin, dan Mariqin. Seperti diriwayatkan, baik oleh Syiah maupun Sunni, Imam Ali as mengatakan, "Aku diperintahkan untuk memerangi Qasithin, Nakitsin, dan Mariqin. (Da-a'imul Islam juz 1 hal.388). Tiga kelompok ini mendapatkan nama-namanya dari Imam Ali as sendiri. Qasitin artinya ialah kaum penindas. Kosa kata qasatha - yaqsithu - yang berarti berbuat zalim atau menindas ketika digunakan dalam bentuk tunggal (mujarrad) sama artinya dengan kata-kata jaara - yajuuru dan dzalama - yadzhlimu. Namun, ketika digunakan dalam bentuk tsulatsi maziid, yaitu aqstha - yuqsithu - dengan wazan if'aal maka artinya justru ‘berbuat seimbang atau adil'. Sebab itu, qisth dalam bentuk (wazan) if'aal berarti ‘adil', sedangkan ketika diubah menjadi qasatha - yaqsithu maka artinya berbalik menjadi ‘berbuat zalim' atau ‘menindas'. Demikian asal kata-kata qasithin, yang artinya tak lain ialah kaum penindas.
Siapa kaum qashitin? Mereka adalah sekelompok orang memeluk Islam hanya sebagai baju luar belaka sebagai bentuk kamuflase dalam memburu ambisi. Sebab itu mereka sangat memusuhi pemerintahan ‘Alawi. Apapun yang dilakukan Imam Ali as untuk membenahi mereka selalu berakhir sia-sia. Dengan demikian, pada prinsipnya mereka itu adalah kelompok yang sama sekali tidak menerima pemerintahan Alawi. Mereka menginginkan adanya pemerintahan yang lain dan itupun harus di tangan mereka. Dan naifnya, dunia Islam di kemudian hari jatuh ke tangan mereka. Di zaman Imam Ali as mereka tak lain adalah kelompok yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Kepada sebagian sahabat Nabi mereka takzim dan simpatik. Di kemudian hari mereka pun berkuasa dan lantas melakukan berbagai penindasan. Di zaman pemerintahan Yazid terjadilah tragedi Karbala. Pemerintahan berlanjut ke tangan Marwan, Abdul Maluk, Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafi, dan Yusuf bin Umar as-Tsaqafi. Sejarah mencatat pemerintahan mereka dalam lembaran-lembaran kelam dan sarat dengan adegan-adegan yang menggidikkan bulu roma.
Pemerintahan Hajjaj -yang mengerikan itu- misalnya, adalah pemerintahan yang benihnya ditanam oleh Muawiyah dengan mengobarkan perang melawan Amirul Mukminin Ali as. Sejak awal memang sudah dapat dibaca apa sebenarnya tujuan yang mereka buru. Mereka hanya memburu pemerintahan duniawi semata. Mereka menjadikan ego dan kepentingan pribadi sebagai poros. Pola ini menjadi stereotipe pemerintahan Bani Umayyah secara turun temurun. Kita di sini tentu saja tidak sedang membahas persoalan akidah dan teologi. Kita semata-mata hanya membahas naskah sejarah, sejarah secara umum, bukan sejarah Syiah semata. Tarikh Ibnu al-Atsir, tarikh Ibnu Qutaibah, dan riwayat-riwayat sejarah lainnya yang kebetulan mencatatnya dengan baik dan bahkan saya ingat betul. Tapi pada dasarnya kita sedang membicarakan masalah-masalah yang sudah diakui oleh umat Islam, dan bukan masalah pemikiran yang diperdebatkan oleh Syiah dan Sunni.
Kelompok kedua yang memerangi Imam Ali adalah Nakitsin yang artinya ialah kaum pengingkar janji. Maksudnya ialah bahwa mereka telah mengingkari baiat. Mereka tadinya membaiat Imam Ali tetapi kemudian melanggar baiat. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini tadinya adalah muslim dan merupakan golongan Imam Ali sendiri. Namun, mereka ternyata juga memendam sifat ego sehingga hanya sudi menerima pemerintahan Imam Ali as selagi mereka mendapatkan bagian yang memuaskan dalam kekuasaan, selagi mereka diajak musyawarah, dilimpahi tanggungjawab, diberi kekuasaan, dan harta benda yang masuk ke kantung mereka tidak lagi diusik atau dipertanyakan.
Memang, Saad bin Abi Waqqas dan beberapa tokoh lainnya sejak awal tidak berbaiat kepada Imam Ali as. Tetapi, sejumlah tokoh sahabat lain termasuk, Talhah dan Zubair, berbaiat kepada beliau. Sayangnya, selang tiga atau empat bulan kemudian mereka menolak dan membangkang. Ini karena pemerintahan Imam Ali bukanlah pemerintahan nepotis dan kumpulan para kroni. Orang yang memerintah harus siap menanggalkan ego dan mengabaikan haknya sendiri dan keluarganya. Para pendahulu Islam harus lebih mengedepankan hak orang lain daripada haknya sendiri. Tidak ragu-ragu dalam menerapkan hukum Ilahi.
