Search

Tuesday, January 8, 2013

Kondisi Umat Islam di Tahun 2012


Tahun 2012 menorehkan sejarah penting bagi dunia Islam. Gelombang Kebangkitan Islam yang telah menumbangkan rezim-rezim despotik di tahun sebelumnya terus mengalir deras. Gerakan rakyat itu meletus di Tunisia dan menjalar ke negara-negara kawasan. Domino tumbangnya rezim Ben Ali dengan cepat menjalar hingga Mesir dan berhasil melengserkan Hosni Mubarak. Setelah Ben Ali, Mubarak menjadi diktator kedua dukungan Barat yang tumbang digulingkan gerakan kebangkitan rakyat. Menyusul kemudian, rezim despotik Libya pun terguling, dan Gaddafi sendiri akhirnya tewas secara mengenaskan di tangan revolusioner Libya.


Dari kawasan Afrika Utara bola salju Kebangkitan Islam menjalar menembus Timur Tengah. Protes rakyat Yaman berhasil menumbangkan rezim Ali Abdullah Saleh. Diktator Yaman ini harus menerima penyerahan kekuasaan secara bertahap dengan dukungan negara-negara Arab dan Barat. Rezim-rezim monarki Arab semacam Al Saud khawatir bola salju itu terus menjalar hingga negaranya. Dengan berbagai cara Riyadh memberangus protes damai rakyat di kawasan, termasuk mengintervensi urusan dalam negeri lain seperti Yaman dan Bahrain. Di sisi lain, negara-negara Barat yang mengklaim sebagai pengusung demokrasi dan HAM berusaha membendung banjir bandang kebangkitan Islam di kawasan dengan meningkatkan dukungan terhadap pemerintahan monarki despotik dan rezim tribal di negara-negara Arab.

Terbentuknya pemerintahan demokratis di Bahrain menggantikan rezim monarki yang selama ini menjadi boneka Barat akan mengubah konstelasi kawasan, yang berdampak merugikan kepentingan AS dan sekutunya. Pada saat yang sama Gedung Putih tahu persis ketakutan rezim Al-Saud yang begitu khawatir atas meluasnya gelombang kebangkitan Islam di kawasan melanda Arab Saudi. Untuk itu, Washington mendukung langkah Riyadh mengirim pasukan ke Bahrain demi memadamkan perlawanan rakyat yang terjadi di negara tetangga dekatnya itu. Tapi, brutalitas rezim Manama yang dibantu negara-negara Arab dan Barat tidak mampu membendung gelombang perlawanan rakyat Bahrain yang kian hari semakin meluas.

Gelombang revolusi rakyat Bahrain dalam bentuk unjuk rasa jalanan di tahun 2012 semakin deras di tengah eskalasi kekerasan rezim Al Khalifa untuk memberangus unjuk rasa damai. Rezim Al Khalifa menerima bantuan militer Riyadh, karena kewalahan menghadapi protes rakyatnya sendiri. Tahun 2012, media massa regional mengungkap keterlibatan sebuah pasukan elit Saudi bernama Fahud yang dibentuk oleh Pangeran Mahkota Nayef bin Abdul Aziz untuk membantu rezim Al Khalifa menumpas demonstran damai rakyat Bahrain. Pasukan khusus itu berada di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi dan didirikan ketika Nayef bertugas sebagai menteri dalam negeri kerajaan Arab itu. Dilaporkan, militer Saudi dikerahkan di Bahrain sejak pertengahan Maret 2011. Pasukan Saudi itu menggunakan seragam polisi Bahrain saat menindak keras pengunjuk rasa. Tidak hanya itu, Fahud juga bertugas menyiksa para tahanan di pusat penahanan yang tersebar di seluruh Bahrain.

Saking brutalnya cara-cara kekerasan yang ditempuh penguasa Bahrain dalam memberangus tuntutan, Ketua Komite Anti-Penyiksaan Bahrain menyamakan rezim al-Khalifa dengan Nazi Jerman. Menurut Rodney Shakespeare (28/12), rezim al-Khalifa tidak berani menggelar pemilu di Bahrain karena pesta demokrasi itu berarti sama dengan pengusiran rezim  tersebut dari Bahrain. Aktivis HAM itu menilai rezim al-Khalifa sebagai penguasa haus darah dan musuh demokrasi.

Tahun lalu, laporan Amnesti Internasional menunjukkan bahwa rezim Al Khalifa telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia karena menyiksa para pengunjuk rasa. BBC November lalu mengungkapkan, vonis Amnesti Internasional itu dijatuhkan karena penguasa Bahrain tidak menepati janjinya untuk melakukan reformasi. Pihak oposisi mengumumkan, sampai saat ini aksi represif pemerintah Bahrain telah menelan 80 orang korban jiwa.