Pemerintahan inilah yang mengecewakan para lawan Imam Ali as. Mereka memilih keluar dari pemerintahan beliau dan bahkan mengobarkan perang Jamal terhadap beliau. Ini jelas petaka besar. Apalagi Ummul Mukminin Aisyah ikut memerangi Imam Ali as. Tapi tentu saja Imam Ali as berhasil memenangi pertempuran dan menjernihkan duduk persoalan. Banyak yang tewas dalam perang ini. Inilah kelompok kedua yang selama beberapa waktu mengusik pemerintahan Imam Ali as.
Kelompok ketiga, yaitu Mariqin, berarti kaum yang melarikan diri. Dalam penamaan ini, keluarnya mereka dari Islam digambarkan persis seperti anak panah yang melesat jauh dari busurnya. Hanya saja, mereka tetap mengenakan jubah Islam dan selalu membawa-bawa nama Islam. Merekalah yang juga disebut Khawarij. Mereka adalah komoditas yang fondasinya hanyalah pemahaman-pemahaman menyimpang dan beracun. Imam Ali as juga berhasil mengatasi mereka. Mereka kalah telak melawan pasukan Imam Ali as dalam perang Nahrawan. Namun, sisa-sisa mereka masih berkeliaran di tengah masyarakat hingga mereka berhasil membunuh Imam Ali as.
Sebagian orang menyebut Khawarij sebagai kelompok yang menjalankan agama secara kaku dan kering. Ini tidak tepat, karena yang dibahas bukan soal kering atau basahnya pola suatu kelompok dalam menjalankan ajaran agama. Ini tidak ada sangkut pautnya dengan arti stigma Khawarij. Khawarij adalah kelompok yang terjun ke lapangan hanya untuk melancarkan pemberontakan dan menyulut api krisis. Masalah yang kita bahas adalah perang melawan Imam Ali as, yaitu perang yang dilandasi dengan misi, media, dan tujuan yang salah.
Buramnya Barisan Umat, Perbedaan Pemerintahan Ali as Dengan Pemerintahan Nabi Saw.
Perbedaan utama antara era pemerintahan Imam Ali as dan era pemerintahan Nabi Muhammad Saw ialah bahwa pada era Nabi Saw barisan yang ada sudah jelas; satu barisan kaum beriman dan yang lain barisan kaum kafir. Keberadaan kaum munafik di tengah umat sering disebut dalam al-Quran sebagai peringatan bagi umat Islam agar waspada. Peringatan adalah untuk menguatkan mental umat Islam sekaligus melemahkan nyali lawan. Jadi, di era pemerintahan Nabi Saw, segala sesuatu sudah terang; satu kubu musuh yang terdiri atas kaum kafir, para taghut, dan orang-orang jahiliah, sedangkan kubu lainnya terdiri atas kaum beriman, pemeluk Islam, pengibar bendera tauhid dan spiritualitas.
Pada dua era yang berbeda ini, masyarakatnya tentu saja terdiri atas berbagai watak dan tipe manusia. Tapi pada prinsipnya barisan mereka sudah jelas. Berbeda dengan masyarakat pada era pemerintahan Imam Ali as, barisan mereka buram, sebab pada kelompok kedua yang bernama Nakitsin ada tokoh-tokoh sahabat ternama. Orang akan ragu atau bingung dalam mengambil sikap ketika berhadapan dengan tokoh-tokoh semisal Talhah dan Zubair. Zubair pada zaman Nabi Saw adalah salah satu nama besar, anak dari bibi Nabi Saw, dan terhitung dekat dengan beliau. Tak hanya itu, pasca wafat Nabi Saw, Zubair termasuk orang yang datang ke Saqifaf Bani Saidah untuk membela Imam Ali as.
Tapi inilah rupanya putaran dalam perjalanan hidup. Semoga kita semua dijaga oleh Allah Swt dari buruknya suatu akibat. Manusia adakalanya mudah terpancing oleh ambisi duniawi. Kondisi-kondisi tertentu dan faktor-faktor profan mudah merasuk, memengaruhi, dan mengubah kepribadian seseorang, tak terkecuali para pemuka dan apalagi orang awam. Kondisi seperti ini menimbulkan situasi yang serba delematis pada era Imam Ali. Sebab itu, tak terbayangkan lagi betapa cerdas dan cemerlangnya pikiran orang-orang yang tetap teguh dan setia berada di sisi Imam Ali as dan membelanya. Imam Ali as berkata, "Ilmu ini tidak akan dapat dipikul kecuali oleh orang yang cerdas dan sabar." (Bihar al-Anwar juz 34 hal. 249) Pada tahap awal kecerdasan memang sangat diperlukan. Dalam kondisi demikian, bisa dibayangkan betapa runyamnya konflik dan problema yang dihadapi Imam Ali as. Mereka yang memerangi Imam Ali as adalah para penderita kedangkalan dalam berpikir.