Pelarangan melakukan aksi unjuk rasa, mencabut kewarganegaraan 31 warga Bahrain dan sejumlah laporan tentang penyiksaan termasuk penyiksaan anak-anak menunjukkan kondisi HAM yang semakin memburuk di negara pesisir Teluk Persia itu. Dalam proyek penelitian yang berjudul "Bahrain: Reformasi Terbengkalai, Penindasan Dimulai", Amnesti Internasional mengumumkan semakin memburuknya kondisi HAM di Bahrain.

Di tahun 2012, gelombang unjuk rasa rakyat Arab Saudi semakin meningkat dari sebelumnya. Rakyat memprotes diskriminasi politik serta ketimpangan sosial dan ekonomi di negara Arab itu. Di saat pemerintah Riyadh meningkatkan anggaran pembelian persenjataan dan perlengkapan militer dari negara-negara Barat, laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengungkapkan bahwa tingkat pengangguran para pemuda di Arab Saudi menempati urutan kedua di Asia Barat dan Afrika Utara. Pada Desember lalu, laporan ILO menunjukkan bahwa pengangguran di kalangan pemuda Arab usia di bawah 30 tahun mencapai 87 persen. Adapun pengangguran di kalangan perempuan negara ini mencapai 64 persen. Menurut laporan ILO, perbandingan perempuan yang berkarir dengan seluruh warga yang bekerja di Arab Saudi sekitar 15 persen. Angka ini tercatat paling rendah di antara negara kawasan.

Tidak hanya itu, Seorang pria Saudi dilaporkan membakar diri untuk mengekspresikan ketidakpuasannya atas ketimpangan sosial dan ekonomi di negara petrodollar itu. Media Saudi Senin (24/12) melaporkan pria tersebut membakar dirinya sebagai bentuk protes terhadap perlakuan diskriminatif di tempat kerja. Dia dipecat secara sepihak tanpa surat perintah resmi. Menurut Human Rights Watch, rezim Saudi secara rutin merepresi setiap bentuk protes kritis terhadap rezim monarki Al Saud.

Tahun lalu, rakyat Saudi terutama di wilayah Qatif dan kota Awamiya berunjuk rasa secara kontinyu menentang rezim Al Saud. Tuntutan utama mereka adalah pembebasan semua tahanan politik, keadilan sosial, dan mengakhiri diskriminasi sistematis. Namun, demonstrasi berubah menjadi protes masif terhadap rezim despotik Al Saud, terutama sejak November 2011, ketika pasukan keamanan Saudi menewaskan lima pengunjuk rasa dan melukai sejumlah orang di provinsi kaya minyak itu.

Rezim Saud getol melancarkan provokasi menyulut friksi antara Syiah dan Sunni demi melanggengkan kekuasaannya. Tidak hanya itu, berdasarkan laporan dari lembaga-lembaga internasional, warga Syiah Arab Saudi yang merupakan 20 persen dari total populasi negara ini, menghadapi berbagai macam diskriminasi secara berkesinambungan. Bahkan mereka dinilai sebagai warga kelas dua. Tahun lalu, Human Rights Watch menyatakan bahwa aksi diskriminatif para pejabat Arab Saudi terhadap warga Syiah sudah melampaui batas. Lembaga HAMinternasional ini menegaskan bahwa diskriminasi anti-warga Syiah itu terjadi secara terkoordinasi di seluruh sektor termasuk pendidikan, ekonomi, hukum, dan sosial. Para pejabat Saudi tidak dapat mengelak dari kenyataan bahwa mereka menolak merekrut pegawai dan pekerja yang bermazhab Syiah.

Penangkapan tanpa tuduhan yang jelas terhadap warga Syiah oleh pasukan keamanan Arab Saudi juga merupakan bentuk lain pelanggaran HAM di negara ini. Selain tidak memenuhi tuntutan rakyatnya, rezim Riyadh justru menjawabnya dengan kekerasan. Muflih al-Qahtani, Ketua masyarakat HAM Arab Saudi mengungkap data sebanyak 30.000 kasus pengaduan soal pelanggaran HAM yang sebagian besarnya dialami oleh warga Syiah. Saking parah kondisi HAM di Arab Saudi, Hamzah al-Hasan, seorang aktivis hak asasi manusia menilai negaranya sebagai "Kuburan Massal HAM."

Di tengah berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terang-benderang di negara-negara monarki Arab itu, Barat hanya bungkam seribu bahasa. Bahkan  mereka justru melanjutkan penjualan senjata dan perlengkapan militer canggih bagi rezim-rezim Arab. Semua itu dilakukan demi menyelamatkan rezim-rezim boneka Barat dari hantaman bola salju kebangkitan Islam. Tampaknya, dalam jangka pendek, rezim-rezim diktator Arab itu masih bisa selamat, tapi tidak dalam jangka panjang. Gerakan perlawanan rakyat lambat atau cepat akan menghancurkan rezim-rezim despotik itu. Dan, kini tinggal menunggu waktu saja.

No comments:

Post a Comment