Di awal-awal Islam, pikiran-pikiran menyimpang sering mencuat ke permukaan, tetapi al-Quran secara tegas menolaknya, baik pada episode Mekkah maupun pada episode Madinah. Surah al-Baqarah yang turun di Madinah, banyak menjelaskan tantangan yang dihadapi Nabi saw ketika berinteraksi dengan kaum munafik dan Yahudi. Al-Quran, bahkan menyebutkan berbagai rincian masalah ini diantaranya pada surah al-Baqarah ayat 104 yang berbunyi ‘jangan katakan; "Raa'iina", hal itulah yang dilakukan yahudi Madinah dalam strateginya mengganggu psikologi Nabi Saw. Surah al-A'raf yang turun di Mekkah juga menyebutkan soal ini secara cukup rinci sambil memerangi khurafat.
Al-Quran menyebutkan masalah penghalalan dan pengharaman benda-benda yang bersifat lahir seperti daging-daging tertentu maupun hal-hal yang bersifat batin seperti berbohong dan berbuat sesuatu yang sia-sia. Allah berfirman, "Katakanlah; Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi." (QS.7.33) Hal-hal tersebutlah yang diharamkan Allah, bukan hal-hal yang berkaitan bepergian ke Saibah, Buhairah, dan sebagainya yang dibikin-bikin semaunya. Pikiran seperti ini gencar diperangi oleh Allah. Uniknya, di era Imam Ali as, para pemberontak bahkan memakai al-Quran untuk menjustifikasi tindakan mereka. Mereka mencari-cari celah dari ayat-ayat al-Quran sehingga memperberat kesulitan yang dihadapi Imam Ali as pada masa pemerintahannya yang relatif singkat.
Di luar kubu-kubu tersebut terdapat kubu Imam Ali as sendiri. Kubu ini sangat kuat karena di dalamnya terdapat orang-orang hebat semisal Ammar bin Yasir, Malik al-Asytar, Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Abu Bakar, Meitsam Tammar, dan Hujr bin Addi. Mereka adalah para tokoh mukmin yang cerdas, tanggap, dan berperan besar dalam upaya mengarahkan opini masyarakat. Mereka menyuguhkan berbagai adegan heroisme dengan begitu menawan. Derita dan pahitnya gerakan perjuangan mereka menjadi seni altruisme yang sangat romantis. Diantaranya ialah ketika bergerak menuju Kufah dan Basrah. Saat Talhah dan Zubair mengadakan gerakan pembangkangan dengan mendatangi Basrah dan Kufah, Imam Ali as mengirim puteranya, Imam Hasan as, dan sejumlah sahabat Imam Ali as ke dua kota ini. Sejarah mencatat bagaimana negosiasi dan argumentasi mereka dengan warga di masjid mengalir dengan sangat indah dan memukau. Kepiawan negosiasi dan ketajaman argumentasi mereka membuat pihak lawan terpojok di mata publik sehingga mereka pun juga menjadi incaran utama serangan pihak lawan. Pihak lawan mengincar Malik al-Asytar, Ammar bin Yasir, dan Muhammad bin Abu Bakar. Mereka mengincar para kader Imam Ali as yang sudah terbukti tangguh dan cerdas tersebut. Tak hanya sekedar melemparkan tuduhan, pihak lawan bahkan mengincar nyawa mereka. Sebab itu, sejumlah besar kader Imam Ali as gugur syahid. Ammar gugur dalam pertempuran, Muhammad bin Abu Bakar dan Malik al-Asytar dibunuh melalui intrik penduduk Syam. Sejumlah kader Imam Ali as masih tersisa, tetapi kemudian dihabisi pula dengan cara yang lebih sadis.
Inilah kondisi kehidupan dan pemerintahan Imam Ali as. Kesimpulannya ialah bahwa pemerintahan ini adalah pemerintahan yang kuat, tetapi di saat yang sama telah menjadi obyek kezaliman sampai kemudian berhasil menjadi pemenang. Imam Ali as berhasil menekuk lutut pihak lawan, tetapi pada akhirnya beliau gugur sebagai syahid dan menjadi simbol perjuangan dalam kanvas sejarah. Derita batin Imam Ali as menjadi bagian dari kisah yang paling dramatis dalam sejarah.
(Petikan Khutbah Jumat Rahbar di Teheran pada 08/01/1999)

Baca Juga :
Perspektif Rahbar tentang Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as (Bagian Kedua, Habis)

No comments:

Post a Comment